Aku masih ingat hari ketika kau datang. Dua pasang mata saling melempar tatap, dua garis senyum saling melebur, kita menemukan pertemuan dalam sebuah ketidaksengajaan. Kala itu, kau banyak bercerita tentang dirimu dan seikat kisah yang sedang kau genggam. Aku menatapmu, mengamatimu, mendengarkan kata demi kata yang kau rangkai menjadi sebuah tawa kecil di wajahku.
Sebelum kau datang, aku sudah bahagia dengan kesendirian
yang kuukir menjadi senyuman manis. Namun, tiba-tiba kau menyentuh ruangku,
mengubah sunyiku menjadi senandung merdu. Aku mulai mengagumimu, semakin
mengagumimu, selalu mengagumi, sampai detik ini. Apakah kau juga pernah
mengagumiku? Tapi tak perlu. Nyatanya, aku tak semenawan lengkung senyummu, tak
seteduh sorot matamu, tak seindah rambutmu ketika angin menghembus helaiannya
sore itu. Kau selalu mengagumkan.
Dunia luar begitu mengerikan, bukan? Aku bahkan tak pernah
melangkahkan kakiku keluar dari pijakan. Namun, ketika kau menggenggam
tanganku, mengiringi langkahku, merengkuh rapuhku. Saat itu, aku menyadari,
ketika kau di sampingku, semuanya baik-baik saja. Atau, hanya tampak baik-baik
saja? Entahlah.
Oh, ya, aku hampir lupa. Bagaimana kabarmu sekarang?
Baik-baik saja, kan? Aku harap demikian. Sudah lama aku tak mendengar cerita
tentangmu. Apa kau masih mengenalku? Ya, aku, seseorang yang sempat menyentuh
hidupmu. Ah, benar, berbicara tentang masa lalu, aku ingat, aku pernah
membuatmu tertawa.
Aku kira, alasan kau tertawa adalah karena kau menganggapku
sebuah kebahagiaan. Namun, ternyata, alasan yang tepat adalah kau menganggapku
sebuah lelucon. Aku baru menyadari, kala itu, kau tidak tertawa bersamaku,
melainkan menertawaiku. Menggelikan, bukan?
Aku sempat mengira bahwa kau memang bersungguh-sungguh dalam
memaknai ucapanmu, tentang kata bersama yang hendak kau bangun di antara kita.
Namun, sepertinya, sebelum benar-benar terwujud, kau sudah melangkahkan kaki. Apa yang harus aku
lakukan? Aku terlanjur candu mengecap kata manis dari mulutmu. Ya, aku terlalu
mudah percaya dengan dusta yang kau sayatkan jauh di dasar luka lalu yang
hampir mengering.
Kau datang dengan sebuah janji dan pergi dengan sederet ingkar.
Aku hanya tak mengerti, kenapa kau mengalunkan melodi dalam
ruang sepiku lalu mengehentikannya saat aku mulai menikmatinya? Sebelumnya, aku
tak pernah meminta kau untuk menghampiriku. Kau yang memulai semuanya lebih
dulu. Namun, saat aku memintamu untuk tinggal, kau malah beranjak. Apa maumu?
Mungkinkah kau hanya tak suka didikte? Sebaliknya, jika waktu itu aku
menyuruhmu untuk pergi, apakah kau akan tinggal? Baiklah, aku tak mengerti.
Sungguh.
Kau pamit ketika aku belum siap mengenang temu.
Kala itu, kau masih sempat menyunggingkan senyum dan
berkata, Masih banyak yang lebih baik dari aku. Lalu, kau mulai mengalunkan
suara langkah kaki yang terdengar lirih di telingaku. Batinku berbisik,
Bagaimana jika kau yang terbaik bagiku?. Namun, apa daya, kau sudah berlalu.
Ya, kau pergi dan tak pernah berjanji untuk kembali.
Tak ada yang sanggup kulakukan selain melepasmu dengan sepah
senyum yang tersisa. Andai saja kau tahu, kau selalu mengagumkan bagiku bahkan
sampai detik dimana kau pergi meninggalkanku. Benar, kau pergi dengan begitu
mengagumkan. Melangkah dengan berani tanpa menoleh ke belakang. Melangkah dengan gagah mencuri gaduh dari
dekapan sepi. Melangkah dengan menyisakan aroma tubuhmu yang akan kusesap
menjelang gelap. Melangkah, menjauh, menghilang, meninggalkan … aku yang
bersiap untuk melayangkan rindu.
Setelah sekian waktu berhasil kucerca, kumaki, kukutuk
seorang diri, aku berhasil menjelajah tenangku kembali. Meski dengan tertatih,
aku kini sanggup menghapus bayangmu tanpa melupakan satu jengkal pun darimu.
Aku melepaskanmu dan akan selalu mengingat keseluruhanmu. Aku sengaja
menjadikanmu sebagai tokoh utama dalam tulisanku. Abaikan saja tentangku. Aku
yang tengah meminta untaian pilu menjadi sehelai rela.
Maafkan aku. Salahku, tak mampu membuatmu tinggal lebih lama
lagi. Karena bagiku, kau terlalu mengagumkan untuk pergi.