- Hampir satu abad yang lalu seorang sosiolog, sejarawan, kritikus arsitektur, dan perencana kota Lewis Mumford merumuskan tahapan perkembangan kota dalam buku “The Culture of Cities (1938)".
Menurutnya, suatu kota akan membentuk peradaban dan menanjak berkembang ketika masyarakat memanfaatkan alam secara tradisional untuk kebutuhan hidup.
Lalu, ketika segala hajat hidupnya telah terpenuhi, maka ide-ide liar mulai bermunculan. Keajaiban pun tercipta lewat tangan-tangan manusia. Suatu keajaiban bernama Teknologi.
Teknologi ini yang mengantarkan masyarakat masuk ke tahapan industri, ketika segala hal berjalan dengan mudah dengan bantuan mesin-mesin otomatis -- sahabat baik dari manusia yang kelak di masa depan bisa menusuk dari belakang.
Pada perkembangan selanjutnya, daerah sekitar tumbuh menjadi kantong-kantong penyokong bagi pusat. Birokrasi pun terlahir dalam tahapan bernama Metropolis.
Di tahapan ini, ibu kota pun mulai menampakan wajah aslinya. Ia menggoda para pencari materi dan mimpi, tetapi bisa seketika berubah bagai sosok galak menyeramkan dan tidak jarang mematikan mereka yang kalah.
Lonjakan kemajuan ini lalu akan mulai menunjukkan akhirnya, sebagaimana semua benda yang terbang pasti akan ditarik oleh gaya gravitasi.
Maka kota pun mulai menunjukan penurunan.
Masyarakat baru terlahir sepenuhnya individualistik dan kota tak ubahnya sebuah parasit raksasa yang menggerogoti warganya. Teknologi berubah sosok menjadi tirani, menimbulkan masalah baru yang lebih besar ketika ia berhasil menyelesaikan masalah lama.
Tahapan terburuk pun dimulai, dengan masyarakat mulai tidak tahan dengan kondisi yang ada. Sebagian dari mereka memilih untuk pergi untuk selamanya.
Organisme-organisme lama yang telah punah kemudian mulai datang kembali mengisi kekosongan yang tercipta. Jika berpikir liar, kemajuan justru mengajak zaman kembali berputar ke masa purba.
Di saat inilah, menurut Mumford, kota terlahir menjadi Nekropolis.
Tidak ada komentar
Posting Komentar