Wacana pemikiran ini dari ranah ‘panggraita pribadi’ dan ‘spiritual forecasting’ (penerawangan batin, istilah alm. Prof. Budyapradipta – UI). Karena itu lontaran wacana pemikiran saya perlu pengkajian dan penelisikan secara logic rasional lebih lanjut.
Wacana ‘panggraita’ saya ini berpijak kepada ‘jejak peradaban Jawa’ yang masih
ada dan berlaku sampai saat ini, namum tidak/belum ada penelitian ilmiah
akademik. Kalau toh ada, selalu dalam nuansa ‘kooptasi budaya/peradaban’ asing
dan bermuara pada kesimpulan budaya/peradaban Jawa sebagai ‘turunan’ (derivate)
budaya dan peradaban Hindu dan Islam. Dengan kata lain, Jawa tidak pernah
berbudaya sebelum ‘tersebari’ budaya/peradaban India (melalui sebaran agama
Hindu/Buda) dan budaya/peradaban Arab/Ngatas Angin (melalui sebaran agama
Islam).
Anggapan kebanyakan peneliti Jawa dan ke-Jawa-an yang demikian terasa
‘menyakitkan’ mengingat adanya unsur-unsur budaya/peradaban Jawa yang
bertingkat tinggi yang diabaikan dan tidak pernah ‘digarap’. Dengan kemampuan
seadanya saya menekuni wilayah kebatinan untuk menggali jatidiri saya yang
Jawa. Ketemunya adalah sistim atau falsafah Panunggalan sebagai dasar budaya
dan peradaban Jawa. Unsur-unsur budaya/peradaban asli Jawa dimaksud adalah:
- Sistem Religi yang khas Jawa: ‘Sesembahan (Tuhan) tan kena kinayangapa
nanging nglingkupi lan murbawasesa jagad saisine’ yang diikuti konsep
Panunggalan: ‘Manunggaling Kawula Gusti’.
- Konsep ‘Sedulur Papat Kalima Pancer’ sebagai konsep panunggalan struktur roh
yang tidak ada dalam ajaran agama apapun.
- Sistem penanggalan Jawa ‘Panunggalan’ yang mengandung ‘petung’ (analisis)
keadaan ‘alam semesta’ sebagai dasar penentuan ‘ala ayuning dina’.
- Sistim pranata sosial dan sistim pemerintahan ‘Panunggalan’ yang berbasis
budaya/peradaban ‘Agraris Pertanian Sawah/Padi’. Diantaranya berupa sistim
‘kabuyutan’ yang merdeka berdaulat namun saling mengikatkan diri dalam
‘panunggalan’ guna menggapai kesejahteraan bersama dan perdamaian antar
komunitas. Jejak yang masih ada sampai saat ini berupa penggiliran keramaian
pasar berdasar hari pasaran (Kliwon, Legi, Paing, Pon, Wage).
Ketika mencoba menelusuri seluk beluk hal-hal tersebut di atas, saya ketemukan
suatu kenyataan bahwa semuanya didasarkan kepada suatu sistim atau falsafah
‘Panunggalan’ sebagai ‘turunan’ sistim yang membangun ‘alam semesta’. Antar
semua unsur di alam semesta saling berhubungan secara ‘kosmis magis’
sebagaimana ‘hubungan antar jaringan sel dalam membangun tubuh manusia hidup’.
Hubungan ‘kosmis magis’ tersebut dipurbawasesa Kang Murbeng Dumadi sebagaimana
hubungan antar sel dalam jaringan tubuh manusia dipurbawasesa oleh ‘Ruh’ atau
‘Sang Urip’.
Sistem Religi Panunggalan
Berbagai pernyataan para ahli, Kejawen merupakan sinkretisme: Hindu-Islam-Kepercayaan Jawa. Demikian pula agama Syiwa-Buda di jaman Majapahit dikatakan sebagai sinkretisme agama Hindu Syiwa dan Budha. Wacana seperti itu yang (barangkali) membuat para ahli sejarah menyatakan bahwa Jawa dikatakan ‘bersejarah’ dimulai sejak masuknya budaya dan peradaban India. Masa sebelumnya dinyatakan sebagai ‘jaman prasejarah’ dengan kepercayaan animisme.
Tanda kepercayaan animisme disebutkan berupa tempat bersembah kepada arwah
leluhur pada ‘bangunan berundak’. Wacana yang demikian menjadikan lahirnya
pendapat umum bahwa Jawa belum ber-Tuhan ketika belum masuknya agama-agama dari
Asia Daratan. Wacana yang demikian yang mengganggu pikiran saya sebagai orang
yang terkodratkan sebagai ‘wong Jawa’. Karena itu, saya memasuki wilayah
‘penekunan kebatinan’ Jawa untuk mencari jawab terhadap pendapat ‘Jawa belum
ber-Tuhan sebelum menerima sebaran agama-agama dari Asia Daratan.’
Pada petualangan dan penjelajahan di ranah penekunan kebatinan ini, saya
bertemu dengan konsep falsafah ‘Panunggalan’. Kalimat pentingnya berupa
“Manunggaling Kawula Gusti”. Sungguh mengejutkan bahwa pada konsep ini
mengajarkan adanya ‘kesatuan’ antara ‘Dzat Tuhan’ dengan alam semesta berikut
isinya, termasuk manusia. Makna pengertian mudahnya, ada ‘Dzat Tuhan’ (sebagai
Gusti) pada diri manusia (sebagai Kawula). Dengan dasar pengertian awal yang
demikian, maka saya pahami bahwa maksud ‘Manunggaling Kawula Gusti’ adalah
upaya manusia mengoperasionalkan ‘kesadaran’ sebagai ‘kawula’ dalam
berkontribusi ikut ‘menyangga’ panunggalan semesta. Dalam ranah ajaran Kejawen
disebut ‘melu memayu hayuning bawana’.
Sedemikian rupa pengenalan saya terhadap sistim panunggalan hingga memahami
struktur hubungan yang disebut dalam unen-unen ‘Manunggaling Kawula Gusti’
tersebut. Struktur hubungannya sebagaimana hubungan yang saya kenali sebagai
hubungan ‘inti-plasma’ yang dalam istilah Jawa dinyatakan sebagai hubungan
‘pancer-mancapat’. Bangun hubungan dimaksud mulai unsur terkecil (misalnya:
atom) sampai yang besar tak terhingga (misalnya: alam semesta). Semua terbangun
dalam hubungan yang harmonis ‘inti-plasma’ atau ‘pancer-mancapat’.
Sistem religi yang demikian kiranya tidak kita ketemukan dalam ajaran agama
apapun. Dan juga tidak bisa kita ketemukan ‘pakem’ panembah (ritual sembah)
kepada Tuhan oleh manusia, karena adanya pengertian dan kesadaran bahwa manusia
adalah ‘derivasi’ Tuhan. Yang dalam istilah Jawa dinyatakan: “Kawula iku
rahsaning Gusti, Gusti rahsaning Kawula”. Oleh karena itu, ritual Jawa yang
selama ini dianggap ritual sembah, ternyata merupakan ‘ritual panunggalan’ yang
ditujukan kepada sesama ‘Kawula’ atau ‘titah dumadi’ ciptaan Tuhan. Ritual
panunggalan dimaksud sebagai upaya mewujudkan keharmonisan (keselarasan) dalam
hidup bersama. Baik sesama umat manusia maupun sesama ‘titah dumadi’ yang
diciptakan dan ‘dikodratkan’ untuk tinggal bersama-sama di alam semesta.
Dengan demikian, sangat gampang dimengerti adanya anggapan Jawa terhadap semua
‘titah dumadi’ sebagai saudara sebagaimana disebut dalam ‘Wejangan Paseksen”: Yaiku wejangan jumenenge urip kita pribadi angakoni dadi “warganing Pangeran
Kang Sejati” kinen aneksekake marang sanak sedulur kita, yaiku: bumi, langit,
srengenge, rembulan, lintang, geni, angin, banyu, lan sakabehing dumadi kang
gumelar ing jagad.
Pada masyarakat Jawa yang basis budaya dan peradabannya pada ‘pertanian sawah’,
maka simbul ‘pusat kehidupan bersama’ adalah ‘patirtan’ (sumber mata air). Maka
‘ritual kehidupan bersama’ selalu berpusat kepada ‘patirtan’. Pada
patirtan-patirtan diselenggarakan ritual yang diantaranya memberikan sesaji.
Juga diberi penanda ‘kesakralan’ berupa patung ‘lingga-yoni’. Dan, memang
merupakan kekhasan Jawa yang selalu memberi patung lingga-yoni pada tempat-tempat
yang diposisikan ‘sakral’ atau kuat ‘pancaran enerji kosmis bumi’-nya.
Oleh suatu proses sejarah terjadi ‘penyebaran’ agama Hindu dan Buda dari India.
Kedua agama tersebut kemudian dipeluk para elit yang ada di Jawa. Maka ada
‘proses’ kooptasi terhadap ‘Sistim Religi Jawa’ yang asli oleh agama Hindu dan
Buda. Tempat-tempat sakral yang semula bertanda ‘patung lingga-yoni’ atau
bangunan berundak di-Hindu-kan dan di-Buda-kan. Diantaranya dengan cara
memisahkan patung lingga dari yoni, atau dijadikan bagian dari kompleks
percandian.
Sebuah sistem religi asli tidak mudah hilang atau lenyap. Maka meskipun orang
Jawa sudah banyak menjadi pemeluk agama-agama dari luar, realitas yang ada
berupa ‘ritual’ atas dasar ‘panunggalan’ masih berjalan hingga saat ini
meskipun sudah ada perubahan-perubahan. Diantaranya berupa ritual bersih desa,
slametan kelahiran bayi, slametan pengantenan, dan slametan orang meninggal.
Berbagai ‘ritual slametan’ tidak dikenal pada ajaran agama apapun.
Maka meskipun banyak anggapan/penilaian bahwa ‘slametan’ merupakan perbuatan
syirik atau bid’ah, orang Jawa masih ‘ngeyel’ menyelenggarakan. Nampaknya tidak
takut ancaman ‘neraka’ dan lebih takut mendapat ‘aral hidup’ ketika tidak mau
menjalankan ‘ritual slametan’. Demikian pula ritual ‘bersih desa’ yang
bermetamorfosa menjadi tradisi ‘Sadranan’ dan ‘Apitan’, sampai saat ini
diselenggarakan banyak desa. Bersih desa berubah menjadi ‘bersih kubur’,
upacara slametan ‘digiring’ dari patirtan ke kuburan kemudian ke halaman masjid
dan ujung-ujungnya ‘diarahkan’ untuk ditinggalkan karena dianggap
‘bertentangan’ dengan ajaran agama. Sebagian desa sudah meninggalkan ritual itu
namun sebagian masih menyelenggarakan karena takut mendapat ‘walat’ dari yang
‘mbau reksa’ desa.
Sistem Religi Panunggalan menyatakan bahwa ‘penciptaan’ alam semesta dari
‘antiga’ (bebakalan) yang kemudian dijadikan tiga unsur oleh ‘Kang Murbeng
Dumadi’, berupa: bumi lan langit (materi), cahya lan teja (cahaya terindera dan
yang tidak terindera). Dan Manikmaya (Ruh alam semesta, Sejatining Urip).
Ketiganya merupakan ‘pangejawantahan’ (emanasi, derivasi) dari Kang Murbeng
Dumadi. Manikmaya dijelaskan terdiri dari Hyang Manik dan Hyang Maya. Hyang
Manik simbul ‘pengendali’ alam semesta, sedang Hyang Maya sebagai ‘pamomong’
jagad. Kedua Hyang tersebut yang kemudian mengendalikan dinamika alam semesta.
Yang dalam pewayangan disimbulkan sebagaimana peran Bethara Guru dan Semar.
Sistim Religi Panunggalan sebagaimana saya uraikan, kiranya tidak sama dengan
Hinduisme atau Budaisme, tetapi juga bukan animisme. Bahkan sangat jelas
ekspresi ber-Tuhan (kesadaran religius) meski dianggap bukan agama. Dengan
demikian, diperlukan kajian mendalam tentang ‘sistim religi Jawa’ sebelum
divonis sebagai animisme.
Demikian pula perlu dikaji kembali tentang wacana memasukkan ‘sistim religi
asli’ Jawa sebagai agama ‘Syiwa-Buda’ yang merupakan sinkretisme agama Hindu
Syiwa dengan Buda. Panggraita saya, bahwa ‘sistim religi asli Jawa’ sedemikian
rupa bisa ‘ngemot’ berbagai sistim religi sehingga dianggap sebagai ‘perpaduan’
agama Hindu Syiwa dengan agama Buda. Anggapan seperti itu, sangat jelas
menggambarkan kalau orang Jawa (Nusantara) tak mengenal sistim religi sebelum
mendapat sebaran agama Hindu dan Budha.
Sementara bukti nyata di tengah masyarakat, setelah agama Hindu dan Buda surut
dari bumi Jawa (Nusantara) tidak meninggalkan komunitas Hindu maupun Buda yang
signifikan. Bahkan agama asli Bali yang semula bernama agama Tirta juga
dinyatakan sebagai agama Hindu.
Kiranya banyak hal yang ‘bias’ terjadi dalam menilai sistim religi Jawa oleh
para peneliti budaya, peradaban, maupun keagamaan. Bias-bias tersebut lebih
banyak dikarenakan tidak tahu atau kesengajaan demi berbagai kepentingan,
utamanya untuk ‘penjajahan’.
Sedulur Papat Kalima PancerAwal mula saya ‘tertarik’ dengan ‘falsafah
panunggalan’ karena sering mendapatkan piwulang dan pitutur untuk selalu memule
(memuliakan) ‘sedulur papat kalima pancer’. Suatu istilah yang begitu rumit
untuk saya pahami karena yang dimaksud ‘sedulur papat kalima pancer’ adalah
‘struktur ruh’ manusia. Pancer adalah ruh manusianya, sedulur papat adalah ruh
dari ‘ketuban, placenta, darah, dan puser’. Dinyatakan pula bahwa ruh
‘ketuban-placenta-darah-puser’ merupakan ‘penghubung spiritual’ ruh manusia
dengan ruh alam semesta yang diperlambangkan dengan unen-unen ‘jumbuhing jagad
cilik lan jagad gedhe’.
Penajaman piwulang tersebut menyatakan bahwa jumbuhing (hubungan spiritual)
dimaksud atas kendali ‘Kang Murbeng Dumadi’ yang kemudian diperlambangkan
sebagai ‘Manunggaling Kawula Gusti’. Maknanya, bahwa ‘panunggalan semesta’
(panunggalan jagad saisine termasuk manusia) dilingkupi dan di-‘purbawasesa’
oleh Kang Murbeng Dumadi (Tuhan).
Dalam banyak hal, sedulur papat kalima pancer ini maunya ‘diadobsi’ oleh
beberapa ajaran agama. Tetapi tidak pernah ‘nyambung’ karena menjadi aneh.
Dalam agama Hindu, sedulur papat maunya disamakan dengan 4 dewa penunggu
‘janin’ dalam kandungan. Dalam Islam sedulur papat ‘disamakan’ dengan 4 nafsu:
Amarah, Luamah, Sufiah, Mutmainah.
Bahkan di awal penyebaran Islam di Jawa
ada upaya menyamakan 4 dewa dalam agama Hindu dengan 4 malaikat dalam khasanah
Islam: Jibril, Mikhail, Israfil, dan Ijrail. Uniknya keempat nama malaikat
tersebut ditulis dalam aksara Jawa nglegena sebagai: Jâbârâlâ, Mâkâhâlâ,
Hâsârâpâlâ, dan Hâjârâlâ. Nama-nama malaikat Islam versi Jawa ini terdapat di
‘kepek pedalangan’ untuk ruwatan dan tertulis dalam aksara Kawi (Ngawi Gaib).
Dalam ajaran Jawa, yang disebut ‘sedulur papat kalima pancer’ itu sangat jelas
dan membumi. Yang dimaksud adalah struktur roh manusia dan hubungannya dengan
alam semesta. Ketika manusia (dan semua mahluk hidup) masih dalam kandungan
atau berupa telur ‘dilengkapi’ sebentuk jaringan sel yang bersamaan terciptanya
ketika terjadi ‘pembuahan’. Pada manusia atau binatang menyusui, jaringan sel
itu berupa: air ketuban (kawah), placenta (ari-ari, aruman), darah dan tali
pusat (puser).
Semua jaringan sel itu berfungsi sebagai penghubung janin dengan alam semesta
yang diwakili oleh ‘raga’ ibu/induk-nya. Ketika janin lahir menjadi bayi, tugas/fungsi
fisik semua jaringan penyerta di rahim ibu/induk berakhir. Namun pada pandangan
Jawa, yang berakhir itu Cuma bentuk fisik, sementara bentuk ‘ruh’ terus
belanjut. Ruh-ruh jaringan penyerta terciptanya janin tersebut kemudian menyatu
dan menjadi mancapat (plasma) bagi roh si mahluk yang sudah berpindah alam,
dari kandungan ke bumi/alam semesta.
Maka sebagaimana fungsinya dulu di
dalam kandungan, maka ruh-ruh penyerta terciptanya tersebut juga menjadi
penghubung ruh si mahluk dengan ruh alam semesta. Maka menjadi tidak mudah
dipahami ketika ‘sedulur papat’ dimaksud disamakan sebagai ‘dewa’ (dalam
hinduisme) atau malaikat (dalam teologi Timur Tengah). Lebih-lebih memposisikan
bahwa ‘sedulur papat’ sebagai ‘utusan Tuhan’ atau disamakan dengan ‘empat nafsu’.
Barangkali yang mendekati makna ‘sedulur papat Jawa’ adalah ‘malaikat pribadi’
yang disebut novelis Paulo Coelho dalam beberapa cerita roman spiritualisnya….
Petung Panunggalan dalam Sistim Penanggalan
Kiranya hanya Jawa yang memiliki ‘sistim petung’ berdasarkan unsur-unsur
penanggalan (kalender). Meski di Bali ada juga sistim petung tersebut yang
disebut ‘Wariga’, namun sistim itu diakui berasal dari Jawa. Dan literatur
rujukan ‘Wariga’ di Bali adalah ‘Lontar Medang Kamulan’ yang isinya cerita tentang
Prabu Watugunung di negeri ‘Kundhadwipa’. (Sundha Dwipa ?)
Cerita itu merupakan catatan lahirnya wuku (pekan, minggu) dalam sistim
kalender Jawa. Unsur-unsur (perabotan) wuku diantaranya yang terpenting:
Pancawara (siklus 5 hari: Kliwon, Legi, Paing, Pon, Wage), Sadwara (siklus 6
hari: Tungle, Aryang, Wurukung, Paningron, Uwas, Mawulu), dan Saptawara (siklus
7 hari: Radhite, Soma, Anggara, Buddha, Wrahaspati, Sukra, dan Saniscara).
Ketiga siklus (5,6,7) digabung menjadi satu dalam siklus wuku selama: 210 hari.
Siklus pancawara (5 hari) dan sadwara (6 hari) bisa dipastikan dari
Jawa/Nusantara, karena tidak ada negeri atau bangsa lain mengenal perhitungan
siklus itu. Meski belum bisa dipastikan siklus ‘saptawara’ berasal dari
Jawa/Nusantara, namun ada jejak yang bisa untuk dikaji. Siklus perhitungan hari
pada kenyataannya sudah dicantumkan dalam banyak prasasti maupun kakawin di
Jawa/Bali.
Masyarakat Jawa basis budayanya adalah pertanian sawah maka sangat mengenal
dinamika perubahan situasi dan kondisi alam karena ‘budidaya pertanian’
membutuhkan pengenalan perubahan-perubahan musim. Karena itu, di Jawa kalender
yang digunakan bukan sebagai pencatat suatu kejadian semata, tetapi juga
berkaitan dengan kehidupannya sehari-hari.
Oleh karena itu, di Jawa dikenal adanya kalender ‘surya sangkala’ (solar,
berdasar peredaran bumi mengelilingi matahari), kalender ‘candra sangkala’
(lunar, berdasar perdaran bulan mengelilingi bumi), dan kalender ‘Pawukon’
(petung, gabungan siklus Pancawara, Sadwara, dan Saptawara). Ketiga kalender
Jawa tersebut digunakan secara terpadu pada prasasti atau kakawin.
Yang menarik, dalam petung kalender Pawukon, masing-masing unsur ditempatkan
pada posisi (dunung, Jw.) yang mengikuti ‘sistim panunggalan’, pancer-mancapat
(inti-plasma), diantaranya:
Kiblat & Pancer untuk Pancawara & Saptawara :
Lor
Wage
Rebo & Kemis
|
|
Kulon _________ Tengah ___________ Wetan
Pon Kliwon Legi
Senen & Selasa Jumuwah
|
|
Kidul
Paing
Saptu & Minggu (Ahad)
Dununging (Posisi) Wuku :
Utara
8 Warigagung, 18 Marakeh
28 Kulawu
Barat Laut Timur Laut
5 Tolu, 15 Julungpujut, 1 Shinta, 11 Galungan,
25 Bala 21 Maktal
Atas 7 Warigalit, 17 Kuruwelut,
27 Wayang
Barat Timur
2 Landhep, 12 Kuningan 10 Sungsang, 20 Madhangkungan
22 Wuye 30 Watugunung
Bawah
4 Kurantil, 14 Mandasiya
24 Prangbakat
Barat Daya Tenggara
9 Julungwangi, 19 Tambir, 3 Wukir, 13 Langkir,
29 Dukut 23Manail
Selatan
6 Gumbreg, 16 Pahang
26 Wugu
Penempatan posisi (dunung) Weton (Pancawara & Saptawara) dan Pawukon pada
sistim panunggalan merupakan panduan untuk menghitung (petung) yang berkaitan
dengan wariga (ala ayuning dina). Dan posisi (dunung) dimaksud sesuai dengan
arah posisi berbagai benda angkasa yang dipandang dari ‘posisi tengah’, Nusa
Jawa. Bukan dari India atau China. Dengan demikian, petung kalender Panunggalan
semakin pasti berasal dari Jawa. Dan dikarenakan menurut dongeng atau
lontar-lontar yang terwariskan, petung kalender tersebut lahir di Negeri
Medhang Kamulan, maka boleh disebutkan bahwa falsafah/sistim panunggalan adalah
warisan Medhang.
Panunggalan Pranata Sosial dan PemerintahanPiwulang Kejawen
‘Panunggalan’ ini kemudian ‘diturunkan’, ‘diekspresikan’, dan ‘melandasi’ semua
pakem (ajaran) ‘lakuning urip’ wong Jawa. Bahwa pada hubungan antara ‘pancer’
(inti) dengan mancapat (plasma) bersifat ‘kosmis-magis’. Sangat sulit
dijelaskan namun riil nyata. Pengibaratannya: hubungan semua unsur alam semesta
sebagaimana hubungan antar jaringan sel dalam membangun ‘manungsa urip’.
Yang mampu saya tarik makna pemahamannya, bahwa ekspresi dan landasan budaya/peradaban Jawa mengutamakan ‘nilai rukun’ dan ‘nilai selaras’ (harmoni). Yang seperti ini bukan hanya ada di ranah wacana (teori) semata, tetapi diujudkan dalam praktek kehidupan. Misal dalam membangun sistim ‘pemerintahan yang teratur’ maka sel-sel unsur panunggalan berupa ‘kabuyutan’ (paradesa) yang merupakan daerah perdikan (merdeka berdaulat), namun saling ‘berhubungan’ dengan azas : ‘kesetaraan’, ‘perdamaian’, dan menuju kepada ‘kesejahteraan bersama’.
Membangun sistim pemerintahan yang teratur yang menuju kesejahteraan
diekspresikan dengan cara membangun sistim pranata sosial ekonomi yang mampu
mencakup seluas-luasnya wilayah. Maka di Jawa ada sistim ‘penggiliran keramaian
pasar’ yang menggunakan kalender khas Jawa, ‘Pasaran’ (Kliwon, Legi, Pahing,
Pon, Wage). Azas panunggalan juga diterapkan dalam membangun jaringan pasar
ini. Pada umumnya (jaman dahulu), pusat komunitas (misal ibukota Kabupaten)
hari pasarannya Kliwon.
Hari pasaran lain digunakan untuk keramaian di pasar-pasar sekeliling (pasar plasma) pusat komunitas. Namun ‘pasar plasma’ tersebut juga merupakan ‘plasma’ jaringan pasar dari pusat komunitas lain. Contohnya: pasaran Legi di Prambanan merupakan plasma dari jaringan berpusat di Kliwon untuk Klaten, Kliwon untuk Wonosari Gunung Kidul, dan Kliwon untuk Bantul Yogya. Pasaran Wage di Pedan merupakan plasma Kliwon Klaten, Delanggu dan Wonosari Gunung Kidul. Pasaran Pon Ambarawa merupakan plasma dari pusat komunitas (Kliwon) di Salatiga, Magelang, dan menuju Semarang (kalau masih ada).
Meski masih pengamatan (butuh pembuktian) bisa dipetakan bahwa sistim
penggiliran hari pasaran tersebut merupakan ‘jejaring’ kegiatan pasar (ekonomi)
yang cerdas, demokratis, dan ‘tahan banting’ (sampai saat ini masih berjalan).
Pengamatan selanjutnya, jejaring pasar tersebut mencakup wilayah hulu
(pedalaman) hingga ke hilir (bebandaran, pesisir). Dengan demikian, di
peradaban Jawa sejak kuno sudah memiliki sistim pranata sosial ekonomi yang
‘canggih’. Adanya jaringan pasar sudah pasti ada jaringan sarana dan prasarana
transportasi. Maka kemungkinan pembangunan jalan raya Daendels pada dasarnya
sekedar melakukan pengerasan jalan dan membangun jembatan untuk menggantikan
‘jembatan tambang’ (penyeberangan) sungai saja.
Demikian pula, bisa dipahami adanya keramik Cina dan kaca Persia di Prambanan
(pedalaman Jawa) karena sudah sejak jaman kuno ada jaringan pasar dan
transportasi tersebut.
Hari Pasaran (Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage) adanya hanya di bumi Jawa yang
saya berpendapat adalah wilayah budaya dan peradaban ‘Medhang Kamulan’. Maka
meskipun penggiliran hari pasaran (pancawara) dikenal di Bali, Sundha, dan
tempat lain di Nusantara, akan kita ketahui sumbernya selalu menyebut nama
negeri ‘Medhang Kamulan’. Yang nyata tertulis ada di Bali, yaitu pada ‘Lontar
Medhang Kamulan’. Meski perkembangannya disinergikan dengan Hindu (budaya dan
peradaban India), kenyataan yang terwariskan sampai sekarang hari pasaran asal
Jawa di Bali itu berbahasa Jawa Kuna. Tidak ada yang berbahasa Sanskerta atau
bahasa India lainnya.
Peradaban yang sudah mengenal adanya pasar untuk bertransaksi merupakan
peradaban yang maju dan ‘teratur tertib’. Karena adanya pasar sebagai tempat
bertransaski merupakan faktor penting untuk mengurangi kesenjangan antar
komunitas. Dampak selanjutnya menghilangakan kecenderungan akan terjadi konflik
komunitas karena ada distribusi kesejahteraan. Maka dimungkinkan Jawa pada
jaman dulu tidak mengenal ‘peperangan’ sebelum hadirnya sistim kerajaan yang
diadobsi dari Asia Daratan. Untuk itu bisa diselisik bunyi prasasti yang
kebanyakan memberikan pembebasan upeti kepada suatu ‘shima’ (kabuyutan)
dikarenakan telah berjasa kepada kerajaan. Diantara jasa tersebut, memberikan
lahan untuk didirikan tempat peribadatan agama tertentu. Bolehkan itu kita
terjemahkan sebagai ‘penjajahan budaya’?
Sekelumit tulisan saya tentang Falsafah Panunggalan kiranya bisa menggugah
kita, para lajer Jawa, untuk menelisik ulang tentang sejarah peradaban yang ada
di ranah Jawa. Rasanya masih banyak yang masih merupakan misteri dan tidak
pernah ada yang tertarik untuk meneliti. Karena itu banyak hal-hal yang butuh
‘klarifikasi ilmiah’ yang inti pokoknya : “Benarkah Jawa itu bersejarah setelah
menerima sebaran budaya dan peradaban India ?“
Wacana bahwa budaya dan peradaban Jawa ‘turunan’ India didasarkan pada penemuan
prasasti yang tertua berbahasa Sanskerta dan beraksara Devanagari. Sementara
prasasti berbahasa dan beraksara Jawa Kuna (Kawi) selalu dianggap lebih muda.
Hal ini menarik untuk dikaji, mengingat adanya keganjilan-keganjilan sebagai
berikut:
1. Penyebaran bahasa Sanskerta dan aksara Brahmic India mengarah ke Tenggara
saja. Adakah penyebaran ke Barat (Persia, Yunani, Timur Tengah) dan ke Timur
(China) ? Kalau tak ada jejak penyebaran ke arah Barat dan Timur, maka India bukan
episentrum penyebaran budaya dan peradaban, tetapi sebagai penerima sebaran
yang berepisentrum di wilayah lain. Wilayah itu pastilah suatu wilayah yang
orang-orangnya mampu melanglang buana dengan kapal/perahu. Nusantara merupakan
kemungkinan terbesar sebagai episentrum budaya dan peradaban umat manusia
sedunia. Maka Bahasa Sanskerta dan aksara Brahmic yang sebenarnya mengadobsi
dari bahasa dan aksara bangsa-bangsa bahari yang pasti lebih mampu melanglang
buana tersebut.
2. Bahasa Jawa Kuna selalu dinyatakan sebagai ‘turunan’ bahasa Sanskerta,
mungkinkah wacana itu dibalik ? Bahasa Sanskerta merupakan turunan dari bahasa
Jawa Kuna yang ternyata pernah eksis di seluruh Asia Tenggara. Bahwa sejak
jaman kuno, bangsa Nusantara adalah bangsa bahari yang pasti mampu melakukan
penjelajahan samudra, sementara bangsa India tidak mampu melakukan itu.
3. Peninggalan bangunan-bangunan kuno di Jawa berupa candi-candi perlu diteliti
ulang kemungkinannya merupakan bangunan peribadatan asli agama di Jawa bukan
Hindu atau Budha dari India. Kasusnya bisa merujuk ke agama Hindu Bali yang
ketika didaftarkan ke Kementerian Agama RI dengan nama ‘Agama Tirta’. Tetapi
diputuskan dengan nama ‘Hindu Bali’, mengapa?
Demikian tulisan panggraita saya dan mohon kiranya untuk bisa dibawarasa dengan
baik bagi yang berkenan. Semoga bermanfaat,Matur Nuwun.
Penulis : Ki S Mandali ( Supranaturalist )