The Jogja Notify - Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan menyindir bakal calon presiden (bacapres) ke depan tidak hanya bicara perubahan, tapi dapat melanjutkan pembangunan Presiden Jokowi.
Luhut memang tidak spesifik menyebut bacapresnya, namun sejauh ini bacapres Anies Baswedan yang kerap bicara perubahan.Terkait hal itu, Tim 8 Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Sudirman Said menilai pernyataan tersebut tak pantas diucapkan seorang pejabat tinggi negara.
"Pernyataan bahwa Presiden mendatang tidak boleh bicara perubahan rasanya tidak tepat diucapkan oleh seorang Pejabat Tinggi Negara," kata Sudirman Said dalam keterangannya, Jumat (16/6).
Sudirman menyebut, pernyataan Luhut menimbulkan persoalan. Sebab, tugas pemimpin adalah menghadirkan perbaikan yang bisa dirasakan masyarakat. Itulah nilai tambah dari pemimpin yang baru ke depan.
"Ada beberapa persoalan mendasar dengan pernyataan itu. Pertama, tugas utama seorang pemimpin adalah menghadirkan perbaikan. Perbaikan bisa berarti percepatan, perluasan, penyempurnaan, atau penataan ulang program maupun tata cara mengelola. Bila seorang pemimpin masuk ke suatu institusi, termasuk Pemimpin Negara, tak boleh membawa agenda perubahan, sama saja meminta pemimpin itu tidak memberi nilai tambah," ujar Sudirman Said.
"Buat apa ada Pemilu yang biayanya puluhan triliun bila pemimpin yang terpilih tidak menjanjikan perbaikan," lanjutnya.
Menurut Sudirman Said, tidak ada yang salah jika seorang calon pemimpin bicara perubahan dan perbaikan. Sebab, ini juga punya dasar hukum.
"Kedua, dalam pengelolaan institusi apa pun, ada hukum dasar yang mengatakan: 'selalu ada ruang untuk melakukan perbaikan'. Negara Indonesia yang besar, majemuk, dan potensinya menjadi negara kuat juga menyimpan begitu banyak ruang perbaikan dan penyempurnaan. Perbaikan dan Penyempurnaan itu ya perubahan. Maka tidak tepat bila Presiden mendatang tak boleh bicara atau tawarkan perbaikan," imbuh Sudirman.
Sudirman: Korupsi Kian Meluas Tanpa Perubahan
Eks Menteri ESDM ini juga menyinggung dampak buruk jika tidak ada perubahan dan perbaikan pada bangsa ke depannya. Salah satunya di bidang korupsi, hingga tingkat kemiskinan yang mengkhawatirkan.
"Ketiga, lihatlah kehidupan bernegara dengan mata hati. Memang harus kita syukuri banyak yang telah kita capai dan kerjakan. Tetapi PR kita sebagai bangsa juga tak kalah besar: korupsi yang terus meluas, kesulitan rakyat yang dialami 40 % warga negara paling bawah, hukum yang tak bekerja dengan adil, kemampuan fiskal yang dalam tekanan, utang yang semakin besar, kohesi sosial yang terkoyak, hingga konflik kepentingan para pejabat tinggi negara; kesemuanya adalah hal-hal yang harus diatasi, bila negara dan bangsa kita mau menjadi negara bangsa berwibawa dan kuat. Melarang pemimpin baru bicara perubahan sama saja meminta membiarkan masalah-masalah di atas tidak diselesaikan," ungkapnya.
Sudirman lalu bicara soal bacapres saat mendaftar ke KPU. Di sana setiap bacapres punya visi dan misi.
Akan lebih aneh jika bacapres punya visi dan misi yang isinya 'melanjutkan situasi yang sekarang'.
"Keempat, sebagai maju dalam kontestasi nanti, KPU akan meminta Calon Presiden merumuskan Visi dan Misi. Apakah semua calon Presiden dan Wakil Presiden tak boleh merumuskan sesuatu yang lebih baik. Mosok Visi misi Capres hanya: Melanjutkan situasi yang sekarang??," ungkapnya.
Terakhir, Ketua Institut Harkat Negeri (IHN) ini menyebut, agama juga mengajarkan bahwa hidup manusia harus lebih baik daripada hari ini. Menolaknya, berarti mengabaikan nilai-niali Pancasila.
"Kelima, orang beragama akan mempedomani ajaran Hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Bahkan dikatakan bila hari ini sama dengan kemarin, dan esok sama dengan hari ini, kita dikatakan merugi. Pancasila menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya semua manusia Indonesia diminta menjalankan ajaran agama. Menolak agenda perbaikan dan perubahan, sama dengan membuang Pancasila," pungkasnya. [IndonesiaToday/kumparan]
Sumber: kumparan.com
Tidak ada komentar
Posting Komentar