Ekspresi Misuh |
Saat matahari bersinar cukup terik, Kru
menemui R Bima Slamet Raharja SS MA atau yang akrab disapa Mas
Bimo ini di rumahnya, Jalan Balirejo, Timoho, Yogyakarta. Tanpa basa-basi,
beliau langsung memberikan pendapatnya mengenai definisi misuh.
“Misuh
itu dalam Bahasa Jawa punya dua arti. Arti yang pertama, misuh dari kata wisuh, yang
artinya mencuci, yang kedua misuh yang
artinya mengeluarkan kata-kata yang kurang enak didengarkan, atau pun
dirasakan.”
Mas
Bimo yang sehari-harinya aktif mengajar di Prodi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu
Budaya, UGM ini berpendapat pisuhan itu bisa muncul dengan berbagai tujuan. “Misuh itu
bisa dilakukan untuk mengekspresikan ketidaksukaan terhadap pihak lain,
menyatakan kekaguman, atau bahkan untuk mengumpat diri sendiri karena menyesal
atas perbuatan sendiri. Ia adalah bahasa verbal yang muncul apa adanya, karena
situasi hati orang yang mengeluarkan kata-kata pisuhan.”
Seperti
halnya bahasa, lanjutnya, pisuhan itu lahir karena adanya kesepakatan antara
penggunanya. Kosa kata yang dipakai sebagai kata pisuhan pun berkembang seiring
dengan perkembangan pengetahuan manusia. Kata-kata yang mengacu pada bagian
tubuh, hewan, atau profesi tertentu jadi berubah fungsi jadi kata pisuhan dan
dikenal luas.
Bahkan, dalam seni tradisi seperti
pewayangan, misuh juga
dikenal, meski tidak sembarangan dipakai, tergantung strata sosial dalam
pertunjukkan wayang tersebut. Penggunaannya bisa secara langsung mau pun
berupa sindiran (dalam bahasa Inggris disebut sarcasm.
“Kalau misuh itu
disebut tradisi, memang benar, karena misuh itu
sesuatu yang diturunkan, walau secara etika misuh jelas tidak pantas,” jelas pria
kelahiran 24 Januari, 31 tahun yang lalu ini.
“Di
dalam masyarakat kita, misuh itu
sudah menjadi kebiasaan yang umum. Masalah bermoral tidaknya itu tergantung
bagaimana masing-masing individu menyikapinya, karena masing-masing individu
tumbuh dan berkembang di lingkungan pergaulan yang beda satu dengan yang
lainnya.”
Sebenarnya,
apa sih yang membuat pisuhan itu kasar, Mas?
“Yang
jelas, kasar tidaknya pisuhan itu dimunculkan dari rasa yang dilahirkan dari si
pengucap kata pisuhan. Bahasa itu memunculkan rasa, kalau kita terbiasa
menggunakan bahasa yang halus, pasti orang akan menganggap kita pribadi yang
halus dan santun.
Nah, kalau kita terbiasa menggunakan
bahasa kasar seperti pisuhan, pasti orang memandang kita sebagai orang yang
kasar. Selain itu, tentu saja situasi dan tempat juga akan mempengaruhi,”
jawabnya.
Untuk
perilaku misuh di
lingkar pergaulan remaja, menurut Mas Bimo, ini adalah hasil dari budaya tiru
yang diterima oleh remaja secara komunal. Ketika seorang remaja masuk ke
dalam komunitas-komunitas yang ia temui, pasti ada satu istilah yang hanya
dipahami oleh komunitas itu sendiri, salah satunya istilah yang digunakan untuk misuh.
“Ya
di situ gaulnya remaja, ketika dia mengenal dan menggunakan kata-kata pisuhan,
ada keakraban antar teman. Dan biasanya tiap daerah berbeda dalam menentukan
kriteria gaul itu, karena tentu saja ada perbedaan budaya dan bahasa di setiap
daerah,” ujarnya. ***