Aku adalah seorang ibu
rumah tangga (30 th), suamiku (38 th) sangat pekerja keras, aku punya 2 orang
anak. Aku merasa rumah tangga kami baik-baik saja. Suamiku adalah orang yang
penyayang dan sosok ayah yang baik untuk tauladan putra putri kami.
Hampir sepuluh tahun
usia pernikahan kami, pasnya untuk saat ini sudah 12 tahun (kami menikah tahun
2007). Di waktu senggang, aku sering sekali membahas tentang masa lalu suamiku,
aku sering mendesaknya untuk bercerita tentang masa lalunya, siapa saja dan
bagaimana orang (perempuan) yang pernah dekat dengannya. Entah mengapa aku
bersemangat sekali mendengar ceritanya.
Tapi aku sering merasa
sakit hati setelah mendengar cerita suamiku, entahlah aku sendiri kadang
bingung. Sesekali suamiku marah, beliau pernah bilang “ma..ma.., kamu yang
maksa aku cerita, tapi kamu marah sama aku, gimana?” Kadang aku berfikir, masa
bodoh dengan masa lalunya, yang penting hari ini kami bahagia, dan aku sangat
tahu dan merasakan bahwa suamiku sangat mencintaiku.
Akhir-akhir ini terbongkar
kembali masa lalunya yang sangat lama disimpannya. Sewaktu kami belum menikah,
beliau pernah bercerita, bahwa dulu pernah ada seorang wanita di desanya yang
sangat special yang sangat menyemangatinya untuk kuliah. Aku adalah orang yang
lumayan kuat mengingat memori yang penting.
Bertahun-tahun aku
berusaha membongkarnya, baru hari-hari terakhir ini terungkap. Entah kenapa aku
sangat sakit sekali merasakannya, berbeda dengan cerita-cerita dari suamiku
tentang masa lalunya sebelum-sebelumnya. Ternyata perempuan yang dimaksud itu
adalah orang yang aku kenal, dia adalah anak dari sepupu suamiku (umur mereka
hanya terpaut 2 tahun).
Aku merasa dikhianati
secara sembunyi-sembunyi. Makanya aku tak heran, suamiku sering membicarakan
perempuan ini dalam kehidupan rumah tangga kami selama ini. Memang perempuan
ini sekarang sudah menikah dan punya dua orang anak.
Aku ada perasaan takut
dikhianati (selingkuh hati) oleh suamiku. Saat kami membaahs masalah ini beliau
pernah mengatakan sesuatu yang agak bikin aku shock. Anak pertama dari
perempuan itu cacat bisu-tuli.
Suamiku mengatakan
kalau ada perasaan bersalah dirinya terhadap perempuan itu, “apakah kebisuan
itu adalah karma sebagai pencerminan kebungkaman kami berdua atas rasa cinta
yang terpendam yang tak pernah terungkap sampai saat ini?”pertanyaannya itu
dilontarkan suamiku padaku.
Aku harus menjawab
apa? tapi waktu itu aku sempat marah dan menjawabnya “apapun yang terjadi pada
makhluk diseluh muka bumi, itu kehendak Allah, SWT. Itu cobaan untuknya,
Alhamdullah itu tak terjadi pada anak-anak kita”. Terus terang aku tidak tahu
salahkah sikap suamiku? atau salahkah cara aku menanggapinya? setelah itu kami
sempat bertengkar karena aku kurang bisa menerimanya.
Hari berganti, selama
itu sikap kami dingin, terutama aku. Mungkin karena usia suamiku yang lebih
matang beliau sering menenangkan dan merayuku. “Sudahlah ma.. itu kan masa
lalu, aku sudah tidak memikirkannya lagi, aku sayang kamu dan aku gak mau
kehilangan kamu ma.. saat ini dan nanti aku cuma inginkan keluarga ini, tapi
kamu berfikirlah dewasa ma.., setiap orang pasti punya masa lalu, dulu aku
tidak pernah kok berkomitmen pacaran dengannya, aku cuma dekat dan aku tahu
kalau aku terus-teruskan hubungan kami lebih dekat, ini adalah aib keluarga.”
Kalau dibilang aku
ataupun dia pernah ada perasaan, mungkin iya, tapi tak pernah terlontarkan
diantara kami. Aku masih binggung menanggapi masalah ini. Setelah itu aku
mengajukan banyak pertanyaan pada suamiku, aku tambah penasaran bagaimana
cerita cintanya itu. Pertanyaan terakhirku “apa masih tersisa perasaanmu padanya
saat ini?”. Suamiku agak tersentak, “ya tidak ada ma.. cuma perhatian biasa
yang berikan kepada sesama saudara”.
Aku juga sempat
meminta satu hal pada suamiku, “karena aku takut tidak bisa menahan emosional
saat melihat kamu bertemu dengannya di hari raya tahun depan atau acara -acara
keluarga lainnya, kita jangan bertemu dulu dengannya sampai aku kuat dan
benar-banar bisa menerimanya”.
Dengan tegas dan
ikhlasnya suamiku menjawab, “apapun aku lakukan asal membuat kamu tenang ma”.
Karena aku merasa setiap kali hari raya suamiku bersemangat sekali melihat aku
bertemu sapa dengan perempuan itu, ungkapan sangat bahagia saat kami saling
bersalaman sambil bercium pipipun begitu terlihat. Dulu aku belum mengetahui
yang sebenarnya, aku cuek saja. Tapi sekarang… aku masih binggung menentukan
sikap.
Bagi para pembaca yang
baik, berilah aku nasehat yang bijaksana untuk masa depan keluarga kami. Aku
sangat mencintai keluarga kami, dan aku tak inginkan keluarga yang lainnya.***
Seperti yang
diceritakan kawan Astri kepada redaksi
Tidak ada komentar
Posting Komentar