Keberadaan siswa ‘jadi-jadian’, oleh para praktisi pendidikan, dianggap lebih parah mudharatnya daripada siswa ‘siluman’ yang pernah menghebohkan masyarakat beberapa tahun lalu.
Hidayatullah.com | UJIAN akhir nasional (UNAS) di berbagai tingkatan sekolah biasanya dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni. Selain diikuti oleh para siswa sungguhan, pada beberapa sekolah tertentu, ujian nasional juga diikuti oleh siswa ‘jadi-jadian’.
Keberadaan siswa ‘jadi-jadian’ telah menjadi rahasia umum, dan diperbincangkan masyarakat selama bertahun-tahun. Siswa ‘jadi-jadian’ memang ada, namun sulit dibuktikan oleh masyarakat yang kurang memiliki akses pada administrasi dan manajemen sekolah.
Seperti halnya siswa sungguhan, identitas siswa ‘jadi-jadian’ secara administratif dicatat pada data pokok pendidikan (Dapodik) sebuah sekolah. Sehingga siswa seperti ini juga diberi Nomor Induk Siswa Nasional (NISN).
Bedanya, siswa ‘jadi-jadian’ tidak pernah mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) maupun aktivitas kesiswaan lainnya (seperti ekstrakurikuler) yang diselenggarakan sekolah. Mereka juga tidak pernah mengikuti ujian semesteran, apalagi ulangan serta tugas-tugas harian yang diberikan para guru mata pelajaran.
Untuk pelaporan online ke dinas pendidikan, setiap semesternya, oknum operator dapodik sekolah tertentu, akan membuatkan raport online siswa ‘jadi-jadian’, yang tentu saja nilainya ‘ditembak’.
Siswa ‘jadi-jadian’ akan datang ke sekolah ketika ujian nasional dilaksanakan. Mereka akan mengikuti ujian nasional, sebagaimana yang dilakukan oleh para siswa sungguhan.
Selanjutnya siswa ‘jadi-jadian’ diberi ijasah ‘aspal’ (asli tapi palsu) oleh sekolah tertentu, yang bersedia menjadi sekolah ‘induk’ mereka. Ijasah tersebut dikatakan asli, karena fisik dan nomor registrasinya memang asli. Sementara itu, ijasah siswa ‘jadi-jadian’ disebut palsu, karena diperoleh dengan cara tidak benar. tidak seperti para siswa sungguhan, yang berjuang mati-matian belajar setiap hari, selama bertahun-tahun, untuk mrndapatkan ijasah.
Lebih Parah dari Siswa ‘Siluman’
Keberadaan siswa ‘jadi-jadian’, oleh para praktisi pendidikan, dianggap lebih parah mudharatnya daripada siswa ‘siluman’ yang pernah menghebohkan masyarakat beberapa tahun lalu.
Sebab siswa ‘siluman’ hanya melakukan satu kesalahan saja (meskipun kesalahan tersebut tidak bisa dianggap kecil). Mereka menjadi siswa sekolah tertentu (umumnya sekolah negeri) yang dipandang bergengsi, tanpa melalui prosedur PPDB yang legal.
Siswa ‘siluman’ atau orangtua mereka diduga melakukan praktik kolusi dengan oknum pimpinan sekolah, agar bisa terdaftar pada sekolah tersebut. Dan pejabat sekolah ysng terbukti berkolusi dalam praktik ilegal tersebut bisa dijerat hukuman pidana.
Selanjutnya, siswa ‘siluman’ berbaur dengan para siswa sungguhan, untuk mengikuti KBM maupun kegiatan kesiswaan lainnya yang diselenggarakan sekolah. Mereka juga mati-matian belajar setiap hari selama beberapa tahun, hingga mengikuti ujian nasional, hingga layak diberi ijasah.
Sedangkan siswa ‘jadi-jadian’ tidak pernah mati-matian datang ke sekolah setiap hari, dan mereka pun tidak dikenal oleh sebagian besar siswa sungguhan maupun guru sekolah tersebut. Malah di beberapa sekolah tertentu, siswa ‘jadi-jadian’ tak jarang dicibir oleh para siswa sungguhan. Mereka kerap disebut tidak sekolah, tapi bisa ‘membeli’ ijasah.
Pada umumnya, siswa ‘jadi-jadian’ ditampung oleh sekolah swasta bermasalah dan tidak standar, mengingat sekolah negeri maupun sekolah swasta standar (memiliki sertifikat penjamin mutu seperti ISO) sulit melakukannya.
Anak-anak dan remaja yang karena alasan tertentu tidak mau belajar di sekolah formal, jangan diberi ijasah sekolah formal. Sesuai regulasi pendidikan, mereka hanya bisa diberi ijasah penyetaraan atau paket. (Rasmin, 2021).
Tidak perlu malu memiliki ijasah paket, karena disetarakan dengan ijasah sekolah formal. Ijasah paket juga bisa dipakai untuk melanjutkan studi hingga di perguruan tinggi, maupun untuk melamar kerja. Justru mereka (siswa ‘jadi-jadian’) akan malu berijasah sekolah formal, namun di kemudian hari ketahuan tidak bersekolah formal. (Rasmin, 2021).
Ancaman Korupsi
Keberadaan siswa ‘jadi-jadian’ membawa ancaman terjadinya perilaku korupsi, yang seharusnya dihindari oleh para praktisi pendidikan. Sebab dunia pendidikan sangat diharapkan masyarakat sebagai salah satu benteng utama dalam pemberantasan korupsi.
Jika dunia pendidikan ‘kebobolan’ oleh praktik korupsi, maka bidang lainnya akan semakin mudah digeroti oleh tindakan yang melanggar norma hukum dan agama tersebut. (Fatah, 1998). Karena dunia pendidikan dikenal memiliki tingkat idealisme yang sangat tinggi. (Semma, 2006).
Sebenarnya ada banyak praktis korupsi yang ditimbulkan oleh keberadaan siswa ‘jadi-jadian’. Namun pada tulisan ini disebutkan dua saja.
Pertama, korupsi dana BOS. Karena tercatat secara resmi pada dapodik, siswa ‘jadi-jadian’ juga diberi bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah, yang setiap tahunnya berkisar antara Rp 1 juta hingga Ro 1,5 juta per anak.
Karena siswa ‘jadi-jadian’ ini tidak aktif brrsekolah, maka dana BOS mereka bisa disalahgunakan oleh oknum pimpinan maupun pengelola sekolah lainnya, untuk kepentingan pribadi. Padahal seseorang yang menyalahgunakan dana BOS dapat dijerat pidana korupsi, karena merugikan negara dan masyarakat.
Kedua, korupsi pungli ujian nasional. Sudah menjadi rahasia umum di masyarakat, bahwa siswa ‘jadi-jadian’ dibebankan biaya pungli sangat besar untuk bisa mengikuti ujian nasional dan memperoleh ijasah. Bagi orangtua siswa ‘jadi-jadian’, pungli semacam itu biasanya dianggap wajar, sebagai ‘uang kopi’ oknum pimpinan dan pengelola yang msu berkolusi dalsm kecurangan tersebut.
Padahal kolusi dalam kasus siswa ‘jadi-jadian’ merupakan tindak pidana, sehingga pelakunya, dari pihak sekolah maupun pihak orangtua / keluarga siswa ‘jadi-jadian’ bisa dipidana. (Ma’ruf, 2023). Penyelenggara sekolah hendaknya menghindari praktek kecurangan melalui penerimaan siswa ‘jadi-jadian’, karens hal tersebut dilarang agama Islam.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda, yang artinya; “Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram.” (HR. Bukhari).
Dengan demikian, marwah dunia pendidikan nasional kita perlu dibebaskan dari berbagai kecurangan, termasuk kasus siswa ‘jadi-jadian’. Jika mengetahui adanya dugaan kasus siswa ‘jadi-jadian’, maka perlu dilaporkan ke kantor dinas pendidikan setempat. Dan ketika dinas pendidikan nenemukan bukti adanya tindak pidana, maka kasus tersebut akan dilaporkannya kepada pihak kepolisian. Wallahua’lam.
oleh: Muh. Nurhidayat
Penulis guru, da’I, kini menjadi pengurus Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah DPP Wahdah Islamiyah
Tidak ada komentar
Posting Komentar