Responsive Ad Slot

Tampilkan postingan dengan label FILSAFAT. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label FILSAFAT. Tampilkan semua postingan

Falsafah Panunggalan Dalam Ilmu Jawa

Tidak ada komentar

Rabu, 17 Mei 2023

 


Wacana pemikiran ini dari ranah ‘panggraita pribadi’ dan ‘spiritual forecasting’ (penerawangan batin, istilah alm. Prof. Budyapradipta – UI). Karena itu lontaran wacana pemikiran saya perlu pengkajian dan penelisikan secara logic rasional lebih lanjut.


Wacana ‘panggraita’ saya ini berpijak kepada ‘jejak peradaban Jawa’ yang masih ada dan berlaku sampai saat ini, namum tidak/belum ada penelitian ilmiah akademik. Kalau toh ada, selalu dalam nuansa ‘kooptasi budaya/peradaban’ asing dan bermuara pada kesimpulan budaya/peradaban Jawa sebagai ‘turunan’ (derivate) budaya dan peradaban Hindu dan Islam. Dengan kata lain, Jawa tidak pernah berbudaya sebelum ‘tersebari’ budaya/peradaban India (melalui sebaran agama Hindu/Buda) dan budaya/peradaban Arab/Ngatas Angin (melalui sebaran agama Islam).


Anggapan kebanyakan peneliti Jawa dan ke-Jawa-an yang demikian terasa ‘menyakitkan’ mengingat adanya unsur-unsur budaya/peradaban Jawa yang bertingkat tinggi yang diabaikan dan tidak pernah ‘digarap’. Dengan kemampuan seadanya saya menekuni wilayah kebatinan untuk menggali jatidiri saya yang Jawa. Ketemunya adalah sistim atau falsafah Panunggalan sebagai dasar budaya dan peradaban Jawa. Unsur-unsur budaya/peradaban asli Jawa dimaksud adalah:


- Sistem Religi yang khas Jawa: ‘Sesembahan (Tuhan) tan kena kinayangapa nanging nglingkupi lan murbawasesa jagad saisine’ yang diikuti konsep Panunggalan: ‘Manunggaling Kawula Gusti’.


- Konsep ‘Sedulur Papat Kalima Pancer’ sebagai konsep panunggalan struktur roh yang tidak ada dalam ajaran agama apapun.


- Sistem penanggalan Jawa ‘Panunggalan’ yang mengandung ‘petung’ (analisis) keadaan ‘alam semesta’ sebagai dasar penentuan ‘ala ayuning dina’.
- Sistim pranata sosial dan sistim pemerintahan ‘Panunggalan’ yang berbasis budaya/peradaban ‘Agraris Pertanian Sawah/Padi’. Diantaranya berupa sistim ‘kabuyutan’ yang merdeka berdaulat namun saling mengikatkan diri dalam ‘panunggalan’ guna menggapai kesejahteraan bersama dan perdamaian antar komunitas. Jejak yang masih ada sampai saat ini berupa penggiliran keramaian pasar berdasar hari pasaran (Kliwon, Legi, Paing, Pon, Wage).


Ketika mencoba menelusuri seluk beluk hal-hal tersebut di atas, saya ketemukan suatu kenyataan bahwa semuanya didasarkan kepada suatu sistim atau falsafah ‘Panunggalan’ sebagai ‘turunan’ sistim yang membangun ‘alam semesta’. Antar semua unsur di alam semesta saling berhubungan secara ‘kosmis magis’ sebagaimana ‘hubungan antar jaringan sel dalam membangun tubuh manusia hidup’. Hubungan ‘kosmis magis’ tersebut dipurbawasesa Kang Murbeng Dumadi sebagaimana hubungan antar sel dalam jaringan tubuh manusia dipurbawasesa oleh ‘Ruh’ atau ‘Sang Urip’.


Sistem Religi Panunggalan

Berbagai pernyataan para ahli, Kejawen merupakan sinkretisme: Hindu-Islam-Kepercayaan Jawa. Demikian pula agama Syiwa-Buda di jaman Majapahit dikatakan sebagai sinkretisme agama Hindu Syiwa dan Budha. Wacana seperti itu yang (barangkali) membuat para ahli sejarah menyatakan bahwa Jawa dikatakan ‘bersejarah’ dimulai sejak masuknya budaya dan peradaban India. Masa sebelumnya dinyatakan sebagai ‘jaman prasejarah’ dengan kepercayaan animisme.


Tanda kepercayaan animisme disebutkan berupa tempat bersembah kepada arwah leluhur pada ‘bangunan berundak’. Wacana yang demikian menjadikan lahirnya pendapat umum bahwa Jawa belum ber-Tuhan ketika belum masuknya agama-agama dari Asia Daratan. Wacana yang demikian yang mengganggu pikiran saya sebagai orang yang terkodratkan sebagai ‘wong Jawa’. Karena itu, saya memasuki wilayah ‘penekunan kebatinan’ Jawa untuk mencari jawab terhadap pendapat ‘Jawa belum ber-Tuhan sebelum menerima sebaran agama-agama dari Asia Daratan.’


Pada petualangan dan penjelajahan di ranah penekunan kebatinan ini, saya bertemu dengan konsep falsafah ‘Panunggalan’. Kalimat pentingnya berupa “Manunggaling Kawula Gusti”. Sungguh mengejutkan bahwa pada konsep ini mengajarkan adanya ‘kesatuan’ antara ‘Dzat Tuhan’ dengan alam semesta berikut isinya, termasuk manusia. Makna pengertian mudahnya, ada ‘Dzat Tuhan’ (sebagai Gusti) pada diri manusia (sebagai Kawula). Dengan dasar pengertian awal yang demikian, maka saya pahami bahwa maksud ‘Manunggaling Kawula Gusti’ adalah upaya manusia mengoperasionalkan ‘kesadaran’ sebagai ‘kawula’ dalam berkontribusi ikut ‘menyangga’ panunggalan semesta. Dalam ranah ajaran Kejawen disebut ‘melu memayu hayuning bawana’.


Sedemikian rupa pengenalan saya terhadap sistim panunggalan hingga memahami struktur hubungan yang disebut dalam unen-unen ‘Manunggaling Kawula Gusti’ tersebut. Struktur hubungannya sebagaimana hubungan yang saya kenali sebagai hubungan ‘inti-plasma’ yang dalam istilah Jawa dinyatakan sebagai hubungan ‘pancer-mancapat’. Bangun hubungan dimaksud mulai unsur terkecil (misalnya: atom) sampai yang besar tak terhingga (misalnya: alam semesta). Semua terbangun dalam hubungan yang harmonis ‘inti-plasma’ atau ‘pancer-mancapat’.


Sistem religi yang demikian kiranya tidak kita ketemukan dalam ajaran agama apapun. Dan juga tidak bisa kita ketemukan ‘pakem’ panembah (ritual sembah) kepada Tuhan oleh manusia, karena adanya pengertian dan kesadaran bahwa manusia adalah ‘derivasi’ Tuhan. Yang dalam istilah Jawa dinyatakan: “Kawula iku rahsaning Gusti, Gusti rahsaning Kawula”. Oleh karena itu, ritual Jawa yang selama ini dianggap ritual sembah, ternyata merupakan ‘ritual panunggalan’ yang ditujukan kepada sesama ‘Kawula’ atau ‘titah dumadi’ ciptaan Tuhan. Ritual panunggalan dimaksud sebagai upaya mewujudkan keharmonisan (keselarasan) dalam hidup bersama. Baik sesama umat manusia maupun sesama ‘titah dumadi’ yang diciptakan dan ‘dikodratkan’ untuk tinggal bersama-sama di alam semesta.


Dengan demikian, sangat gampang dimengerti adanya anggapan Jawa terhadap semua ‘titah dumadi’ sebagai saudara sebagaimana disebut dalam ‘Wejangan Paseksen”: Yaiku wejangan jumenenge urip kita pribadi angakoni dadi “warganing Pangeran Kang Sejati” kinen aneksekake marang sanak sedulur kita, yaiku: bumi, langit, srengenge, rembulan, lintang, geni, angin, banyu, lan sakabehing dumadi kang gumelar ing jagad.


Pada masyarakat Jawa yang basis budaya dan peradabannya pada ‘pertanian sawah’, maka simbul ‘pusat kehidupan bersama’ adalah ‘patirtan’ (sumber mata air). Maka ‘ritual kehidupan bersama’ selalu berpusat kepada ‘patirtan’. Pada patirtan-patirtan diselenggarakan ritual yang diantaranya memberikan sesaji. Juga diberi penanda ‘kesakralan’ berupa patung ‘lingga-yoni’. Dan, memang merupakan kekhasan Jawa yang selalu memberi patung lingga-yoni pada tempat-tempat yang diposisikan ‘sakral’ atau kuat ‘pancaran enerji kosmis bumi’-nya.


Oleh suatu proses sejarah terjadi ‘penyebaran’ agama Hindu dan Buda dari India. Kedua agama tersebut kemudian dipeluk para elit yang ada di Jawa. Maka ada ‘proses’ kooptasi terhadap ‘Sistim Religi Jawa’ yang asli oleh agama Hindu dan Buda. Tempat-tempat sakral yang semula bertanda ‘patung lingga-yoni’ atau bangunan berundak di-Hindu-kan dan di-Buda-kan. Diantaranya dengan cara memisahkan patung lingga dari yoni, atau dijadikan bagian dari kompleks percandian.


Sebuah sistem religi asli tidak mudah hilang atau lenyap. Maka meskipun orang Jawa sudah banyak menjadi pemeluk agama-agama dari luar, realitas yang ada berupa ‘ritual’ atas dasar ‘panunggalan’ masih berjalan hingga saat ini meskipun sudah ada perubahan-perubahan. Diantaranya berupa ritual bersih desa, slametan kelahiran bayi, slametan pengantenan, dan slametan orang meninggal. Berbagai ‘ritual slametan’ tidak dikenal pada ajaran agama apapun.


Maka meskipun banyak anggapan/penilaian bahwa ‘slametan’ merupakan perbuatan syirik atau bid’ah, orang Jawa masih ‘ngeyel’ menyelenggarakan. Nampaknya tidak takut ancaman ‘neraka’ dan lebih takut mendapat ‘aral hidup’ ketika tidak mau menjalankan ‘ritual slametan’. Demikian pula ritual ‘bersih desa’ yang bermetamorfosa menjadi tradisi ‘Sadranan’ dan ‘Apitan’, sampai saat ini diselenggarakan banyak desa. Bersih desa berubah menjadi ‘bersih kubur’, upacara slametan ‘digiring’ dari patirtan ke kuburan kemudian ke halaman masjid dan ujung-ujungnya ‘diarahkan’ untuk ditinggalkan karena dianggap ‘bertentangan’ dengan ajaran agama. Sebagian desa sudah meninggalkan ritual itu namun sebagian masih menyelenggarakan karena takut mendapat ‘walat’ dari yang ‘mbau reksa’ desa.


Sistem Religi Panunggalan menyatakan bahwa ‘penciptaan’ alam semesta dari ‘antiga’ (bebakalan) yang kemudian dijadikan tiga unsur oleh ‘Kang Murbeng Dumadi’, berupa: bumi lan langit (materi), cahya lan teja (cahaya terindera dan yang tidak terindera). Dan Manikmaya (Ruh alam semesta, Sejatining Urip). Ketiganya merupakan ‘pangejawantahan’ (emanasi, derivasi) dari Kang Murbeng Dumadi. Manikmaya dijelaskan terdiri dari Hyang Manik dan Hyang Maya. Hyang Manik simbul ‘pengendali’ alam semesta, sedang Hyang Maya sebagai ‘pamomong’ jagad. Kedua Hyang tersebut yang kemudian mengendalikan dinamika alam semesta. Yang dalam pewayangan disimbulkan sebagaimana peran Bethara Guru dan Semar.

Sistim Religi Panunggalan sebagaimana saya uraikan, kiranya tidak sama dengan Hinduisme atau Budaisme, tetapi juga bukan animisme. Bahkan sangat jelas ekspresi ber-Tuhan (kesadaran religius) meski dianggap bukan agama. Dengan demikian, diperlukan kajian mendalam tentang ‘sistim religi Jawa’ sebelum divonis sebagai animisme.


Demikian pula perlu dikaji kembali tentang wacana memasukkan ‘sistim religi asli’ Jawa sebagai agama ‘Syiwa-Buda’ yang merupakan sinkretisme agama Hindu Syiwa dengan Buda. Panggraita saya, bahwa ‘sistim religi asli Jawa’ sedemikian rupa bisa ‘ngemot’ berbagai sistim religi sehingga dianggap sebagai ‘perpaduan’ agama Hindu Syiwa dengan agama Buda. Anggapan seperti itu, sangat jelas menggambarkan kalau orang Jawa (Nusantara) tak mengenal sistim religi sebelum mendapat sebaran agama Hindu dan Budha. 


Sementara bukti nyata di tengah masyarakat, setelah agama Hindu dan Buda surut dari bumi Jawa (Nusantara) tidak meninggalkan komunitas Hindu maupun Buda yang signifikan. Bahkan agama asli Bali yang semula bernama agama Tirta juga dinyatakan sebagai agama Hindu.


Kiranya banyak hal yang ‘bias’ terjadi dalam menilai sistim religi Jawa oleh para peneliti budaya, peradaban, maupun keagamaan. Bias-bias tersebut lebih banyak dikarenakan tidak tahu atau kesengajaan demi berbagai kepentingan, utamanya untuk ‘penjajahan’.


Sedulur Papat Kalima PancerAwal mula saya ‘tertarik’ dengan ‘falsafah panunggalan’ karena sering mendapatkan piwulang dan pitutur untuk selalu memule (memuliakan) ‘sedulur papat kalima pancer’. Suatu istilah yang begitu rumit untuk saya pahami karena yang dimaksud ‘sedulur papat kalima pancer’ adalah ‘struktur ruh’ manusia. Pancer adalah ruh manusianya, sedulur papat adalah ruh dari ‘ketuban, placenta, darah, dan puser’. Dinyatakan pula bahwa ruh ‘ketuban-placenta-darah-puser’ merupakan ‘penghubung spiritual’ ruh manusia dengan ruh alam semesta yang diperlambangkan dengan unen-unen ‘jumbuhing jagad cilik lan jagad gedhe’.

Penajaman piwulang tersebut menyatakan bahwa jumbuhing (hubungan spiritual) dimaksud atas kendali ‘Kang Murbeng Dumadi’ yang kemudian diperlambangkan sebagai ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Maknanya, bahwa ‘panunggalan semesta’ (panunggalan jagad saisine termasuk manusia) dilingkupi dan di-‘purbawasesa’ oleh Kang Murbeng Dumadi (Tuhan).

Dalam banyak hal, sedulur papat kalima pancer ini maunya ‘diadobsi’ oleh beberapa ajaran agama. Tetapi tidak pernah ‘nyambung’ karena menjadi aneh. Dalam agama Hindu, sedulur papat maunya disamakan dengan 4 dewa penunggu ‘janin’ dalam kandungan. Dalam Islam sedulur papat ‘disamakan’ dengan 4 nafsu: Amarah, Luamah, Sufiah, Mutmainah. 

Bahkan di awal penyebaran Islam di Jawa ada upaya menyamakan 4 dewa dalam agama Hindu dengan 4 malaikat dalam khasanah Islam: Jibril, Mikhail, Israfil, dan Ijrail. Uniknya keempat nama malaikat tersebut ditulis dalam aksara Jawa nglegena sebagai: Jâbârâlâ, Mâkâhâlâ, Hâsârâpâlâ, dan Hâjârâlâ. Nama-nama malaikat Islam versi Jawa ini terdapat di ‘kepek pedalangan’ untuk ruwatan dan tertulis dalam aksara Kawi (Ngawi Gaib).


Dalam ajaran Jawa, yang disebut ‘sedulur papat kalima pancer’ itu sangat jelas dan membumi. Yang dimaksud adalah struktur roh manusia dan hubungannya dengan alam semesta. Ketika manusia (dan semua mahluk hidup) masih dalam kandungan atau berupa telur ‘dilengkapi’ sebentuk jaringan sel yang bersamaan terciptanya ketika terjadi ‘pembuahan’. Pada manusia atau binatang menyusui, jaringan sel itu berupa: air ketuban (kawah), placenta (ari-ari, aruman), darah dan tali pusat (puser). 


Semua jaringan sel itu berfungsi sebagai penghubung janin dengan alam semesta yang diwakili oleh ‘raga’ ibu/induk-nya. Ketika janin lahir menjadi bayi, tugas/fungsi fisik semua jaringan penyerta di rahim ibu/induk berakhir. Namun pada pandangan Jawa, yang berakhir itu Cuma bentuk fisik, sementara bentuk ‘ruh’ terus belanjut. Ruh-ruh jaringan penyerta terciptanya janin tersebut kemudian menyatu dan menjadi mancapat (plasma) bagi roh si mahluk yang sudah berpindah alam, dari kandungan ke bumi/alam semesta. 

Maka sebagaimana fungsinya dulu di dalam kandungan, maka ruh-ruh penyerta terciptanya tersebut juga menjadi penghubung ruh si mahluk dengan ruh alam semesta. Maka menjadi tidak mudah dipahami ketika ‘sedulur papat’ dimaksud disamakan sebagai ‘dewa’ (dalam hinduisme) atau malaikat (dalam teologi Timur Tengah). Lebih-lebih memposisikan bahwa ‘sedulur papat’ sebagai ‘utusan Tuhan’ atau disamakan dengan ‘empat nafsu’.


Barangkali yang mendekati makna ‘sedulur papat Jawa’ adalah ‘malaikat pribadi’ yang disebut novelis Paulo Coelho dalam beberapa cerita roman spiritualisnya….


Petung Panunggalan dalam Sistim Penanggalan
Kiranya hanya Jawa yang memiliki ‘sistim petung’ berdasarkan unsur-unsur penanggalan (kalender). Meski di Bali ada juga sistim petung tersebut yang disebut ‘Wariga’, namun sistim itu diakui berasal dari Jawa. Dan literatur rujukan ‘Wariga’ di Bali adalah ‘Lontar Medang Kamulan’ yang isinya cerita tentang Prabu Watugunung di negeri ‘Kundhadwipa’. (Sundha Dwipa ?)

Cerita itu merupakan catatan lahirnya wuku (pekan, minggu) dalam sistim kalender Jawa. Unsur-unsur (perabotan) wuku diantaranya yang terpenting: Pancawara (siklus 5 hari: Kliwon, Legi, Paing, Pon, Wage), Sadwara (siklus 6 hari: Tungle, Aryang, Wurukung, Paningron, Uwas, Mawulu), dan Saptawara (siklus 7 hari: Radhite, Soma, Anggara, Buddha, Wrahaspati, Sukra, dan Saniscara). Ketiga siklus (5,6,7) digabung menjadi satu dalam siklus wuku selama: 210 hari.


Siklus pancawara (5 hari) dan sadwara (6 hari) bisa dipastikan dari Jawa/Nusantara, karena tidak ada negeri atau bangsa lain mengenal perhitungan siklus itu. Meski belum bisa dipastikan siklus ‘saptawara’ berasal dari Jawa/Nusantara, namun ada jejak yang bisa untuk dikaji. Siklus perhitungan hari pada kenyataannya sudah dicantumkan dalam banyak prasasti maupun kakawin di Jawa/Bali.


Masyarakat Jawa basis budayanya adalah pertanian sawah maka sangat mengenal dinamika perubahan situasi dan kondisi alam karena ‘budidaya pertanian’ membutuhkan pengenalan perubahan-perubahan musim. Karena itu, di Jawa kalender yang digunakan bukan sebagai pencatat suatu kejadian semata, tetapi juga berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari.


Oleh karena itu, di Jawa dikenal adanya kalender ‘surya sangkala’ (solar, berdasar peredaran bumi mengelilingi matahari), kalender ‘candra sangkala’ (lunar, berdasar perdaran bulan mengelilingi bumi), dan kalender ‘Pawukon’ (petung, gabungan siklus Pancawara, Sadwara, dan Saptawara). Ketiga kalender Jawa tersebut digunakan secara terpadu pada prasasti atau kakawin.
Yang menarik, dalam petung kalender Pawukon, masing-masing unsur ditempatkan pada posisi (dunung, Jw.) yang mengikuti ‘sistim panunggalan’, pancer-mancapat (inti-plasma), diantaranya:


Kiblat & Pancer untuk Pancawara & Saptawara :
Lor
Wage
Rebo & Kemis
|
|
Kulon _________ Tengah ___________ Wetan
Pon Kliwon Legi
Senen & Selasa Jumuwah
|
|
Kidul
Paing
Saptu & Minggu (Ahad)
Dununging (Posisi) Wuku :
Utara
8 Warigagung, 18 Marakeh
28 Kulawu
Barat Laut Timur Laut
5 Tolu, 15 Julungpujut, 1 Shinta, 11 Galungan,
25 Bala 21 Maktal
Atas 7 Warigalit, 17 Kuruwelut,
27 Wayang
Barat Timur
2 Landhep, 12 Kuningan 10 Sungsang, 20 Madhangkungan
22 Wuye 30 Watugunung
Bawah
4 Kurantil, 14 Mandasiya
24 Prangbakat
Barat Daya Tenggara
9 Julungwangi, 19 Tambir, 3 Wukir, 13 Langkir,
29 Dukut 23Manail
Selatan
6 Gumbreg, 16 Pahang
26 Wugu


Penempatan posisi (dunung) Weton (Pancawara & Saptawara) dan Pawukon pada sistim panunggalan merupakan panduan untuk menghitung (petung) yang berkaitan dengan wariga (ala ayuning dina). Dan posisi (dunung) dimaksud sesuai dengan arah posisi berbagai benda angkasa yang dipandang dari ‘posisi tengah’, Nusa Jawa. Bukan dari India atau China. Dengan demikian, petung kalender Panunggalan semakin pasti berasal dari Jawa. Dan dikarenakan menurut dongeng atau lontar-lontar yang terwariskan, petung kalender tersebut lahir di Negeri Medhang Kamulan, maka boleh disebutkan bahwa falsafah/sistim panunggalan adalah warisan Medhang.


Panunggalan Pranata Sosial dan PemerintahanPiwulang Kejawen ‘Panunggalan’ ini kemudian ‘diturunkan’, ‘diekspresikan’, dan ‘melandasi’ semua pakem (ajaran) ‘lakuning urip’ wong Jawa. Bahwa pada hubungan antara ‘pancer’ (inti) dengan mancapat (plasma) bersifat ‘kosmis-magis’. Sangat sulit dijelaskan namun riil nyata. Pengibaratannya: hubungan semua unsur alam semesta sebagaimana hubungan antar jaringan sel dalam membangun ‘manungsa urip’. 

Yang mampu saya tarik makna pemahamannya, bahwa ekspresi dan landasan budaya/peradaban Jawa mengutamakan ‘nilai rukun’ dan ‘nilai selaras’ (harmoni). Yang seperti ini bukan hanya ada di ranah wacana (teori) semata, tetapi diujudkan dalam praktek kehidupan. Misal dalam membangun sistim ‘pemerintahan yang teratur’ maka sel-sel unsur panunggalan berupa ‘kabuyutan’ (paradesa) yang merupakan daerah perdikan (merdeka berdaulat), namun saling ‘berhubungan’ dengan azas : ‘kesetaraan’, ‘perdamaian’, dan menuju kepada ‘kesejahteraan bersama’.


Membangun sistim pemerintahan yang teratur yang menuju kesejahteraan diekspresikan dengan cara membangun sistim pranata sosial ekonomi yang mampu mencakup seluas-luasnya wilayah. Maka di Jawa ada sistim ‘penggiliran keramaian pasar’ yang menggunakan kalender khas Jawa, ‘Pasaran’ (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage). Azas panunggalan juga diterapkan dalam membangun jaringan pasar ini. Pada umumnya (jaman dahulu), pusat komunitas (misal ibukota Kabupaten) hari pasarannya Kliwon. 

Hari pasaran lain digunakan untuk keramaian di pasar-pasar sekeliling (pasar plasma) pusat komunitas. Namun ‘pasar plasma’ tersebut juga merupakan ‘plasma’ jaringan pasar dari pusat komunitas lain. Contohnya: pasaran Legi di Prambanan merupakan plasma dari jaringan berpusat di Kliwon untuk Klaten, Kliwon untuk Wonosari Gunung Kidul, dan Kliwon untuk Bantul Yogya. Pasaran Wage di Pedan merupakan plasma Kliwon Klaten, Delanggu dan Wonosari Gunung Kidul. Pasaran Pon Ambarawa merupakan plasma dari pusat komunitas (Kliwon) di Salatiga, Magelang, dan menuju Semarang (kalau masih ada).


Meski masih pengamatan (butuh pembuktian) bisa dipetakan bahwa sistim penggiliran hari pasaran tersebut merupakan ‘jejaring’ kegiatan pasar (ekonomi) yang cerdas, demokratis, dan ‘tahan banting’ (sampai saat ini masih berjalan). Pengamatan selanjutnya, jejaring pasar tersebut mencakup wilayah hulu (pedalaman) hingga ke hilir (bebandaran, pesisir). Dengan demikian, di peradaban Jawa sejak kuno sudah memiliki sistim pranata sosial ekonomi yang ‘canggih’. Adanya jaringan pasar sudah pasti ada jaringan sarana dan prasarana transportasi. Maka kemungkinan pembangunan jalan raya Daendels pada dasarnya sekedar melakukan pengerasan jalan dan membangun jembatan untuk menggantikan ‘jembatan tambang’ (penyeberangan) sungai saja.


Demikian pula, bisa dipahami adanya keramik Cina dan kaca Persia di Prambanan (pedalaman Jawa) karena sudah sejak jaman kuno ada jaringan pasar dan transportasi tersebut.


Hari Pasaran (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage) adanya hanya di bumi Jawa yang saya berpendapat adalah wilayah budaya dan peradaban ‘Medhang Kamulan’. Maka meskipun penggiliran hari pasaran (pancawara) dikenal di Bali, Sundha, dan tempat lain di Nusantara, akan kita ketahui sumbernya selalu menyebut nama negeri ‘Medhang Kamulan’. Yang nyata tertulis ada di Bali, yaitu pada ‘Lontar Medhang Kamulan’. Meski perkembangannya disinergikan dengan Hindu (budaya dan peradaban India), kenyataan yang terwariskan sampai sekarang hari pasaran asal Jawa di Bali itu berbahasa Jawa Kuna. Tidak ada yang berbahasa Sanskerta atau bahasa India lainnya.


Peradaban yang sudah mengenal adanya pasar untuk bertransaksi merupakan peradaban yang maju dan ‘teratur tertib’. Karena adanya pasar sebagai tempat bertransaski merupakan faktor penting untuk mengurangi kesenjangan antar komunitas. Dampak selanjutnya menghilangakan kecenderungan akan terjadi konflik komunitas karena ada distribusi kesejahteraan. Maka dimungkinkan Jawa pada jaman dulu tidak mengenal ‘peperangan’ sebelum hadirnya sistim kerajaan yang diadobsi dari Asia Daratan. Untuk itu bisa diselisik bunyi prasasti yang kebanyakan memberikan pembebasan upeti kepada suatu ‘shima’ (kabuyutan) dikarenakan telah berjasa kepada kerajaan. Diantara jasa tersebut, memberikan lahan untuk didirikan tempat peribadatan agama tertentu. Bolehkan itu kita terjemahkan sebagai ‘penjajahan budaya’?

Sekelumit tulisan saya tentang Falsafah Panunggalan kiranya bisa menggugah kita, para lajer Jawa, untuk menelisik ulang tentang sejarah peradaban yang ada di ranah Jawa. Rasanya masih banyak yang masih merupakan misteri dan tidak pernah ada yang tertarik untuk meneliti. Karena itu banyak hal-hal yang butuh ‘klarifikasi ilmiah’ yang inti pokoknya : “Benarkah Jawa itu bersejarah setelah menerima sebaran budaya dan peradaban India ?“

Wacana bahwa budaya dan peradaban Jawa ‘turunan’ India didasarkan pada penemuan prasasti yang tertua berbahasa Sanskerta dan beraksara Devanagari. Sementara prasasti berbahasa dan beraksara Jawa Kuna (Kawi) selalu dianggap lebih muda. Hal ini menarik untuk dikaji, mengingat adanya keganjilan-keganjilan sebagai berikut:


1. Penyebaran bahasa Sanskerta dan aksara Brahmic India mengarah ke Tenggara saja. Adakah penyebaran ke Barat (Persia, Yunani, Timur Tengah) dan ke Timur (China) ? Kalau tak ada jejak penyebaran ke arah Barat dan Timur, maka India bukan episentrum penyebaran budaya dan peradaban, tetapi sebagai penerima sebaran yang berepisentrum di wilayah lain. Wilayah itu pastilah suatu wilayah yang orang-orangnya mampu melanglang buana dengan kapal/perahu. Nusantara merupakan kemungkinan terbesar sebagai episentrum budaya dan peradaban umat manusia sedunia. Maka Bahasa Sanskerta dan aksara Brahmic yang sebenarnya mengadobsi dari bahasa dan aksara bangsa-bangsa bahari yang pasti lebih mampu melanglang buana tersebut.


2. Bahasa Jawa Kuna selalu dinyatakan sebagai ‘turunan’ bahasa Sanskerta, mungkinkah wacana itu dibalik ? Bahasa Sanskerta merupakan turunan dari bahasa Jawa Kuna yang ternyata pernah eksis di seluruh Asia Tenggara. Bahwa sejak jaman kuno, bangsa Nusantara adalah bangsa bahari yang pasti mampu melakukan penjelajahan samudra, sementara bangsa India tidak mampu melakukan itu.


3. Peninggalan bangunan-bangunan kuno di Jawa berupa candi-candi perlu diteliti ulang kemungkinannya merupakan bangunan peribadatan asli agama di Jawa bukan Hindu atau Budha dari India. Kasusnya bisa merujuk ke agama Hindu Bali yang ketika didaftarkan ke Kementerian Agama RI dengan nama ‘Agama Tirta’. Tetapi diputuskan dengan nama ‘Hindu Bali’, mengapa?
Demikian tulisan panggraita saya dan mohon kiranya untuk bisa dibawarasa dengan baik bagi yang berkenan. Semoga bermanfaat,Matur Nuwun. 


Penulis : Ki S Mandali ( Supranaturalist )

 

Tembang Gundul Gundul Pacul : Makna dan Filosofinya

Tidak ada komentar

 


Sebuah lagu tradisional populer dari Jawa Tengah berjudul “Gundul Gundul Pacul” .Lagu ini merupakan ciptaan salah seorang Wali 9 penyebar agama Islam di Jawa yaitu Sunan Kalijaga. Tembang Jawa ini konon diciptakan tahun 1400-an oleh Sunan Kalijaga yang  mempunyai arti filosofis yang dalam & sangat mulia.

Sebelum kita mengenal siapakah Sunan Kalijaga. Inilah lagu pertama « Gundul Gundul Pacul ».   Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilatikta, beliau adalah salah satu murid Sunan Bonang yang juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Beberapa lagu suluk (karya sastra tasawuf)  ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Selain itu, beliau juga yang menciptakan baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.  Pemirsa Lirik utama dari lagu Gundul-gundul Pacul adalah : Gundul Pacul Gembéléngan, Nyunggi Wakul Gembéléngan, Wakul Ngglimpang  Segané Dadi Sak Latar. Gundul artinya  adalah kepala botak tanpa rambut.

Kepala adalah lambang kehormatan, kemuliaan seseorang.
Sedangkan Pacul: adalah cangkul yaitu alat petani yang terbuat dari lempeng besi segi empat. Pacul adalah lambang kawula rendah yang kebanyakan adalah petani sehingga Gundul Pacul artinya bahwa seorang pemimpin sesungguhnya bukan orang yang diberi mahkota tetapi dia adalah pembawa pacul untuk mencangkul, mengupayakan kesejahteraan bagi rakyatnya. Gembéléngan artinya: besar kepala, sombong dan bermain-main dalam menggunakan kehormatannya. Nyunggi Wakul artinya: membawa bakul (tempat nasi) di kepalanya. Pemimpin mengemban amanah penting membawa bakul dikepalanya. Wakul adalah simbol kesejahteraan milik rakyat, Kekayaan negara, sumberdaya, Pembawa bakul hanyalah pembantu si pemiliknya. Jika pemimpin masih gembéléngan (melenggak-lenggokkan kepala dengan sombong dan bermain-main). Akibatnya; Wakul ngglimpang segané dadi sak latar ( Bakul terguling dan nasinya tumpah ke mana-mana)  maksudnya sumber daya akan tumpah ke mana-mana. Dia tak terdistribusi dengan baik.

Kesenjangan ada dimana-mana. Nasi yang tumpah di tanah tak akan bisa dimakan lagi karena kotor. Maka gagallah tugasnya mengemban amanah rakyat.
  Mereka yang dibesarkan di Jawa, khususnya Jawa Tengah pasti tak asing dengan tembang Ilir-Ilir ciptaan Sunan Kalijaga ini. Melodi yang lembut, syair yang bermakna kuat menuai banyak simpati dan menjadikan lagu ini bagian dari folk music yang banyak digemari. Bagi anak-anak  ilir-ilir lebih dipahami sebagai tembang dolanan. Sekalipun mungkin mereka tidak begitu paham siratan maknanya.

Arti Asmaradana, Asmaragama, Asmaratantra Dalam Ilmu Jawa

Tidak ada komentar

Jumat, 21 April 2023

Kamasutra jawa

Mengenai urusan sex, masyarakat Jawa sejak dahulu kala sudah mengenal yang namanya lika-liku atau sing-sing pledingnya tentang sex . Hal ini di tengarai banyak tulisan dari pujangga ataupun dari kalangan tertentu yang tentu saja berkecimpung dalam dunia duel maut adu kelamin ini.
Tetapi hal ini nampaknya kurang dipahami masyarakat Jawa di pedesaan( kelas bawah), karena kurangnya wawasan atau pergaulan atau saking sibuknya mengurusi urusan mencari pangan. Kamasutra di Jawa hanya dinikmati atau dilakukan oleh kalangan tertentu saja, golongan priyayi dan masyarakat golongan ekonomi kelas menengah keatas.
Nah pemirsa, baiklah kita simak apa yang terjadi dan apa saja lika-liku perihal sex di masyarakat Jawa jaman dulu.

Asmara Dana: Rayuan Maut Pria yang Buat Wanita Menyerah

Asmara Dana dalam Kamasutra Jawa disebut juga sengseming pocapan. Syair, puisi dan kata-kata mutiara seringkali dilantunkan oleh sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta untuk merayu.

Kata-kata rayuan itu sungguh mempesona dan punya daya magis ajaib yang menimbulkan bukit cinta kasih semakin meninggi. Kelebihan laki-laki biasanya pada sisi rayuan ini. Pihak perempuan yang sudah memiliki benih cinta pada laki-laki tersebut, biasanya akan terbius dan menyerahkan jiwa raga sepenuh kasih. (Kamasutra Jawa)
  
Asmaragama, Puncak Nikmat Saat Saling Memasukkan Kelamin
 
Disebut juga sengseming salulut. Kamasutra ini menekankan arti puncak dari karonsih adalah salulut, yakni masuknya alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan.

Alat kelamin laki-laki sebelum masuk ke dalam liang vagina harus dipastikan empat hal, yakni besar, panjang, keras dan hangat. Sedangkan alat kelamin perempuan yang mampu memberikan kenikmatan bagi laki-laki adalah yang hangat, empuk dan menyerah (Kamasutra Jawa, Hariwijaya: 2004)

Asmara Tantra, Ciuman Dahsyat Pemantik Birahi


Disebut juga sengseming pangarasan.Kamasutra ini menekankan pentingnya berciuman yang penuh gairah. Ciuman merupakan mantik birahi yang paling dahsyat. Kedua insan yang sedang among tresna tidak akan melupakan ciuman, entah itu dahi, pipi, mata, bibir atau bagian tubuh yang lain.

Oleh karena itu, setiap pasangan suami istri hendaknya mempelajari teknik-teknik berciuman. Masing-masing jenis ciuman membawa kenikmatan dan psikologis yang berbeda.

Bau tubuh sang kekasih saat tercium waktu bercumbu lebih bermakna daripada parfum paling wangi sekalipun. Yang penting bukan bau badan, karena seseorang yang memiliki bau badan harus sadar diri menjaga tubuhnya dengan berbagai cara tertentu agar pasangan tidak muak.

Bau badan yang kurang sedap akan menghilangkan gairah berciuman dan gairah seksual yang membara. (Kamasutra Jawa, Hariwijaya: 2004)

Titik Erotis Wanita Jawa Berdasar Warna Kulit: Kemerah-merahan

Seorang lelaki yang kebetulan mempunyai pasangan berkulit kemerah-merahan dan berhasrat untuk membangkitkan gelora seksual pasangannya, perlu memperhatikan dua bagian tempat titik-titik erotis dan magis pasangannya tersebut. Kedua bagian teramat penting itu adalah pada kedua mata dan payudara.

Mengingat titik-titik erotis dan magis itu berada di dua tempat, perlulah sang lelaki bekerja ekstra, yakni mengecup pada kedua mata pasangannya dan meraba perlahan-lahan pada payudaranya.

Perlu diperhatikan, perabaan pada payudara itu harus dilakukan secara perlahan-lahan dan jangan meremasnya terlalu kuat atau menekannya dengan keras. Bisa-bisa sang wanita tidak memuncak berahinya, namun akan menjerit kesakitan!

Pasangan Anda kebetulan wanita berkulit kemerah-merahan? Lakukan 'serangan' ketika waktu fajar tiba, karena waktu itulah berahi pasangan Anda tengah berada pada puncaknya! (Kamasutra Jawa, Hariwijaya: 2004)

 Titik Erotis Wanita Jawa Berdasar Warna Kulit: Putih
 
Pada wanita berkulit putih, letak titik-titik erotis dan magisnya terdapat pada kedua pipinya. Dan untuk membangkitkan gairah seksualnya, maka pipi sebelah kiri, terutama yang dekat dengan telinga, terlebih dahulu di cium.

Gairah seksual sang wanita berkulit putih akan segera terbakar hebat jika letak titik erotisnya itu dicium pasangannya. Rasa geli akibat ciuman itulah pencetusnya!

Lebih hebatnya lagi, gairah seksual yang meletup dari sang wanita berkulit putih jika telah tercium titik erotisnya, tidak tergantung waktu.

Kapan saja. Bisa pagi, siang, sore atau malam hari dilakukan, meski puncak terhebat kekuatan ledakan birahinya itu ada pada waktu menjelang malam hari. (Kamasutra Jawa, Hariwijaya: 2004)

Titik Erotis Wanita Jawa Berdasar Warna Kulit: Kuning
 
Titik erotis dan magis wanita berkulit kuning terletak pada kedua alisnya . Dan untuk membangkitkan gairah seksualnya, pasangan hendaknya mencium kedua alis itu seraya memejamkan mata.

Gairah seksual sang wanita berkulit kuning akan segera terbakar hebat, setelah simpul-simpul saraf yang terdapat pada kedua alisnya menyampaikan 'serangan melenakan' itu ke seluruh jaringan saraf tubuhnya. Tubuh sang wanita berkulit kuning akan segera bergetar dengan hebat akibat hebatnya getaran seksual yang tengah dialaminya.

Lelaki yang menginginkan gairah seksual pasangannya yang berkulit kuning bergolak dengan dahsyat, sebaiknya mencium kedua alis pasangannya itu pada waktu tengah malam, karena pada saat itulah kekuatan berahi pasangannya berada dalam puncak terhebatnya. (Kamasutra Jawa, Hariwijaya: 2004)

Titik Erotis Wanita Jawa Berdasar Warna Kulit: Hitam

Titik-titik erotis dan magis pada wanita berkulit hitam, terdapat pada paha sebelah kiri. Untuk membangkitkan gairah seksual pasangannya yang berkulit hitam, sang lelaki harus meraba paha kiri pasangannya itu dari bawah menuju atas minimal tiga kali.

Gairah seksual wanita berkulit hitam akan semakin meletup-letup ketika titik-titik erotis dan magisnya itu diraba pada waktu malam. Ia akan segera menggelinjang dengan hebat menuju puncak berahinya 'menuntut' permainan lebih jauh pada pasangannya yang telah 'berani' menyalakan api berahinya itu! (Kamasutra Jawa, Hariwijaya: 2004)

Titik Erotis Wanita Jawa Berdasar Warna Kulit: Kuning Langsat
 
Jika titik-titik erotis dan magis wanita berkulit kuning terletak pada kedua alisnya, maka pada wanita berkulit kuning langsat titik-titik erotis dan magisnya itu terdapat pada kedua pahanya.

Adapun cara membangkitkan gejolak berahi wanita berkulit kuning langsat adalah dengan cara merabanya, dengan dimulai paha sebelah kanan untuk kemudian diteruskan dengan meraba paha sebelah kiri.

Untuk diketahui, bagian paha sebelah dalam yang terasa lembut untuk dipegang atau diraba merupakan pusat berahi wanita berkulit kuning langsat.

Dan puncak kekuatan terhebatnyaadalah pada waktu menjelang fajar, yakni sekitar pukul 03.00 dini hari. Lelaki yang berhasrat membangkitkan gelora berahi pasangannya yang berkulit kuning langsat perlu melakukan serangan fajar ini! (* Buku Kamasutra Jawa, Hariwijaya: 2004)


Falsafah Jawa & Relevansi Terhadap Dalam Kehidupan Modern Bag 1

Tidak ada komentar

Rabu, 05 April 2023

Falsafah Jawa dalam kehidupan modern ini mungkin hanya sedikit yang mengerti atau mengenal ajaran-ajaran yang di wejangkan nenek moyang jaman dahulu, pada hal hal sunguh sangat adiluhung ajaran yang ada dalam khasanah Jawa ini, misalkan :
1. “Holopis Kuntul Baris”
Artinya: Bergotong Royong / Bekerja Sama
Dalam hidup manusia yang saling berinterksi satu sama lain, yang mana setiap individu mempunyai keinginan masing-masing yang tentu tidak selalu selaras, maka Kerja Sama adalah cara efektif untuk kembali menyelaraskan keinginan secara kelompok besar dan tentunya dalam hal Benar, semua itu di lakukan dengan tulus tanpa pamrih. Jadi bisa di katakan Gotong royong adalah mempunyai suatu tujuan saling bahu membahu dilakukan dengan tulus tanpa kecurigaan.
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Holopis Kuntul Baris” bisa berarti kedua individu yang se”iya” se”kata”, yang mana ini dapat di bangun lewat adanya komunikasi yang efektif.
- Dalam hubungan orang tua dengan anak-anak (Guru dan Murid) masing-masing menyelaraskan dan berlaku yang sama sesuai dari hakekat tujuan Hidup.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), lebih mengangkat harkat dan martabat dari nilai kemanusiaan. Nilai kemanusiaan itu adalah cinta kasih, cinta kasih wujudnya adalah selalu saling memaafkan (mengampuni) atau tolerasi, dan selalu saling memberi/murah hati.
2. “Bramara Mangun Lingga”
Artinya Laki-laki yang bertingkah laku berlebihan.
Laki-laki dikatakan adalah sosok yang lebih kuat (lambang “Lingga”) secara fisik dibandingkan dengan wanita, namun secara tidak langsung kebanyakan laki-laki secara psikis sangat lemah dibandingkan dengan wanita… Hal ini di tunjukan dari kesan laki-laki menutupi diri mereka dengan secara tampak luar bersikap/acting/laku berlebihan, terutama kepada lawan jenis apalagi menaruh hati pada wanita tertentu di sukai.
Tingkah berlebih baik secara verbal maupun non verbal bisa menjadi sangat tampak oleh para penonton di sisi lain.
Dari rayuan sampai cara berpakaian yang berlebih hanya semata-mata untuk menahlukan si wanita.
Secara spiritual, kecenderungan laki-laki ini juga di bawah saat ingin menahlukan seorang wanita dengan berlebihan berpenampilan dengan berpura-pura: berwibawa, santun terkesan bijak, seperti berhati legowo, ingin di tua kan. Yang akkhirnya tujuan untuk menjebak dan mengambil keuntungan dari si wanita. Itulah kira-kira kesan dari falsafah ini.
Maka orang tua (leluhur) mengajarkan untuk bahwa seorang wanita mencintai pria atau sebaliknya haruslah karena masing-masing dalam kejujuran yang bertanggung jawab.
Kejujuran bertanggung Jawab adalah bagaimana masing-masing bisa saling membangun bukan mengantikan.
- Dalam kehidupan berumah tangga “Bramara Mangun Lingga”, terjadi biasanya pria nya telah melakukan penyimpangan-penyimpangan atau tidak jujur bertanggung jawab, tingkah laku berlebihan baik secara agresif maupun defensif mengambarkan bahwa pria tersebut sedang bermasalah atau melakukan kesalahan.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), ajaran untuk apa adanya, menjadi diri sendiri dan jujur bertanggung jawab (membangun orang lain), serta tidak minder yang akhirnya bertindak agresif, perlu di contohkan oleh orang tua atau Guru.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), janganlah selalu menjadikan atau berlomba untuk membuat rumput kita lebih hijau dari tetangga (orang lain), tapi tingkatkanlah kwalitas keluarga (bermasyarakat) dengan niat saling membangun. karena kalau motivasinya adalah untuk pengakuan diri (rumput lebih hijau) maka akan terjebak bahwa terjadi tebar persona, dan bisa berdampak tebar persona pada lawan jenis yang berujung pada penyelewengan/penipuan.
3. “Kenes Ora Ethes”
Artinya: Sombong (harta) tapi Botol (Bodoh dan Tolol)
Antara kesombongan dan kebanggaan kadang menjadi sangat tipis perbedaannya, disaat seseorang menilai perkataan maupun perbuatan orang lain sebagai kesombongan jika hal yang dianggap berlebih dan melecehkan.
Saat ini banyak masyarakat yang mendadak kaya, karena atas dasar kekayaan ini, kadang akhirnya diikuti dengan sikap sombong yang cenderung melecehkan orang lain. Namun sangat disayangkan adalah kesombongannya adalah hal yang melekat diluar diri, tidak diikuti dengan pengetahuan atau info yang memadai atau cenderung sangat jauh ketinggalan dan bisa dikatakan Botol.
- Dalam kehidupan berumah tangga “Kenes ora kethes” adalah menyombongkan materi yang dimiliki tapi Botol dalam berumah tangga, seperti contoh
Istri menyombongkan perhiasan didepan temannya, namun soal merawat suami dan anak sangat Botol.
Suami menyombongkan karier/kekayaannya namun soal melindungi istri dan anak sangat botol.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid). Orang tua/guru sering menyombongkan kehebatannya/skill, namun secara transformasi, menyalurkan, mengestafetkan keilmuan tidak dapat dilakukan karena kebodohan dalam menjaga hubungan orang tua dan anak atau guru dan murid.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), tidak peduli dan cenderung masa bodoh karena ashik pada materi yang dimiliki.
4. “Mburu Uceng Kelangan Dheleg”
Artinya: Memburu hal kecil, kehilangan yang besar.
Perkembangan materialis dalam kehidupan semakin tinggi berbanding lurus dengan banyaknya diciptakan “tools” alat bantu kehidupan manusia yang serba otomatis, semua serba mudah dan gampang, bahkan bisa dikatakan tanpa “tools” penunjang ini manusia tidak bisa hidup.
Hal inilah yang kemudian memberikan input secara terus menerus pada generasi ke generasi untuk akhirnya sangat terantung materialis..
Pada akhirnya ini kemudian yang materialis lebih dikejar dalam hidup daripada yang mistis (kasunyatan).
Ukuran kwalitas hidup akhirnya pula disematkan berkwalitas atau tidak, dilihat bagaimana pencapaian materialis…
Banyak yang berpendapat, biar dapat materi dulu barulah dia mulai masuk pada kasunyatan. Dalam konteks ini sebenarnya adalah mereka telah mempertaruhkan hal besar (nyata) demi suatu hal kecil (maya/materi). Padahal materi dapat diciptakan kalau kita mencapai hal yang nyata ~ “cipto dadi nyato”
Saya tidak mengunakan istilah “korban” atau “berkorban” ataupun “pengorbanan” sesuatu yang besar demi hal kecil.
Karena “pengorbanan” dalam arti sebenarnya adalah kehilangan sesuatu yang baik demi sesuatu yang lebih baik, pada bahasa falsafahnya adalah mengambil kebijaksanaan.
Nah.. Falsafah diatas menujukan “ke-Botol-an” bukan kebijakan.
- Dalam kehidupan berumah tangga “Mburu Uceng Kelangan Dheleg” adalah bahwa lebih penting adalah kesatuan dan kemanunggalan diatas segala-galanya dari apa yang dikejar. Ada satu istilah bahwa kalau usaha atau karier mau bagus maka biasanya keluarga berhasil secara kwalitas.
Kerakusan demi egoisme kenyamanan sering mengorbankan kehidupan keluarga.
Saling membangun keluarga, maka hal yang lain (materi) akan mengikuti.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua sering memaksakan anaknya untuk berprestasi berakedemik dari pada mengajarkan cara logika berpikir, atau lebih senang anaknya sanggup menghapal, daripada anak mengerti. Demikian guru menitik beratkan fanatisme ajaran daripada esensi ajaran.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), nilai kemanusiaan harus diletakan diatas segalanya. Kehilangan nilai kemanusiaan demi pengejaran nilai lain adalah penurunan derajat kemanusiaan itu sendiri..
5. “Mburu Kidang Lumayu”
Artinya: mengejar hal yang sia-sia.
Terkadang dalam kehidupan kita, terutama saat kita banyak yang mempertahankan hidup materi dengan berjuang habis-habisan, sering kita terbentur, apakah sudah cukup atau berlebihankah kita mengejar hal-hal materi? Apakah ini bukannya sia-sia kalau memang materi adalah maya? Namun bagaimana tanggung jawab sebagai manusia yang harus menghidupi orang lain/keluarga minimal kepada orang tua, saat mereka membutuhkan bantuan kita dalam kehidupan materi ini.
Ukurannya menjadi sangat sulit sebagai penimbang akan cukup tidaknya dalam mengejar urusan materi. Masing-masing punya ukurannya sendiri..
Tips yang pernah diberikan adalah saat anda mengejar sesuatu materi, maka bersamaan itu buatlah kebajikan, maka itu tanda bahwa anda mengejar sesuatu dengan tidak sia-sia.. Jangan pula terbalik, melakukan kebajikan demi sesuatu.
- Dalam kehidupan berumah tangga “Mburu Kidang Lumayu”, bisa berarti jangan menyombongkan hal yang belum ada yang sedang kita kejar.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), mengajarkan hal yang penting, akan menhindari pengejaran hal yang sia-sia dikemudian hari, hal yang penting adalah meletakan kebajikan diatas pengejaran materi.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), jangalah berdusta dengan membohongin hal yang sebenarnya kita tidak punyai dan dengan memaksakan diri.
6. “Tinggal Nglanggancolong Playu”
Artinya: Menghindari Tanggung jawab.
Kepasrahan atau sumeleh dikatakan sebagai ilmu tertinggi, dan hampir dari semua memakai ilmu ini untuk secara halus menghindari tanggung jawab.
Adalah kepasrahan yang semu jika sesuatu telah terjadi dan kita katakan pasrah saja, yang tentu kita lalu beranggapan: mau apalagi, memang sudah demikian adanya, pernyataan demikian justru menjerumuskan kita menjadi manusia yang tidak bertanggung jawab.
Tanggung jawab adalah langkah awal dari suatu kepasrahan yang total / Sumeleh. Maksudnya adalah bahwa tanggung jawab atau kepasrahan ditaruh diawal suatu kejadian, bukan diakhir atau hasil dari suatu kejadian. Maka kepasrahan adalah suatu laku yang aktif dalam menanggung semua laku kita (jawaban), sehingga inilah yang dinamakan tanggung jawab.
Namun yang sering kita jumpai justru pasrah ditaruh setelah ada kejadian yang sifatnya menderita, kita berseru:” ya.. Pasrah saja deh..” Yang mana ini adalah laku pasif yang menhindari tanggung jawab.
- Dalam kehidupan berumah tangga “Tinggal Nglanggancolong Playu”, adalah sikap yang saling menhancurkan, bisa terjadi karena salah satu atau berdua tidak punya kemauan yang baik untuk tetap manunggal.
Wanita sering memposisikan diri atau diposisikan dalam kepasrahan semu (menghindari tanggung jawab) lantaran adanya budaya Patriakat (laki lebih unggul), akhirnya punya sikap mental bahwa hidup hanya jalani saja, pasrah saja, emang sudah demikian. Dan celakanya banyak para laki yang memanfaatkan cela ini, dan akhirnya berujung egoisme masing-masing.
Sikap baik pria dalam budaya patriakat harusnya mensetarakan wanita, dan parsa wanita harus mensejajarkan dalam kedudukan peran masing-masing, sehingga saat melangkah akan betul pasrah dan bertanggung jawab.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), contoh atau teladan yang benar dari orang tua atau guru adalah hal yang utama dalam mengajarkan bertanggung jawab atau pasrah yang benar. Dimulai dari melakukan apa yang diajarkan dan dimegerti oleh sang guru.
Namun murid juga di harapkan agar belajar untuk melakukan yang diajarkan, tidak hanya dari contoh laku yang diberikan.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), yang merasa mengerti lebih aktif berlaku tanpa perlu mendakwa, menuntut, menghakimi, dan akhirnya menghukum.
Yang merasa tidak mengerti, agar belajar dan lakukan yang dimengerti saja. Bertanggung Jawab dimasyarakat adalah memiliki sikap mental untuk saling membangun dalam segala perbuatan yang akan dimulai.
7. “Tuna Sathak Bathi Sanak”
Artinya: Kehilangan harta, tambah saudara.
Dewasa ini, hubungan dan status sosial dalam berinteraksi dengan orang lain diukur dari harta, harta yang dimaksud antara lain gaya hidup, jumlah kekayaan, jabatan atau posisi, backing.
Interaksi manusia sudah bergeser dari tujuan yang tadinya saling asah asih asuh, telah menjadi mencari komunitas yang sama, yang sewarna, atau membentuk kelompok elit.
Hubungan persaudaraan sebenarnya begitu penting bahkan diatas hal materi, atau bisa dikatakan hubungan persaudaraan adalah hubungan kemanusiaan, dimana masing-masing memanusiakan yang lain atau saling menghidupi.
Menjunjung tinggi kerelaan dengan bermurah hati demi kemanusiaan adalah sikap memiliki welas asih.
Pertanyaannya adalah seberapa besar saya harus bermurah hati? Jawabnya adalah berikanlah sampai anda sudah mulai merasa keberatan (terbebani), dan tambahkanlah semangat lebih, melebih diatas keberatan.
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Tuna Sathak Bathi Sanak”, tidak dalam kategori pendapat yang kita cukup kita kenal adalah uang tidak mengenal saudara, uang bisa membeli teman (saudara). Namun adalah ada saatnya kita harus melepaskan keterikatan dengan harta demi menjujung kemanunggalan dalam keluarga, janganlah jadikan harta menjadi ukuran atau timbangan.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), mengajarkan untuk senantiasa bermurah hati, mementingkan kesatuan dalam persaudaraan, walau harus kehilangan harta benda.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), menjunjung tinggi saling asah asuh asih melebihi berkompok sesuai latar belakang jauh lebih penting untuk membangun suatu persaudaraan yang universal.
8. “Sanding Kebo Gupak”
Artinya: Terpengaruh jelek karena lingkungan yang jelek.
Manusia sejarahnya dipengaruhi 4 hal yang membantuk karakter diri mereka, ke-4 hal tersebut adalah dari sejak kecil dipengaruh oleh orang tua, beranjak remaja sampai dewasa mulai dipengaruhi oleh lingkungan, berikutnya lalu akan sama-sama dipengaruhi oleh keyakinannya (agama/kelompok/organisasi/pandangan/ideologi), dan yang terakhir di pengaruhi oleh dirinya sendiri yang apa adanya.
Kalau kita masih merasa bisa di pengaruhi, janganlah coba-coba untuk masuk suatu lingkungan yang mau kita rubah, karena kita akan terpengaruh dan berubah, apalagi lingkungan tersebut adalah lingkungan yang penuh kejelekan.
Induksi yang di terima manusia sepanjang hidupnya, mempengaruhi manusia dalam memiliki keinginan (impian) sampai kepada suatu tindakan. Lain halnya pada suatu saat manusia terbebas dari pengaruh atau induksi, dia sendiri yang mengambil keputusan secara sadar, yang benar maupun yang jahat.
Ada istilah di dunia marketing, orang sukses bergaul dengan orang sukses, orang gagal bergaul dengan pencundan… Ini juga sebagai gambaran bahwa karakter manusia sangat tergantung lingkungan yang mempengaruhi, atau lingkungan mempengaruhi manusia..
Nah.. lalu kalau lingkungan sudah seperti kumbangan, apakah lantas kita kebagian jeleknya saja?
Baik secara langsung dan tidak maka mau tidak mau memang demikian itu terjadi, namun permasalahannya pengaruh kuat yang ke-4 yaitu dari dirinya sendiri yang apa adanya, suatu saat akan muncul, disaat itulah seseorang manusia memilih untuk tetap dalam pengaruh lingkungan atau menjadi berbeda (ngeli) positif dengan menyempurnakan pengertian dia (cara berpikir/kesadarannya) untuk menjadi unik tanpa pengaruh.
Menjadi manusia yang beperanan utama itulah hakekat dari hidup secara duniawi. Yang menentukan harga diri manusia adalah diri nya sendiri.
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Sanding Kebo Gupak” masing-masing bertanggung jawab untuk bisa mempengaruhi secara positif terus menerus, jangan sampai memberi pengaruh yang jelek terutama atas dasar ketidak percayaan, ketidak terbukaan, sehingga komunikasi menjadi mandek.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua atau guru diharapkan menjadi katalisator positif agar anak atau murid bisa menjadi manusia menemukan diri mereka apa adanya agar bertumbuh menjadi pribadi yang unik. Jika orang tua atau guru bersifat seperti memerangkan diri sebagai Durno yang mempersonifikasikan hal jelek, maka anak atau murid haruslah menjadi bimo yaitu “sapa temen tinemu”
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), menjaga kondisi yang tetap kondusif dilingkungan masing-masing dan juga lingkungan dalam suasana positif terhindar dari gosif, bisa akan membangun karakter yang positif secara kolektif.
9. “Jalma Angkara Mati Murka”
Artinya: “Kemalangan karena tindak anarkis sendiri”
Secuil bentuk emosional adalah senjata penghancur ampuh dan efektif yang sangat tradisional sejak manusia ada. Penghancuran ini lebih ditujukan kepada diri sendiri, memang kadang kita melihat bahwa tindakan yang agresif dengan kemarahan, kebengisan, buas, yang menjadi korban adalah orang lain, namun sebenarnya seperti bumerang yang akan berbalik dengan kekuatan yang sama atau lebih karena efek dorongan hal lain.
Untuk itulah dibutuhkan suatu bentuk “Kesadaran” dan “Pengamatan” sehingga emosional tidak menjadi energi agresif yang mendorong terjadinya kemalangan pada diri sendiri yang terus menerus baik saat ini, sampai kedepan maupun kehidupan ini sampai kehidupan berikutnya.
Angkara Murka akan merusak Kesadaran Roh (Sukma) Sejatinya manusia, disebut merusak artinya mundurnya kesadaran akan kemanunggalan/Unity, lalu mundurnya welas asih/Budhi, lalu mundurnya kemampuan/potensi, dan akhirnya menjadi perusak.
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Jalma Angkara Mati Murka”, menghindarilah cara berpikir yang mencela, menghindarilah dengan berkata-kata mengitimidasi pasangan, menghindarilah berlaku kasar. Lebih menjaga “Tata Basa lan Tata Laku”
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), orang tua / guru yang welas asih bukan dilihat dari usia nya, tapi bagaimana mereka bisa menjaga dan menyelaraskan kawruh (pengertian) mereka dengan laku mereka. Anak / Murid dalam menghargai orang tua/guru bukan dengan memuji-muji sambil berlaku anarkis, tapi yang menerapkan ajaran welas asih/budhi-lah.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), saling selalu memaafkan/mengampuni kesalahan dari orang lain, dan berlomba-lomba menjadi yang utama menjunjung kesatuan ukuran dalam menciptakan kemanunggalan akan menghindari dari tindakan anarkis. Tidak hanya menghargai perbedaan tapi kita harus melangkah menjadi Bhinneka Tunggal Ika – We are One – No you no me but Us – Aku adalah engkau dan engkau adalah aku.
10. “Ciri Wanci Lali Ginawa Mati”
Artinya: Hal buruk yang hanya bisa dirubah setelah mati.
Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Pribahasa ini akrab dengan kita sebagai nasehat untuk manusia agar berbuat baik agar namanya bisa dikenan dan menjaga nama baik keluarga.
Ada juga yang mengatakan, ukuran hebat tidaknya seseorang (bisa positif – bisa negatif), bukan dilihat dari berapa banyak orang yang datang menghadiri undangan saat perkawinannya atau mengawinkan anaknya, tapi hebat tidaknya adalah dilihat dari banyak tidaknya yang datang melayat saat dia mati.
Terlepas dari kenangan orang lain dan banyak penghargaan yang diberikan kepada yang sudah meninggal, yang lebih penting adalah apakah kita pribadi telah meninggalkan hal benar/budhi bagi kehidupan orang lain? Dan hal benar tadi sebagai kesadaran dalam perjalan Roh pribadi sendiri.
Jika hal buruk yang kita lakukan, tidak hanya membuat kita terhambat, tapi lebih pula mempengaruhi orang lain. Sehingga jika sepanjang masih hidup maka kita masih berlaku buruk, hal ini akan membuat menjadi permanen sehingga sampai tidak dapat diubah, maka untuk orang lain, pengaruh buruk bisa jadi baru hilang kalau kita sudah mati, dan hal buruk akan diperbaiki jika kita alami kematian fisik untuk kembali belajar lagi.
- Dalam kehidupan berumah tangga, “Ciri Wanci Lali Ginawa Mati”, mumpung kita masih hidup dan bersama dengan pasangan, hendaklah bisa merubah segala hal buruk yang dapat menyakiti pasangan, baik secara pikiran, perkataan, maupun tingkah laku.
- Dalam hubungan orang tua dan anak (Guru dan Murid), pengaruh hal buruk dari orang tua / guru sangat dapat membuat anak/murid bertingkah buruk, dan kadang harus menunggu orang tua / guru mati dulu, baru sang anak/murid bisa terbebas dari doktrin buruk.
- Dalam hubungan keluarga dengan keluarga lain (bermasyarakat), tinggalkanlah hal baik, maka akan membangun masyarakat yang baik di generasi yang akan datang.
Semoga Bermanfaat…

Filsafat Jawa : Air dan Batu Lebih Kuat Mana ?

Tidak ada komentar

Selasa, 19 Agustus 2014



Banyak yang menganggap filosofi yang diberikan oleh para leluhur terutama di Jawa , saat ini dinilai sebagai hal yang kuno dan ketinggalan jaman. Padahal, filosofi leluhur tersebut berlaku terus sepanjang hidup. Dibawah ini ada beberapa contoh filosofi dari para leluhur/nenek moyang masyarakat Jawa.
“Dadio banyu, ojo dadi watu” (Jadilah air, jangan jadi batu).
Kata-kata singkat yang penuh makna. Kelihatannya jika ditelaah memang ‘manungso kang nduweni manunggaling roso’ ( manusia yang mempunyai menyatunya rasa ) itu harus tahu bagaimana caranya untuk dadi banyu ( jadi air ).
Mengapa kita manusia ini harus bisa menjadi banyu (air)? Karena air itu bersifat menyejukkan. Ia menjadi kebutuhan orang banyak. Makhluk hidup yang diciptakan ALLAH SWT pasti membutuhkan air. Nah, air ini memiliki zat yang tidak keras. Artinya, dengan bentuknya yang cair, maka ia terasa lembut jika sampai di kulit kita. Berbeda dengan watu (batu). Batu memiliki zat yang keras. Batu pun juga dibutuhkan manusia untuk membangun rumah maupun yang lainnya. Pertanyaannya, lebih utama manakah menjadi air atau menjadi batu? Kuat manakah air atau batu?
Orang yang berpikir awam akan menyatakan bahwa batu lebih kuat. Tetapi bagi orang yang memahami keberadaan kedua zat tersebut, maka ia akan menyatakan lebih kuat air. Mengapa lebih kuat air daripada batu? Jawabannya sederhana saja, Anda tidak bisa menusuk air dengan belati. Tetapi anda bisa memecah batu dengan palu.
Kalau Anda berniat untuk mencari ilmu nyata ataupun ilmu sejati, maka carilah dengan sungguh-sungguh, maka Anda akan menemukannya. Namun jika Anda berusaha hanya setengah-setengah, maka jangan kecewa jika nanti Anda tidak akan mendapatkan yang anda cari. Filosofi di atas tentu saja masih berlaku hingga saat ini.
“Sopo sing kelangan bakal diparingi, sopo sing nyolong bakal kelangan”
(Siapa yang kehilangan bakal diberi, siapa yang mencuri bakal kehilangan).

Filosofi itupun juga memiliki kesan yang sangat dalam pada kehidupan. Artinya, nenek moyang kita dulu sudah menekankan agar kita tidak nyolong (mencuri) karena siapapun yang mencuri ia bakal kehilangan sesuatu (bukannya malah untung). Contohnya, ada orang yang kemalingan. Ia akan kehilangan uang atau apapun yang dimilikinya tetapi ALLAH Swt akan menggantinya dengan memberikan gantinya pada orang yang kehilangan tersebut. Tetapi bagi orang yang mengambil, sebenarnya ia untung karena mendapatkan uang atau apapun itu. Namun,ia bakal dibuat kehilangan oleh Sang Maha Pengadil, entah dalam bentuk apapun. dan tentu saja pasti ada siksaan yang lebih berat.
Hal ini seperti yang sedang terjadi di negeri kita, banyaknya koruptor atau maling, karena kurangnya pemahaman atau justru banyak yang meninggalkan wejangan para leluhur kita. dan bisa jadi tidak adanya pendidikan moral atau budi pekerti di sekolah2 di negara kita.
Dari filosofi – filosofi tersebut diatas, Nenek moyang kita sudah memberikan nasehat pada kita generasi penerus tentang keadilan ALLAH SWT itu.




Don't Miss
© all rights reserved 2023
Created by Mas Binde