Sesungguhnya Medan adalah kota yang sama sekali asing bagiku, dan aku tidak tahu pasti disebelah mana alamat Winny. Namun niatku telah bulat, aku akan membantu Winny mencari apa yang sangat dia inginkan.
Setelah beberapa hari berkendara (yang tak perlu kuceritakan betapa berisik, penuh sesak dan sumpeknya berada dalam bus jurusan Jawa-Sumatra), maka sampai juga akhirnya aku di Medan.
Sebagai seorang stalker sejati, yang pertama-tama kulakukan adalah mengetahui lokasi target. Alamat butik dan salon Winny sangat mudah ditemukan, maka aku bisa segera merencanakan berbagai rencana, mulai dari rencana A hingga rencana Z.
Sebelumnya, aku sudah lama mendengar, bahwa di Sumatra ada seorang sakti bernama Dato Raja Kumbang. Katanya dia tinggal di sebuah hutan yang penuh dengan siluman dan makhluk jadi-jadian. Konon kabarnya, Dato Raja Kumbang menjadi penguasa hutan itu, dan juga penguasa bayangan dari Sumatra yang sesungguhnya. Semua dikarenakan kesaktiannya, dan juga pusaka yang disimpannya, yang katanya sanggup memberikan apa saja yang diinginkan orang yang dengan tulus menjalani ujian khusus.
Sejujurnya aku tidak percaya dengan itu semua, dan kalian pun kurasa juga tidak akan percaya. Namun meskipun begitu, aku tetap mempersiapkan diriku dengan berbagai macam peralatan dan perkakas yang mungkin saja bisa membantuku selama perjalanan. Tak lupa kuasah pedangku setajam mungkin, aku sadar, mungkin akan ada sedikit pertumpahan darah melawan siluman atau makhluk jadi-jadian, jadi ketrampilanku sebagai pemburu vampir mungkin akan sedikit dibutuhkan.
Namun demi mendapatkan apa yang sebenarnya diinginkan oleh Winny, aku harus mau tidak mau juga harus menempuh ujian itu. Aku membayangkan petualangan layaknya Hercules putra Zeus ketika menempuh 12 Ujiannya, atau petualangan Son Goku mengumpulkan ketujuh Dragon Ball sehingga bisa mengabulkan semua permintaannya.
Singkat saja, berbekal Google Maps di ponselku, aku dengan segera dapat menemukan lokasi tempat persemayaman Dato Raja Kumbang. Hutan tempat tinggalnya merupakan gabungan dari rawa-rawa becek, hutan setengah lebat dengan pohon-pohon tinggi berumur tua, dan juga semak-semak broom tinggi yang menimbulkan rasa gatal di kulit.
Layaknya petualangan yang sering ditayangkan di televisi swasta tentang eksplorasi daerah nusantara yang belum terjamah, aku menerobos hutan dengan penampilan seorang backpacker sekaligus pemburu vampir. Dan pada pagi hari setelah lusa ketika aku memulai perjalananku, aku akhirnya bertemu dengan Dato Raja Kumbang.
Penampilannya jauh dari bayanganku semula. Ternyata dia belum begitu tua, meskipun dari namanya terdengar seperti dia sudah tua. Dato Raja Kumbang berpostur tegap, dengan tubuh lumayan gempal, rambut sebahu, dan berpakaian sederhana seperti layaknya orang desa.
Dato Raja Kumbang tinggal di sebuah gubuk tua, yang dibangun tinggi menyerupai rumah panggung. Awal pertemuanku di depan pintu gerbang rumahnya sangatlah mendebarkan, karena dia menyapaku dengan bahasa kaum pendekar.
“Selamat pagi!” sapa Dato Raja Kumbang. “Ada apa gerangan kisanak datang ke tempat ini?”
“Selamat pagi!” kataku dengan riang. “Saya sedang mencari Dato Raja Kumbang.”
Dato Raja Kumbang tersenyum, “Kalau begitu keberuntungan mempertemukan kita,” kata sang Dato. “Senang berjumpa denganmu. Kisanak sedang berlibur ya? Atau mungkin sedang melakukan syuting acara petualangan di sekitar tempat ini?”
“Bukan, saya bukan kru film Perjalananku dan Petualanganku yang terkenal itu, saya hanya kebetulan sedang jalan-jalan dan ingin bertemu dengan anda,” jawabku menjelaskan.
“Bertemu denganku?” Dato menatapku dengan curiga, “Apakah kisanak dari Koperasi Simpan Pinjam?”
“Bukan,” jawabku.
“Ah, mau menarik motor saya karena cicilan terlambat tiga bulan?” tebak Dato seenaknya.
“Bukan juga,” jawabku jengkel. Lagipula aneh sekali kalau di tengah hutan lebat seperti ini sang Dato punya motor, cicilan lagi.
“Baiklah-baiklah. Jadi apa keperluan kisanak sebenarnya?”
“Saya kemari ingin bertemu dengan Dato, perihal tentang pusaka yang dipunyai Dato, yang konon katanya sanggup mengabulkan segala keinginan,” jawabku dengan jujur.
“Ah, batu bertuah ya!” seru Dato akhirnya. “Kenapa tidak kisanak utarakan dari tadi. Mari, masuklah ke dalam rumah.” kata Dato dengan ramah.
Maka begitulah, sang Dato pun mengundangku masuk ke dalam rumahnya yang seperti rumah panggung itu. Kontruksinya dari kayu (semuanya) dan tampak sederhana sekali, namun juga sangat berkesan kuno.
Rumahnya agak bau, yang berasal dari campuran kayu lapuk, tikar apak dan juga tumpukan cucian beberapa hari. Meskipun begitu, di bagian bawah rumah, aku sempat melihat 2 motor matic model terbaru diparkir, belum lagi sebuah sepeda lipat, sebuah skuter, dan sebuah gerobak sederhana.
Selain itu, pekarangan belakang terdapat ladang jagung yang bercampur anea macam sayuran, dan juga kandang domba. Aku yakin hidup Dato di tempat ini seperti layaknya permainan berkebun di Android.
Ketika memasuki rumah, Dato segera memperkenalkan aku dengan kedua istrinya, yang masih muda belia dan cantik. Mereka berdua segera mempersiapkan jamuan makan, sementara Dato mengajakku masuk ke sebuah ruangan lain. Di ruangan itu, Dato mengeluarkan kotak kayu berbungkus kulit yang sudah sangat kuno sekali.
Kotak itu diletakkan di lantai, lalu Dato mengajakku duduk, dan membuka isinya.
“Inilah batu bertuah yang melegenda itu,” kata Dato sambil menunjukkan sebuah batu berwarna merah seukuran jempol kaki, dengan goresan berwarna emas pada bagian tengahnya, melintang tipis berbintik pada pinggirannya. “Sebenarnya aku menamai batu ini dengan nama batu Bulu Macan, tapi beberapa orang malah menyebutnya sebagai batu bertuah.”
Aku mendekat mengamatinya, dan entah kenapa merasa pernah melihat batu yang serupa seperti itu di Pasar Tanah Abang. Ini adalah salah satu jenis dari sekian banyak jenis batu akik yang tersohor itu. Lalu dimana sebenarnya tuahnya? atau bagaimana bisa batu ini mengabulkan segala macam permintaan?
“Ketahuilah kisanak, sebenarnya apa yang ada di dunia hanyalah semu. Semua yang dilihat mata hanyalah pancaran dari permainan cahaya. Kepuasan dan ketenangan yang sesungguhnya ada dalam hatimu sendiri,” kata Dato dengan tiba-tiba. “Jika kau menginginkan sesuatu, maka mintalah hanya kepada Tuhan. Hanya Tuhan yang sanggup mengabulkan segala keinginan, dan juga sesuatu yang kau cari-cari itu.”
“Tapi menurut kabar yang kudengar, Dato adalah orang sakti yang menguasai daerah ini. Bahkan bisa dikatakan penguasa dari hutan ini, berikut siluman dan makhluk jadi-jadian yang menjadi penghuni tempat ini. Bahkan banyak yang percaya keajaiban dari kekuatan pusaka yang dipunyai Dato ini.”
Sang Dato hanya tersenyum, “Percayalah kisanak, itu semua hanyalah bagian dari infotainment. Agar orang-orang dapat berkunjung ke tempat seperti ini, dan juga mengeksplor kekayaan negeri kita yang indah ini, maka diciptakanlah legenda seperti itu. Kisah-kisah seperti itu hanyalah buatan manusia. Manusia selalu tidak puas dengan apa yang telah diraihnya, juga tidak pernah bisa menyadari apa yang telah berada di tangannya.
Maka dia pun mencari kepuasan lain, dengan melakukan hal-hal yang berhubungan dengan alam, seperti mendaki gunung, eksplorasi, outbound, hiking, berkemah dan beberapa kegiatan lain yang berhubungan dengan alam.
Semuanya dengan tujuan merefresh pikiran, meredakan ketegangan sehabis lelah bekerja, dan alasan-alasan lain. Namun semuanya itu bermuara pada satu hal; Manusia harusnya bisa lebih banyak bersyukur.”
“Tapi kulihat disini Dato hidup nyaman dan bahagia, dengan rumah dan semua ladang, juga istri-istri yang cantik. Bagaimana Dato bisa melakoni semua ini?”Dato kembali tersenyum, sambil berkata; “Hanya satu kisanak,” Dato membuka kedua tangannya dengan dramatis, “Cinta. Dengan itu, kita mampu menjalani segalanya, meraih segalanya, mencukupkan segalanya, dan juga membahagiakan semua.”
Entah kenapa aku tiba-tiba terharu. Memang benar jawabannya hanya satu. Maka aku pun bersujud dan bersyukur, lalu meraih tangan Dato dan menciumnya atas segala petuah dan nasehatnya.
Lalu salah seorang istri Dato mengundang kami, dan memberitahu bahwa hidangan sudah disiapkan, dan kami pun makan bersama.
Aku menginap di rumah Dato semalam, dan menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kehidupan sederhananya dijalani. Tak ada bunyi berisik selain seruling yang ditiup istrinya untuk menghibur kami, atau bunyi paduan suara selusin kumbang yang malam itu melakukan konser di salah satu pohon.
Tak ada wi-fi maupun jaringan internet di tempat ini, hanya sekeranjang buah-buahan apel dan beri hitam yang menemani obrolan kami. Namun meskipun begitu, ada kedamaian tak terungkapkan yang kudapat di tempat ini. Di tempat ini, cinta benar-benar diwujudkan dalam setiap suasana.
Kata-kata istri Dato yang manis dan anggun, juga perhatian dan kasih sayang sesama penghuni rumah itu yang hangat dan ceria, seolah kebahagiaan tak pernah mau pergi dari rumah ini. Semua hal dan tindakan dilakukan dengan sepenuh hati, dan aku mendapatkan banyak sekali nasehat dan pengalaman. Dan paginya aku segera bergegas kembali ke kehidupanku yang sesungguhnya, dunia dimana cinta hanya sebuah kata tanpa makna.
Sebelum aku pergi, salah seorang istri Dato mendatangi sambil membawa sebuah bungkusan. “Ini hadiah dari Dato untukmu, bawalah pulang. Semoga bisa membantumu menemukansesuatu yang kamu cari itu.” Aku menerimanya dan berterima kasih.
Tidak ada komentar
Posting Komentar