Presiden Jokowi tiba-tiba membuka ekspor pasir laut yang hanya menguntungkan oligarki atau korporasi besar. Namun merusak ekosistem laut serta merugikan nelayan. Ini jelas tak sesuai dengan tagline Jokowi: Jangan pernah memunggungi lautan.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Melky Nahar mengaku tak heran dengan keluarnya PP Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Beleid ini, membuka izin pemanfaatan pasir laut untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.
“Padahal, tagline Jokowi adalah ‘Jangan Memunggungi Lautan’. Jelas sekali berlawanan dengan PP 26 Tahun 2023 yang membuka ekspor pasir laut,” papar Melky.
Ya, Melky benar. Saat pidato pertama Presiden Jokowi di Gedung DPR-MPR, Jakarta pada 20 Oktober 2014, jelas kata-katanya.
“Kita telah lama memunggungi samudra, laut, selat, dan teluk. Maka, mulai hari ini, kita kembalikan kejayaan nenek moyang sebagai pelaut pemberani. Menghadapi badai dan gelombang di atas kapal bernama Republik Indonesia,” kata Jokowi.
Artinya apa? Arah kebijakan dari pemerintahan Jokowi akan memuliakan lautan dengan tata kelola yang brilian. Bukan malah membuka kembali ekspor pasir laut yang sudah 20 tahun disetop Megawati. Demi mencegah rusaknya laut, pulau pesisir dan potensi periukanan laut yang nilainya cukup besar. Termasuk kehidupan nelayan yang notabene wong cilik.
“Sebenarnya, kita enggak kaget. Karena UU Minerba dan Cipta Kerja jelas sekali bagaimana Jokowi begitu mengakomodir korporasi-korporasi besar atau oligarki. Kini sektor kelautan juga mulai diberikan,” kata Melky lagi.
Padahal, membuka kembali ekspor pasir laut, lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Pulau-pulau kecil hilang, habitat ikan dan terumbu karang yang nilainya cukup besar, rusak seketika. Bahkan pernah ada riset yang menyatakan, Indonesia tekor Rp2,7 triliun per tahun dari penambangan pasir laut ilegal.
Buka Lagi Ekspor Pasir Laut, Kemaritiman Jokowi ke Titik Nadir
Setelah dilarang selama 9 tahun, Presiden Jokowi ‘menghidupkan’ lagi ekspor pasir laut. Kebijakan ini jelas merusak laut, menyusahkan nelayan khususnya di Kepulauan Riau (Kepri). Disampaikan Amirullah, nelayan dari Pulau Karimun, Kepri, kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir laut, sangat kasat mata. Wajarlah, aksi penambangan pasir laut yang ugal-ugalan terjadi selama puluhan tahun di wilayahnya. Dampak dari penambangan pasir laut, sangat menggangu kehidupan ikan dan terumbu karang yang letaknya hanya 5 mil dari garis pantai. Semuanya rusak.
”Dulu, dayung sampan sedikit saja, sudah bisa dapat ikan. Sekarang, pakai sampan, nelayan enggak akan bisa hidup. Karena enggak ada ikan,” kata Amirullah, dikutip Senin (29/5/2023).
Pun demikian Amdan, nelayan dari Pulau Pemping, Kecamatan Belakang Padang, Batam, Kepri. Aksi penambangan pasir laut membuat habitat ikan hancur, nelayan pun sulit mendapat ikan. Selain itu, nelayan yang menghuni pulau-pulau kecil, semakin tak jelas nasibnya.
Karena, banyak sekali pulau kecil yang menghilang. Dikeruk pasirnya untuk bahan baku reklamasi Singapura. ”Pulau kami abrasi parah,” ujarnya. Kata Amdan, sejak 1976, pasir laut dari perairan Batam dan Karimun, Kepri, dikeruk serampangan hanya untuk memperluas daratan Singapura (reklamasi).
Bisa dibayangkan, daratan Singapura terus bertambah karena pasir yang dikirim dari Kepri, sedikitnya mencapai 250 juta meter kubik per tahun. Dengan dibukanya kembali ekspor pasir laut, tak salah bila nelayan seperti Amran dilanda was-was. Dia mempertanyakan komitmen kemaritiman yang selalu digembar-gemborkan Jokowi. Kebijakan ini, hanya menguntungkan oligarki, tapi menyulitkan nelayan.
”Laut di sini bagus dan kami sudah sejahtera. Laut yang membesarkan kami, laut yang menyekolahkan kami. Kami tak butuh tambang pasir laut,” ucap Amdan.
Mengingatkan saja, pada 15 Mei 2023, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Beleid ini, membuka izin pemanfaatan pasir laut untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.
Padahal, ekspor pasir laut lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Pulau-pulau kecil hilang, habitat ikan dan terumbu karang yang nilainya cukup besar, rusak seketika. Bahkan pernah ada riset yang menyatakan, Indonesia tekor Rp2,7 triliun per tahun dari kegiatan pembangan pasir laut ilegal. Eks Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti sempat berharap Jokowi mengurunkan niat membuka kembali izin ekspor pasir laut. Namun tak mempan juga.
Dikutip dari akun twitter @susipudjiastuti, Senin (29/5/2023), penambangan pasir laut justru membawa masalah baru.
Kekayaan alam bukannya dipelihara malah dijadikan duit dan duit. Sementara kerusakannya cukup besar di masa sekarang dan selanjutnya.
“Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut,” tulis Susi.
Sementara mantan Staf Khusus Presiden SBY, Heru Lelono melontarkan cuitan yang nadanya sama.
“Saya masih ingat kasus penyedotan pasir laut. Selain pasti merusak ekosistem dasar laut, ada bahan lain selain pasir yang dicari,” tulis Heru, dikutip dari akun twitter @her_alone.
Sekitar 20 tahun lalu, komitmen bahari Presiden Megawati boleh juga. Dia memerintahkan Menteri Perindustrian Rini Soemarno melarang ekspor pasir laut, melalui Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Laut. Demi menyelamatkan lingkungan laut, karena sudah banyak pulau kecil yang menghilang. [The Jogja Notify/Inilah]
Tidak ada komentar
Posting Komentar