- Terkadang, ada satu-dua cerita tersisip dalam rintik air itu. Cerita cinta, cerita sedih, cerita horor, cerita misteri, semuanya ada, melebur menjadi satu-kesatuan dan menyimpan rahasia cerita itu untuk selamanya. Selama air masih mengalir dan kembali menjadi hujan, cerita itu abadi.
Maka, luka masa lalu selalu datang menghampiri, bernostalgia di tengah hujan menjadi hal yang umum. Itulah sebabnya, aku tidak ingin melihat hujan. Agar aku tidak diingatkan lagi pada masa lalu.
Tapi terkadang, aku pun tidak bisa lari dari hujan. Ia selalu datang menghampiriku. Jikalau ia datang dengan pertanda, aku masih bisa mempersiapkan diri. Mengurung diriku dari hujan, membiarkan diriku terlarut dalam bacaan ataupun film. Membuat diriku seakan tidak tahu jika di luar hujan sedang datang.
Namun, jika ia datang tiba-tiba, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku kembali tersesat dan terhisap dalam rintiknya. Meresap ke dalam tulang dan darahku lalu perlahan merobek bagian dalam diriku.
Sulit untuk lari dari hujan. Bukankah begitu?
Jika aku mendapati diriku termangu di depan hujan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Begitupula dengan orang di sekitarku. Mereka tidak bisa menarikku keluar tanpa harus membuatku basah oleh rintik hujan. Aku akan berada di sana selama hujan itu datang. Seperti penyakit. Penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Aku akan memejamkan mataku, mendengarkan harmoni hujan yang sendu. Rintiknya membiusku. Membawaku kembali pada masa-masa ketika kedua kakiku lebih senang berlari ketimbang berjalan.
Ketika diriku lebih senang memiliki rambut pendek ketimbang rambut panjang. Otakku kemudian akan memproyeksikan bayangan diriku. Aku yang lebih muda. Rambut pendek sebahu dengan seragam putih-abu. Bukan remaja perempuan yang senang bersolek, hanya seorang remaja perempuan yang senang berpetualang.
Kemudian, muncul sosok lain. Seorang remaja laki-laki yang selalu setia menemaniku sejak aku kecil. Punggungnya menjadi pemandangan tak biasa bagiku. Jemarinya bagaikan kait diriku agar aku tidak tersesat. Sosoknya menoleh padaku. Kedua matanya tertutup tirai rambutnya. Dan bibirnya bergerak-gerak mengucap sesuatu. Sesuatu yang familiar. Tidak asing.
Mataku kemudian kubiarkan perlahan terbuka dan kupejam sekali lagi. Kubiarkan lagi tiap tetes itu meresapi diriku. Sosok itu berbicara sekali lagi. Ayo pulang. Hanya dua kata itu. Lalu ia tersenyum. Sosoknya menghilang setelah itu. Tinggal cahaya. Di saat itu, rintik hujan berpindah ke manik mataku.
Kenangan demi kenangan datang dan pergi setelahnya. Seperti potongan-potongan film, hanya sedikit namun amat menyesakkan dada. Semua memori itu datang-pergi tanpa henti. Memori-memori yang mengendap di dasar danau terdalam, terapung kembali ke permukaan tanpa lupa membawa emosi yang lebih hebat daripada sebelumnya.
Sosok itu yang selalu meraih tanganku ketika aku terjatuh.
Sosok itu yang selalu mengusap kepalaku jika aku melakukan kesalahan.
Sosok itu yang selalu menghapus tangisku.
Hal manis, hal pahit. Juga hal-hal kecil. Sosok itu yang senang menggigiti kukunya ketika berpikir, menutup setengah wajahnya ketika berbohong, menjentikkan jarinya ketika tidak sabar menunggu. Atau diriku yang dadanya bisa sesak hanya karena bayangannya menyentuh diriku, jumpalitan ketika ia berada sangat dekat padaku, senyuman-senyuman yang otomatis muncul ketika ia berada dalam jarak pandangku.
Hanya hujan sebatas gerimis sudah mampu membuat diriku terjebak sebegitu dalam.
Jika gemuruh hujan semakin deras, aku akan jatuh ke palung terdalam. Bukan lagi sebatas kenangan-kenangan yang menyesakkan, hanya penyesalan dan mimpi-mimpi buruk.
Tidak ada komentar
Posting Komentar