- Bahwa secara yuridis, larangan penyebaran paham komunis oleh tatanan konstitusi sampai saat ini masih merupakan sebagai prinsip ius konstitum ( hukum yang berlaku ). Atau komunisme adalah ideologi yang inkonstitusional, karena bertentangan dengan sumber hukum NRI. Yakni ideologi negara yang berdasarkan Pancasila yang uraiannya sesuai kata benda dan wujud dan penyebutannya tersusun sesuai nomenklatur yang terdapat pada pembukaan undang undang dasar 1945.
Pastinya, larangan paham komunis tersebut, jelas – jelas dinyatakan oleh sistim hukum yang terdapat di TAP. MPR. RI NO.25 Tahun 1966 dan ketentuan sistim hukumnya atau pengaturannya terdapat di dalam Pasal 107 UU. RI. No.27 Tahun 1999. Tentang KIHP. berikut ancaman sanksi hukumannya, penjara.
Namun ternyata, hal ini dilanggar oleh kelompok masyarakat politik praktisi, bahkan menjadi platform atau agenda partai dalam anggaran dasar partai PDIP. Jokowi boro – boro melarang dan memproses hukum para pelanggarnya, Jokowi sendiri pun berasal dari partai tersebut.
Namun sebaliknya kelompok partai tersebut dan beberapa partai lainnya, melarang golongan muslim untuk bercita cita memberlakukan Republik ini dengan sistim syariah dan atau khilafah yang nyatanya mayoritas muslim. Lalu menyatakan ” tidak boleh, jauhi politik identitas. Padahal ketentuan secara eksplisit tidak terdapat larangan di dalam sistim hukum positif di negara ini terlebih jika dari sisi pandang kehidupan demokrasi.
Maka terhadap eksistensi partai PDIP. Yang demikian , Jokowi dikategorikan melakukan pembiaran terhadap adanya pelanggaran hukum. Dan dalam asas asas sistim hukum kita, perbuatan pembiaran oleh penyelenggara negara terhadap sebuah aktivitas politik terlebih dijadikan sebagai agenda. Maka Jokowi selaku penyelenggara negara tertinggi, sebagai aparatur negara telah melanggar asas hukum pidana sesuai termaktub di dalam pasal 421 KUHP. Jo. Pasal 221 KUHP. ( Obstruction Of Justice ). Serta terkait hukumannya dapat ditambah 1/3 dari ancaman hukuman terberat Vide Pasal 52 KUHP.
Faktor pembiaran – pembiaran atau menghalangi pelaksanaan proses hukum oleh Jokowi “nampak banyak nyata” dilakukan oleh Jokowi terhadap proses hukum ( lex specialist maupun lex generalis ) yang dilakukan para terpapar atau terduga pelaku korupsi dan pelaku tindak pidana umum, bahkan terhadap peristiwa yang berakibat korban nyawa masyarakat bangsa ini, diantaran unlawful killing terhadap 6 orang Mujahid yang syahid di KM 50, lalu aparatur sekedar formalitas, asal ada proses hukum, terbukti vonis bebas terhadap Para Terdakwa pelaku pembunuhan, selebihnya proses hukum tidak menyentuh intelektual dader ( otak pelaku ) dan aparatur sama sekali tidak memproses penyebab kematian delapan ratusan lebih para petugas KPPS. Yang publik menduga merupakan sebuah ” operasi racun “.
Juga, hilang tidak jelas rimbanya atas ” kematian 6 orang korban tewas ( atau 10 orang tewas, jumlah sesuai versi Komnasham ), akibat ekses tragedi demo didepan gedung MK. terkait gugatan hasil penghitungan suara KPU. Curang, pada 22 Mei, 2019 “.
Dalam hal – hal peristiwa hukum yang ada pada 2015 – 2023/ 2024, memang secara yuridis Jokowi dapat diduga kuat telah melakukan banyak pembiaran akan terjadinya banyak pelanggaran dan atau kejahatan dan atau obstruksi hukum.
Maka patut, pasal berlapis terhadapnya akan dikenakan, berikut ancaman hukuman yang bakal diterima oleh Jokowi, belum lagi ancaman hukuman penjara baginya, jika ternyata isu yang selama ini beredar luas, buas, dan ganas, ternyata terbukti, bahwa Jokowi telah menggunakan ijasah palsu S.1. Insinyur, lulusan Fakultas Kehutanan, UGM. Maka sesuai unsur – unsur hukum berdasarkan asas hukum pidana formil dan hukum pidana materil, Ia dapat dijerat hukum dengan sanksi penjara oleh sebab nyata, Ia telah menggunakan persyaratan palsu sebagai modus untuk mengikuti Pemilu Pilkada dan Pemilu Pilpres, melalui cara – cara memberikan surat keterangan dalam bentuk ijasah palsu namun seolah – olah asli serta autentik, kepada KPU.Daerah dan KPU. Pusat sebagai persyaratan mengikuti Pilwakot Solo, Pilkada DKI dan saat Pemilu Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Hal ijasah palsu, tentunya Jokowi akan bersinggungan dengan proses hukum penggunaan surat keterangan atau sertipikat dalam bentuk ijasah palsu, namun seolah – olah asli dan autentik, sesuai pasal 264 KUHP. dengan ancaman hukuman 8 tahun penjara Jo. UU. Diknas.
Hal, terkait proses tuntutan hukum berlapis serta hukumannya adalah kumulatif, oleh sebab masuk dalam rumusan hukum, yang disebut concursus realis sesuai pasal 65 KUHP. Sehingga hukumannya pun bertumpuk serta semua kumulatif harus dijalankan ( penjumlahan dari beberapa vonis hukuman ) dengan catatan hukum, bahwa ;
1. Delik atau perilaku bias ( penyimpangan ) hukum oleh Jokowi, terbukti lewat vonis dan inkracht ( berkekuatan pasti ).
2. Delik yang dilakukan oleh Jokowi belum kategori daluwarsa sesuai Pasal 78 KUHP. Atau hapusnya hukuman oleh sebab pelaku telah meninggal dunia ( 77 KUHP ).
Walau secara formal/ teknis, saat ini Indonesia menggunakan KUHP Baru dan perubahan Undang-Undang Sisdiknas, maka tentunya ada faktor keringanan hukuman berdasarkan asas legalitas, terkait tentang perubahan pasal atau perubahan undang – undang, yakni asas hukum pidana yang menyatakan, ” jika perbuatan yang diancam dengan pidana, ternyata saat dakwaan atau penuntutan, terdapat isi pasal atau UU. Telah terjadi perubahan, maka pasal yang digunakan sebagai dasar penututan hukuman adalah ancaman hukuman yang teringan diantara pasal lama dan yang terbaru.
Dan bisa saja oleh sebab begitu banyaknya kesalahan Jokowi, andaikan kejahatan yang ada, sekedar pembiaran atau kejahatan yang bukan atas tanpa perintah dirinya, namun jumlahnya sudah bertumpuk, selebihnya implikasi akibat beban asas fiksi hukum atau presumptio iures de iur, terhadap setiap orang Warga Negara Indonesia (WNI) “tentang prinsip semua orang dianggap tahu akan adanya undang – undang berikut larangan serta keberadaan sanksi hukumannya bagi si pelanggar”. Maka logika hukum pastinya Jokowi pejabat Presiden RI. Tentu sulit lolos dari asas fiksi hukum.
Maka oleh sebab, begitu banyaknya pelanggaran pembiaran yang dilakukan oleh Jokowi, ditambah begitu brutal dirinya melakukan puluhan dusta – dusta kepada rakyat bangsa ini, ditambah banyaknya diskresi atau bentuk kebijakan di masa kepimimpinannya selama 10 tahun, berikut fakta Ia mewariskan utang yang bertumpuk kepada negara dan bangsa ini dengan estimasi total ribuan trilun.
Lalu secara hukum, jika ternyata Jokowi dan kroni serta para kerabatnya dapat dibuktikan, bahwa diantara kausalitas timbunan utang merupakan ekses – ekses atau adanya faktor pemberian akses berupa diskresi berselimut mens rea atau niat jahat dalam bentuk masiv dan teroragnisir, untuk menciptakan chanse ( peluang ) terjadinya tindak pidana korupsi, termasuk juga jika ada temuan adanya unsur pembiaran atau adanya unsur – unsur obstruksi terhadap para aparatur penegak hukum, sehingga menghalangi proses hukum dari para lembaga penegak hukum ( KPK. POLRI dan KEJARI ) kepada para pelaku korup, sehingga berdampak jumlah koruptor menggurita.
Selain nyata beberapa subjek hukum yang terpapar korupsi oleh Jokowi, malah digunakan sebagai alat kekuasaan dan politiknya, dengan cara para terpapar dijadikan menteri – menteri didalam susunan kabinetnya, dan yang terbaru kasus BTS. Yang menyangkut pengembalian hasil korupsi 27 milyar ke Kejagung oleh Bimo Nandito Ariotedjo.
Sehingga adakah sanksi moral ? Akankah ada caci maki, dan terbangnya telur dan tomat busuk menghujam tubuh dan kepala Jokowi saat persidangan ? karena rasa geram publik yang terpendam atas dusta – dusta kontrak politik yang Ia buat, terlebih Jokowi dikenang publik sebagai tokoh yang hobi lmage politics ( pencitraan ), sehingga role model yang Ia tampilkan minim fatsun, serta punya gaya feodal dengan pola lempar bingkisan dari dalam kendaraannya kepada masyarakat di pinggir jalan raya.
Adapun, sanksi hukuman yang bakal diterima oleh Jokowi, jika kelak terbukti dan inkracht ” bisa jadi, paling rendah hukumannya
seumur hidup atau vonis mati.
Maka dalam penantian eksekusi, tidak mustahil, Jokowi akan dipenjara bareng bersama anak kandungnya Walkot Surakarta, Solo ( Gibran ) yang sudah dilaporkan ke KPK.
Oleh: Damai Hari Lubis (Pengamat Hukum Mujahid 212)
Tidak ada komentar
Posting Komentar