- Semenjak dahulu kala hingga masa Indonesia modern, tradisi sesumbar dengan memotong bagian tubuh seperti potong telinga lazim digunakan. Di zaman masa transisi atau pada awal berdirinya kerajaan Majapahit pun sudah ada aksi potong telinga yang dilakukan Raja Singasari Kertanegara (tahun 1293) yang memotong telinga Meng Ki, utusan Kaisar Cina Khubilai Khan. Kertanegara memotong telinga Meng Ki sebagai jawaban atas surat dari Kaisar Cina agar negara Singasari menjadi koloninya.
Uniknya, dalam rentang masa modern, dalam soal perpolitikan paling mutakhir sesumbar sejenis mulai dari aksi bunuh diri meloncat dari puncak Tugu Monas, potong alat kelamin hingga payudara, jalan mundur, menggantung diri, hingga potong telinga makin kerap dilakukan.
Namun, dalam kasus ini yang paling mengasyikan untuk dibahas adalah soal janji iris atau potong telinga. Paling awal yang sesumbar akan potong telinga adalah tokoh PPP (dulu) dari Kampung 'Tenabang', Haji Lulung Lunggana. Dia berjanji untuk potong telinga dalam dua hal. Pertama, ketika membalas manuver Ahok yang sesumbar akan maju melalui jalur independen dalam Pilkada Gubernur DKI Jakarta. Lulung menampiknya karena menurut analisanya Ahok hanya 'omong besar' saja.
Nah, janji potong telinga yang kedua dari Lulung adalah ketika menyebut Ahok tak bakal menang dalam Pilkada yang baru berakhir beberapa hari itu.''Iris kuping saya kalau Ahok Menang,'' kata Lulung. Lalu apa hasilnya? Ternyata dikemudian hari apa yang dikatakan Lulung terbukti: Ahok maju melalui dukungan partai dan kalah dalam Pilkada. Di sini, harus diakui, Lulung punya insting politik yang hebat. Dan kala itu menjadi pantas ketika sesuai pilkada Jakarta banyak kader PPP yang mengelukan dia menjabat sebagai Ketua Umum PPP.
Selain Lulung sesumbar iris telinga terkait pilkada Jakarta, juga datang dari pernyataan 'bintang talks show' atau politisi kutu loncat dan tukang jilat penguasa Ruhut Sitompul. Sesumbar terlontar dari mulut Ruhut ini terjadi di akhir Januari 2017 lalu. 'Si Poltak Raja Minyak' sebutan akrab dari Ruhut, bilang siap potong kuping kalau Ahok tidak menang di Pilkada 2017.
Kala itu, Ruhut diminta menanggapi hasil survei CSIS. Kebetulan, survei menempatkan Ahok sosok pemimpin Jakarta 'tanpa tanding' karena memiliki popularitas paling tinggi (94 persen) dan tingkat elektabilitas tinggi (43,25 persen), dibandingkan tokoh lain yang dinilai layak untuk maju dalam pencalonan gubernur Jakarta.
Tapi suratan tangan Ruhut berbeda dengan Lulung. Ahok yang didukung Ruhut kalah telak dalam Pilkada DKI Jakarta. Maka setelah itu tentu saja di medsos berhamburan tuntutan agar 'Ruhut potong telinga' untuk melunasi janjinya. Salah satunya datang dari 'seteru abadinya' Hotman Paris Hutapea.
"Apakah sekarang tiba waktunya untuk perhelatan potong dua kuping? Kapan dan di mana?" kata Hotman.
"Apakah acara potong kuping perlu dibuat upacara Tor-Tor adat Batak dengan acara Gondang Batak Bertalu-talu. Hotman Paris bersedia menjadi Raja Parhata (pemimpin adat)," ujarnya lagi.
Tak hanya di dalam politik aksi iris potong telinga pernah menjadi polemik seru pada dunia musik Indonesia. Situasi ini muncul pada pertengahan tahun 1970-an ketika ada perseteruan yang keras antara pendukung musik rock dan dangdut. Saat itu kedua kubu saling ejek bahkan caci maki. (Tidak terbayang kalau saat itu sudah ada media sosial).
Kubu musik rock mengolok-olok sampai habis-habisan kubu musik dangdut. Mereka mengatakan musik dangdut musik kampung, kelas comberan, bahkan sampai keluar sumpah serapah tak pantas: Dangdut musik tai kucing! Uniknya, di situlah sebutan musik dangdut muncul yang sebelumnya dikatakan 'musik melayu'. Sebutan dangdut semula dimaksudkan untuk mengejek bunyi kendang atau tabla: dang ..dut..dang..duuuut!
Adanya ejekan itu kemudian dibalas oleh pendukung dangdut dengan tidak kalah keras. Mereka menyebut rock musik syetan, musik tak bertuhan, musik kaum urakan, musik sok kebaratan, musik anak agotukung (anak gondrong tukang kangkung), dan lainnya. Mereka pun makin geram ketika pada saat yang sama beberapa 'elite musisi Indonesia' menyerukan kepada pemerintah atau penguasa rezim keamanan Orde Baru agar melarang musik dangdut.
Aksi ejek mengejek itu juga kemudian beralih ke atas panggung. Setiap kali ada konser dangdut aneka sepatu, sandal, kayu, dan batu dilemparkan ke atas panggung. Bahkan, ketika pentas di Pantai Ancol saat itu Oma Irama hampir saja terkena tikaman pisau dari seorang penonton yang merangsek naik ke panggung.
Tentu saja, aksi balasan juga dilakukan oleh penggemar rock. Setiap kali ada pentas rock berbagai sepatu, sandal, dan batu pun disambitkan ke atas panggung. Di beberapa kesempatan pertunjukan musik, aksi perkelahian antara pendukung rock dan dangdut kala itu pun sudah mulai sering terjadi.
Jejak persaingan itu terekam dalam kliping 'Majalah Aktuil' yang disimpan salah satu wartawannya abang 'Buyunk Aktuil'. Pada edisi Januari 1976 termuat kerasnya pertarungan itu. Bahkan, begitu geramnya masa kubu musik dangdut sudah mendatangi rumah Oma Irama untuk meminta izin memotong telinga dedengkot Grup Rollies: Benny Soebardja, yang menurut mereka sudah bertindak berlebihan dengan merendahkan musik dangdut. Judul beritanya adalah 'DUEL MEET MEET ROCK VS DANGDUT ANTI KLIMAKS.'
Isi berita di majalah itu sebagai berikut:
Perseteruan Rock vs Dangdut semakin meruncing setelah Deddy Dores dan Oma Irama saling melontarkan pernyataan keras di majalah Aktuil,sementara Benny Soebardja biang permasalahan buru2 buka suara minta maaf.Namun tak urung sekelompok penggemar fanatik Oma Irama mendatangi kantor redaksi majalah Aktuil menanyakan alamat gitaris Giant Step dengan tujuan ingin menyumpal cangkemnya supaya jangan asal buka mulut tanpa dasar.
Melihat gejala yang tak sehat ini majalah Aktuil mengadakan pendekatan kepada semua pihak yang berseteru,untuk mempertemukannya dalam sebuah forum terbuka bertajuk "Diskusi Musik Hard Rock vs Dhangdut".
Oma Irama yang semula bersedia hadir,sang kaisar dhangdut hanya mengirim kertas kerja serta salam damai.Dalam kertas kerjanya Oma mengharapkan jangan ada kata2 yang menganggap dhangdut musik kampungan,sementara rock dianggap musik orang kotaan.
"Pada hemat saya anggapan semacam ini bukan keluar dari masyarakat pencinta musik,tapi dari musisi2 sendiri yang omong sesuka hati memperkeruh suasana.Dari diri saya pribadi tidak terlalu merisaukan,karena masyarakat kebanyakan yang kritis menanggapinya"tulis Oma Irama.
Bens Leo yang hadir dalam diskusi Rock vs Dhangdut menceritakan bahwa Oma Irama didatangi fansnya yang bakal menyerahkan telinga Benny seminggu kemudian.Ia bertindak nekad karena tidak terima atas omongan kotor Benny tentang musik dhangdut. Dan Oma mengatakan tak perlu hal itu terjadi seandainya Benny tidak sembarangan omong dihadapan wartawan yang tak bisa disalahkan, karena tugasnya mencari berita sebanyak mungkin.
Adanya perseteruan sengit itu dibenarkan oleh Pegiat Musik Melayu, Geiz Chalifah. Di dua majalah musik yang terbit saat itu, yakni Aktuil dan Top, pertarungan dangdut dan rock jelas terlihat. Bahkan, puncak dari ancaman kekerasan yang membuat adanya keinginan untuk potong telinga, berasal dari omongan Benny Subarja yang mengatakan dangdut musik tai anjing.
"Saya membeli majalahnya. Ucapan Benny Subarja saat itu yangg menjadi ramai: dangdut tai kucing!,'' katanya. Karena dinasihati Oma Irama maka keinginan masa dangdut untuk memotong telinga Beny diurungkan.
Akhirnya, janji akan iris telinga diluar masa awal Majapahit memang terbukti hanya sesumbar saja. Dan kalau ingin disebut kesatria maka lakukan saja seperti yang dicontohkan Raja Kertanegara.
Ingat janji adalah utang yang harus dibayar!
Tidak ada komentar
Posting Komentar