The Jogja Notify - Reformasi adalah sebuah proses perubahan sistem. 1998 adalah awal yang baru bagi cerita Bangsa Indonesia. Sebuah awal yang menjadikan Bangsa Indonesia mengenal lagi sistem negara yang demokratis. Peralihan dari sistem monarki dan otoriter Orde Baru menjadi lebih demokratis membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tidak sedikit.
Maka dari itu, perjuangan dan pengorbanan para pejuang reformasi harus selalu menjadi pengingat bagi kita semua bahwa menjadikan negara yang demokratis tidaklah mudah. 32 Tahun orde baru seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa sebuah sistem yang tertutup dan otoriter sangatlah tidak sehat bagi perkembangan bangsa dan negara.
Fenomena reformasi yang dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia untuk mengakhiri 32 tahun orde baru sebenarnya sudah pernah dilakukan lebih awal oleh Bangsa Prancis.
Fenomena ini dikenal dunia dengan istilah “revolusi prancis”. Revolusi Prancis secara sederhana adalah sebuah protes ketidakadilan yang dilakukan oleh rakyat Prancis terhadap kepemimpinan Raja Louis ke-16. Perjuangan rakyat Prancis akhirnya melahirkan sebuah prinsip baru yaitu liberte, egalite, fraternite yang mempunyai arti kebebasan, persamaan dan persaudaraan.
Revolusi Prancis mempunyai dampak yang sangat besar untuk dunia bagaimana cara memperjuangkan kebebasan. Khususnya Indonesia, reformasi 1998 juga menjadi bagian dari dampak Revolusi Prancis yang akhirnya secara tidak langsung ditiru oleh Bangsa Indonesia.
Reformasi 98 ataupun Revolusi Prancis secara fundamental memiliki kesamaan yaitu memperjuangkan kehidupan ataupun sistem bangsa yang lebih baik dan terbuka. Pergerakan ini menandakan bahwa sebuah sistem negara yang monarki dan otoriter menimbulkan ketidakadilan bagi bangsa dan negara. Khususnya di Indonesia, reformasi 98 memperjuangkan hak-hak warga negara yang seharusnya diperoleh akan tetapi hanya dimiliki oleh beberapa golongan saja.
Reformasi 98 melahirkan sistem negara yang lebih terbuka dan lebih demokratis. Akhirnya, kebebasan individu bisa tercapai namun tetap berlandaskan asas-asas demokratis. Salah satu hasil dari perjuangan gerakan reformasi 98 adalah terciptanya pemilu yang memiliki sistem terbuka, jujur dan adil.
Pemilu tahun 2004 menjadi pemilu pertama yang rakyat bisa memilih calon presidennya secara langsung. Fenomena ini sebenarnya bisa menjadi sebuah indikator bahwa perkembangan kehidupan Bangsa Indonesia mengalami perubahan yang menjadi lebih baik. Keadaan ataupun kondisi seperti ini berlangsung cukup lama hingga pemilu tahun 2019. Maka dari itu, keadaan dan kondisi yang sudah demokratis ini seharusnya bisa dipertahankan dan diperbaiki agar bisa lebih baik.
Sistem pemilu yang sudah terbuka dan demokratis yang ditandai berakhirnya era orde baru seharusnya bisa dipertahankan. Akan tetapi, menjelang pemilu tahun 2024, ada sebuah wacana bahwa sistem pemilu yang terbuka ingin diganti dengan sistem pemilu yang tertutup. Wacana tersebut secara etis sudah menciderai cita-cita para pejuang reformasi. Sistem pemilu yang tertutup adalah sebuah sistem pemilu yang penentuan seorang kandidat yang berada di posisi tertentu bukan dari jumlah dari jumlah suara masing-masing individu tetapi dari perolehan suara partai politik.
Dengan kata lain, suara yang diberikan untuk suatu partai bukan langsung ke calon legislatif (caleg) sehingga, ketika parpol mengusung enam nama dan memperoleh dua suara, maka dua orang di urutan atas akan mengambil kursi.
Analisis fenomena ini jika dilihat dari sudut pandang sosio-politik terkait sistem pemilu yang tertutup akan membuat hegemoni partai politik besar akan lebih dominan. Akibatnya akan menimbulkan partisipasi dan aspirasi publik akan terbatasi dan semakin sempit. Aspirasi akan dikendalikan oleh partai-partai besar saja. Selain itu, sistem pemilu yang tertutup akan menghilangkan ide dasar pemilu yang jujur dan adil.
Wacana sistem pemilu yang bersifat tertutup menuai banyak polemik dari publik. Hal ini ditandai oleh adanya 8 parpol yang menolak wacana tersebut. Polemik yang terjadi tersebut menurut penulis memiliki alasan yang mendasar. Selain akan membuat parpol yang besar menjadi lebih berkuasa dan semakin nyaman mengatur aspirasi dan narasi publik wacana tersebut juga bertentangan dengan cita-cita reformasi.
Reformasi dengan jelas dan tegas memperjuangkan kebebasan berdasarkan asas-asas yang demokratis. Terlebih, sistem pemilu yang tertutup sebenarnya juga pernah diterapkan di era orde baru yang membuat partal Golkar menjadi penguasa tunggal dan itu membuat kehidupan politik di Indonesia sangat tidak sehat.
Analisis dan pendapat penulis terkait polemik dari wacana sistem pemilu yang tertutup adalah sistem pemilu yang tertutup tersebut jelas akan menciderai cita-cita dari reformasi. Reformasi 98 seharusnya menjadi pembelajaran bagi kita Bangsa Indonesia bahwa sistem pemilu yang sehat adalah sistem yang terbuka.
Selain sesuai dengan asas-asas demokratis, sistem pemilu yang terbuka membuat pemilu akan tetap sesuai ide dasarnya yaitu jujur dan adil. Partisipasi dan aspirasi publik tetap terjaga secara bebas tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Selain itu, para parpol akan tetap bisa bersaing secara sehat tanpa ada intrik-intrik kecurangan.
Maka dari itu, kita sebagai Bangsa Indonesia kembali kepada cita-cita kita yang dulu ketika akan melakukan reformasi pada tahun 1998. Dari semua pendapat dan analisis dari penulis adalah, ide ataupun wacana sistem pemilu yang tertutup tidak sesuai dari perintah konstitusi Bangsa Indonesia. ***
*) Oleh: Bintang Maulana Ichsan, Guru dan Sosiolog.
Tidak ada komentar
Posting Komentar