Nenek berusia 90 tahun itu juga diminta meninggalkan rumahnya di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No. 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang.
Kisah pahit tengah dialami oleh nenek Fatimah. Di usia senja, dia seharusnya hidup bahagia dengan anak dan cucu-cucunya. Namun, perempuan berusia 90 tahun ini malah menghadapi kasus hukum. Janda delapan anak itu digugat oleh putri kandungnya, Nurhana, dan menantunya, Nurhakim.
Dalam gugatan yang tengah berlangsung di Pengadilan Negeri Tangerang itu, nenek Fatimah diminta membayar gugatan materiil sebesar Rp 1 miliar. Tak hanya itu, dalam gugatan, anak ke empatnya itu juga meminta Hajjah Fatimah diminta angkat kaki dari tempat tinggalnya di Jalan KH Hasyim Asari, RT 02/01 No. 11, Kelurahan Kenanga, Kecamatan Cipondoh, Kota Tangerang.Berdasarkan keterangan anak bungsu Fatimah, Amas (37), tanah seluas 397 meter persegi di Kampung Kenanga yang disengketakan itu awalnya milik Nurhakim. Lalu pada tahun 1987, tanah tersebut dibeli oleh almarhum ayahnya, H Abdurahman senilai Rp 10 juta. Dia juga memberikan Rp 1 juta untuk Nurhana sebagai warisan.
"Pembayaran tanah itu disaksikan juga oleh kakak-kakak saya. Sertifikat tanahnya sudah dikasih oleh Nurhakim ke Bapak. Tapi masih atas nama Nurhakim," kata Amas dikutip Dream.co.id dari merdeka.com, Rabu 24 September 2014.
Menurut Amas, sertifikat tanah tersebut hingga kini belum dibalik nama, karena Nurhakim tidak pernah mau untuk melakukan itu. "Dia nggak mau, dengan alasan masih keluarga, masa sama menantu tidak percaya. Atas dasar kepercayaan itu, ibu ngikutin saja. Padahal dia sudah pernah buat surat pernyataan siap balik nama sertifikat, kan aneh," jelas dia.
Namun beberapa tahun kemudian, setelah Abdurahman meninggal, Nurhakim tiba-tiba menggugat tanah tersebut dengan mengaku tidak pernah dibayar oleh bapak mertuanya. Awalnya dia meminta Fatimah dan anak-anaknya untuk membayar Rp 10 juta, lalu naik menjadi Rp 50 juta, Rp 100 juta, hingga Rp 1 miliar. "Keluarga sudah melakukan mediasi, tapi dia tetap meminta keluarga untuk membayar tanah itu. Ya tidak mungkin bisa, jumlahnya mahal sekali," tukas Amas.
Hingga akhirnya Nurhakim memasukkan gugatan ini ke PN Tangerang pada 2013 silam dengan tudingan penggelapan sertifikat dan menempati lahan orang tanpa izin. "Laporannya masuk ke pengadilan perdata, dengan gugatan ganti rugi Rp 1 miliar. Selain ibu, tiga kakak saya juga menjadi tergugat, yakni Rohimah, Marhamah dan Marsamah. jika tidak bisa membayar, ibu akan diusir dari tanah itu. Kita seperti diperas, padahal ibu dan kakak saya sudah tinggal di sana dari tahun 1988," jelas Amas.
Sementara, pengacara Nurhakim, M Singarimbun, mengatakan, kliennya mengaku memberikan sertifikat tanah kepada ayah mertuanya, Abdurahman, karena dijanjikan akan dibeli pada tahun 1987. Namun sampai mertuanya meninggal, Nurhakim mengaku tidak pernah mendapat bayaran atas penjualan tanah itu.
"Nurhakim sempat pindah ke Palangkaraya, Kalimantan, bersama Nurhana. Saat mengetahui mertuanya meninggal, dia pulang ke Tangerang untuk minta supaya tanah itu dibayar. Tapi pihak keluarga menolak karena merasa sudah membayar. Akhirnya dia meminta sertifikat tanahnya dikembalikan, tapi tidak diberikan juga. Karena itu dia layangkan gugatan ke pengadilan," ujar Singarimbun.
Menurut Singarimbun, Nurhakim tidak menggugat sebesar Rp 1 miliar. Hanya ganti rugi sebesar Rp 2 juta per meter luas lahan. Ganti rugi itu berdasarkan hitungan harga tanah saat ini. "Tidak sampai Rp 1 miliar, hanya sekitar Rp 800 jutaan," jelas dia.
Sebenarnya, tambah Singarimbun, masalah tersebut telah diupayakan diselesaikan secara kekeluargaan dengan beberapa kali mediasi. Namun pihak keluarga Fatimah bersikeras tidak mau menyepakati permintaan Nurhakim. "Harapan kami sih ingin diselesaikan baik-baik, tanahnya dibayar atau sertifikatnya dikembalikan saja. Tapi mereka tetap bersikukuh," tukas Singarimbun.