- Latar belakang kandidat calon presiden (capres) menjadi senjata yang seakan bisa melemahkan suara. Mencari titik lemah melalui latar belakangan bakal capres kerap dilakukan lawan maupun timses menjelang maupun saat kampanye Pemilu.
Tiga bakal capres yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan memiliki titik lemah berdasarkan latar belakang masing-masing.
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Arya Budi mengatakan, latar belakang Prabowo berkaitan dengan Orde Baru seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) selalu diputar setiap mencalonkan diri sebagai presiden sejak tahun 2014.
"Satu sisi publik tahu tentang latar belakang (Prabowo), tapi satu sisi dia mendapatkan suara yang juga tidak sedikit karena mamang setting Pemilunya dua capres, itu juga berarti isu tersebut tidak bekerja karena publik mafhum," kata Arya ketika dihubungi merdeka.com, Rabu (28/6).
Anies Baswedan
Berbeda dengan Prabowo, latar belakang isu yang akan melemahkan Ganjar dan Anies sebagai kandidat capres untuk pertama kalinya justru menjadi kebaruan bagi publik.
Arya menjelaskan, isu yang melemahkan Anies berkaitan dengan performa saat memimpin DKI Jakarta, terutama program-program yang dianggap publik tidak berhasil atau memuaskan.
"Program-program yang dianggap gagal sering diputar oleh lawan politiknya dengan mengangkat 'mengurus provinsi tidak berhasil bagaimana mengurus Indonesia' misalkan," ujar Arya.
Selain itu, kata Arya, isu lainnya yang melemahkan Anies adalah basis pemilih mantan Gubernur DKI Jakarta berasal dari kelompok islamis. Meskipun, pemilih Indonesia mayoritas muslim, tetapi masih banyak pemilih yang memiliki kecenderungan nasionalis. Ditambah dengan status Anies yang tidak termasuk orang partai sehingga dukungan publiknya lebih rendah dari Prabowo dan Ganjar dibuktikan dari berbagai hasil survei.
"Misalnya potensi untuk menempatkan Anies untuk mempromosikan aspirasi-aspirasi kelompok islamis itu menjadi titik lemah. Basis pendukung dan representasi Anies kalau disebut teori prototypicality, jadi dia sedang mewakili kelompok pemilih yang mana juga menjadi kelemahan Anies jika tidak disertai upaya merangkul kelompok nasionalis," kata Arya.
Ganjar Pranowo
Sementara itu, kelemahan Ganjar tidak terlalu kencang pada kebijakan selama menjabat sebagai Gubernur Jawa Tengah, seperti isu tambang Wadas dan semen Rembang serta kasus korupsi e-KTP era Setya Novanto ketika menjadi anggota dewan.
"Meskipun tidak terlalu kencang tapi justru bagi saya yang menjadi titik lemah Ganjar di mata publik adalah posisi dia sebagai kader partai yang tidak sekuat Jokowi," kata dia.
Arya mengingatkan bahwa Ganjar merupakan kader partai yang memulai kariernya dari bawah. Aktivis, anggota dewan, gubernur. Sementara Jokowi cukup meroket sebelum memasuki kontestasi 2014, elektabilitas Jokowi menembus 50 persen apalagi mengantar pemimpin Indonesia dengan model kepemimpinan yang jarang ditemui publik. Bergaya sederhana hingga mempopulerkan istilah blusukan yang cukup baru bagi publik dan direplikasi oleh kepala daerah.
"Nah Ganjar ini jauh dari 50 persen, rata-rata dia mentok di 30 persen. Jadi posisi itu yang menjadi titik lemah karena kemudian publik menganggap apa yang dilakukan Ganjar adalah perintah Megawati. Posisi dukungan yang tidak terlalu kuat bagi Ganjar meskipun unggul di survei itu menjadikan dia praktis dalam perspektif publik sebagai pure petugas partai jadi itu titik kelemahan Ganjar," ujar dia.
Maka dari itu, Arya melanjutkan, Ganjar harus muncul sebagai orang yang kuat sebagai capres, punya kendali penuh atas kebijakan meskipun sulit dilepaskan karena ada Megawati dan petinggi partai lainnya. Apalagi jika membandingkan Ganjar dengan Prabowo yang memiliki kendali penuh mirip seperti SBY di 2004.
"Publik memahami dia presiden dalam konsep trias politica maka dia memiliki otoritas eksekutif yang penuh. Sementara Ganjar bagaimana pun dia berada di dalam posisi tidak cukup leluasa karena bisa jadi ada keputusan yang diambil kolektif kolegial parpol," ungkapnya.
Upaya Parpol dan Koalisi Menghadapi Kelemahan Capres
Dengan adanya kelemahan dari tiga capres tersebut, maka diperlukan sebuah upaya untuk menanggulanginya. Arya mengungkapkan, upaya-upaya tersebut harus dilakukan oleh partai politik dan individu pendukung bakal capres tersebut.
"Bagi parpol yang mengusung harus melepaskan capresnya sebagai calon pemimpin yang independen, tidak berada di bawah kendali partai justru mereka harus ada di atas partai karena logikanya sistem presidensial adalah single chief eksekutif. Jika tidak, maka publik akan membaca figur capres yang lemah. Jika mereka memilih seorang capres yang seperti itu mereka khawatir jangan-jangan ekspektasi mereka dinihilkan oleh intrik politik antar parpol," kata Arya.
Lalu, koalisi koalisi partai harus berada di irama yang sama. Arya mencontohkan dengan koalisi yang sudah terbangun, terlihat bahwa Koalisi Perubahan untuk Persatuan yang mengusung Anies justru bertengkar sendiri di depan publik. Sehingga, menurutnya posisi parpol dan koalisi harus menempatkan capres sebagai calon pemegang kepala pemerintahan dan kepala negara, tetapi di sisi lain mereka juga harus saling konsolidasi.
"Tidak bisa mengusung capres yang sama tapi terus bertengkar baik soal cawapres maupun soal platform kebijakan yang mau diusung. Komunikasi publik harus berada dalam napas yang sama," kata Arya.
Benarkah Isu-Isu tersebut Melemahkan dan Memengaruhi Suara?
Arya mengatakan, isu-isu yang melemahkan tersebut akan berpengaruh jika lawan politik mampu membuktikannya. Di samping itu, Analis komunikasi politik Universitas Padjadjaran S Kunto Adi Wibowo mengatakan ekosistem politik Indonesia yang terpolarisasi membuat setiap capres memiliki pendukung royal sehingga isu-isu tersebut tidak memiliki pengaruh yang signifikan.
"Kalau menurut saya masing-masing capres sudah memiliki pendukung royal dan bagi pendukung royal yang dianggap kelemahan adalah kelebihan bahkan tidak percaya dengan kelemahan itu," ujar Kunto.
Namun, Kunto melanjutkan, isu masa lalu tersebut bisa berpengaruh bagi mereka yang belum menentukan pilihan terutama bagi generasi milenial dan generasi Z yang tidak terlalu atentif terhadap politik. Meskipun, pengaruhnya tidak terlalu besar.
"Menurut saya kalau belum muncul skandal itu agak susah sih bagi sebuah kelemahan paling dipake untuk saling serang saja dan menurut saya tidak akan berpengaruh banget ke mereka yang belum menentukan pilihan apalagi mereka yang sudah jadi pengagum berat nggak akan mempan buat mereka," kata Kunto.
Menurut Kunto, isu-isu tersebut tidak digunakan oleh para capresnya secara langsung, tetapi lebih banyak digunakan oleh para simpatisan di media sosial.
"Capresnya malah ngga pake, yang pakai simpatisan atau buzzer-buzzer di medsos. Kalau capres tidak ada yang menyerang terbuka. Justru ini serangan-serangan ini dibikin pendukungnya," ujarnya.
Alasan capres tidak menyerang secara langsung isu-isu tersebut karena nantinya akan ada pihak yang mengambil keuntungan sehingga Kunto menyarankan agar para capres lebih berhati-hati ketika menyerang kandidat lainnya secara langsung.
"Kenapa capres ga pakai karena di Indonesia mereka yang menyerang itu atau mereka yang diserang justru yang akan mengambil keuntungan dengan cara merasa terzolimi berbuat mencitrakan sebagai pihak yang terzolimi dan itu terbukti sukses di Demokrat Pak SBY kemarin. Menurut saya para capres ini harus hati-hati ketika menyerang secara langsung," tutupnya.*** [Alya Fathinah]
Tidak ada komentar
Posting Komentar