Juru Paes Penganten |
SAWAN MANTEN, ANTARA PROBLEM DAN PSIKOLOGIS
Ada dua pendekatan
yang dapat kita gunakan untuk membedah masalah sawan manten, yakni pendekatan
agamis dan pendekatan psikologis. Kedua pendekatan itu tidak bertentangan satu
sama lain, bahkan saling melengkapi. Pendekatan agamis memandang sawan manten
sebagai problem agama dan tidak lain adalah buah dari perseteruan antara Iblis
dan Adam yang akhirnya diwariskan kepada anak keturunannya masing-masing.
Sementara itu, pendekatan psikologis memandang sawan manten sebagai problem
psikologis yang bersumber pada ketidakmampuan pihak-pihak yang terlibat dalam
upacara pernikahan menghadapi tekanan-tekanan psikologis yang tercipta selama
mempersiapkan pesta pernikahan. Tekanan psikologis itu begitu kuat sehingga
mempengaruhi ketahanan fisik dan psikis.
1. Problem Agamis
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa Iblis telah
bersumpah pada Allah swt untuk menjerumuskan anak keturunan Adam kedalam lembah
kesesatan sehingga mereka akan jauh dari hidayah Allah swt. Harap diingat,
bahwa ancaman Iblis sebagaimana disebutkan dalam ayat-ayat suci pada bab
terdahulu berlaku universal. Artinya, tidak peduli dari agama atau budaya atau
bangsa apapun anak keturunan Adam pasti akan menerima gangguan dari syetan
sebagai kepanjangan tangan Iblis.
Sesungguhnyalah, ancaman Iblis itu benar-benar nyata. Sebab,
informasi tentang ancaman itu diberikan oleh Tuhan yang menciptakan alam
semesta, termasuk juga Iblis dan Adam. Tuhan juga menjadi saksi dari
pembangkangan Iblis yang berujung pada ancaman Iblis pada anak keturunan Adam.
Sayangnya, informasi yang dikategorikan A1 (meminjam istilah
intelijen yang berarti tepat dan akurat) itu sama sekali tidak mendapat
perhatian semestinya. Kebanyakan orang akan memusatkan seluruh perhatiannya pada
persiapan menjelang pelaksanaan pesta pernikahan.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa
kebanyakan orang akan lebih merasa khawatir bila persediaan makanan dan minuman
tidak mencukupi jumlah tamu yang diundang daripada mengkhawatirkan ancaman
Iblis terhadap anak keturunan Adam yang hendak melangsungkan pernikahan.
Padahal ancaman Iblis itu jelas jauh lebih berbahaya
daripada akibat yang ditimbulkan kurangnya makanan dan minuman yang
dihidangkan.Pihak-pihak yang berkompeten dalam masalah-masalah agama juga
jarang yang secara khusus memberikan warning terhadap calon pasangan suami –
isteri akan adanya ancaman dari Iblis itu.
Para penghulu yang sering memberikan
kutbah nikah juga jarang sekali menyinggung hal tersebut. Biasanya penghulu
hanya memaparkan tugas dan tanggung jawab suami – isteri dan mungkin juga
kiat-kiat melanggengkan sebuah perkawinan. Namun masalah ancaman Iblis itu
tidak mendapat porsi signifikan dalam kutbahnya.
Biasanya, justru dari para perias calon pengantin mendapat
wejangan dan saran untuk melakukan puasa sambil berdoa kepada Tuhan agar
rangkaian upacara yang akan dilaluinya tidak menemui hambatan dan agar rumah
tangga yang akan dibina dapat berlangsung hingga akhir hayat keduanya.
Rupanya
pengalaman hidup dalam merias calon pengantin telah memberi pengetahuan
mendalam akan perlunya sandaran pada Yang Maha Kuasa bagi calon pengantin yang
diriasnya. Itulah sebabnya, kebanyakan orang hilang kewaspadaan ketika
menghadapi saat-saat krusial dalam hidupnya, semisal menjelang upacara
pernikahan itu.
Sebab, jarang ada orang yang mencoba mengingatkan akan ancaman
Iblis. Tidak semua orang akan mengalami naas yang sama berupa sawan manten saat melangsungkan pernikahannya. Namun justru itulah yang menyebabkan orang
kehilangan kewaspadaan. Strategi acak yang diterapkan syetan untuk
menjerumuskan manusia terbukti cukup efektif untuk melancarkan tipu dayanya.
2. Problem Psikologis
Tidak diragukan lagi, pernikahan merupakan saat-saat yang
paling ditunggu oleh sepasang anak manusia. Bayang-bayang manis akan kehidupan
baru melekat erat dalam benak mereka. Sudah pasti, angan-angan mereka penuh
dengan gambaran manis dan ideal.
Bayangan menjadi raja dan ratu sehari terus
mendominasi pikiran. Dikelilingi sanak-saudara, kerabat dan teman-teman penuh
suka cita. Para orang tua akan memberi doa restu, teman-teman memberikan ucapan
selamat, bahkan famili yang berada di negeri seberang dan tidak sempat hadir
juga menelpon hanya untuk mengucapkan selamat.
Sudah tentu pihak-pihak yang terkait dengan perhelatan
pernikahan akan memiliki berbagai macam perasaan. Namun, dua perasaan yang
paling sering mendominasi adalah perasaan senang dan khawatir. Pihak orang tua
merasa senang karena akan segera menikahkan anak perempuan atau anak lelakinya
dan dengan demikian sedikit berkurang beban tanggung jawabnya. Tetapi,
seringkali justru pada saat-saat menjelang upacara pernikahan itu orang tua
merasa khawatir bila nantinya perhelatan yang diselenggarakan akan menemui
rintangan-rintangan.
Demikian pula dengan pihak calon pengantin. Jelas keduanya
merasa sangat senang sebab akan mendapatkan status sosial yang jelas, yakni
keluarga baru. Selain itu mereka juga merasa senang karena mendapat kehalalan
dari perbuatan yang sebelumnya haram dilakukan. Namun, seperti juga dengan para
orang tua, kedua calon pengantin itu juga merasakan kekhawatiran bila rangkaian
upacara pernikahan yang akan mereka jalani menemui hambatan-hambatan.
Masalah-masalah psikologis, seperti misalnya rasa senang
yang meluap-luap atau kekhawatiran yang mencekam sebagaimana tersebut diatas
secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi pola pikir dan
perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam upacara pernikahan itu. Hal paling
buruk dari pengaruh suasana hati yang sangat senang adalah hilangnya
kewaspadaan diri sebagai mekanisme pertahanan diri manusia.
Sebagai contoh, kasus-kasus kecelakaan lalu lintas yang
menimpa rombongan pengantar calon pengantin biasanya berawal dari hilangnya
kewaspadaan diri akibat suasana hati yang terbius oleh rasa senang yang
meluap-luap. Rombongan pengantin yang biasanya terdiri dari sanak saudara dan
tetangga sekitar tentu saja berangkat menuju upacara pernikahan dengan rasa
senang. Dapat dipastikan, rombongan pengantin akan berangkat menempuh
perjalanan dengan penuh tawa canda dan senda gurau.
Sebenarnya, tawa dan canda itu adalah hal yang biasa. Hanya
saja, dalam kasus-kasus tersebut diatas, kegembiraan itu menyebabkan hilangnya
kewaspadaan diri orang-orang yang berada dalam rombongan tersebut, termasuk
juga pengemudi kendaraan. Akibatnya mudah ditebak. Ditengah buaian rasa senang
yang menghilangkan kewaspadaan itu, setan hanya tinggal mencari pemicu kecil
untuk meluluh-lantakan mimpi-mimpi indah mereka.
Tidak ada komentar
Posting Komentar