Responsive Ad Slot

Latest

Relationship

Ketika Dijajah Bule di Bali

Selasa, 20 Juni 2023

/ by Jogjanesia


The Jogja Notify - Memesan segelas kopi dan croissant, pria bule berusia 30-an tahun itu bergegas menuju salah satu meja di pojokan kafe. Laptop dibuka, headset dipasang. Jari-jarinya lincah mengetik di atas keyboard.

Di pojok lainnya, seorang wanita berpakaian rapi tampak serius menatap layar laptop. Sesekali kepalanya mengangguk. Dia sedang mengikuti rapat online.

Suasana menjelang siang di salah satu kafe di kawasan Canggu, Kuta Utara, Badung, Bali itu sudah menjadi pemandangan lazim. Hampir setiap pengunjung yang datang membawa laptop. Beberapa duduk berkelompok. Sebagian lebih senang duduk sendiri, khusyuk dengan pekerjaannya.

Mereka adalah para digital nomad. Karyawan yang tak harus bekerja dari kantor, tapi bisa melakukan tugasnya dari manapun. Di Bali, kafe-kafe di kawasan Canggu dan Ubud, menjadi favorit.

Canggu dipilih bagi yang ingin menikmati suasana bekerja yang dekat pantai. Sedangkan Ubud, untuk mereka yang menginginkan ketenangan dan kesejukan alam saat bekerja.

Fenomena ini sudah berlangsung lama. Banyak WNA yang menjadikan Bali sebagai 'home base'. Beberapa kafe itu juga menyediakan area coworking space untuk para digital nomad yang membutuhkan ruang kerja khusus.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno mengungkapkan, Bali menjadi destinasi favorit bagi para pekerja digital nomad. Pemerintah bahkan mengeluarkan kemudahan visa bagi mereka.

Sandi menambahkan, pemerintah tidak melarang aktivitas digital nomad selama mereka tidak menggantikan keuntungan yang seharusnya diutamakan bagi warga negara Indonesia. Terutama jika mereka merupakan pegawai dari perusahaan global yang tidak mengharuskan untuk bekerja dengan pertemuan fisik, sehingga leluasa mencari tambahan aktivitas yang menguntungkannya

"Bila WNA tersebut melakukan bisnis di Indonesia dan secara langsung bersinggungan dengan pekerjaan masyarakat Indonesia, tentu pemerintah akan menolak secara tegas," kata Sandi melalui jawaban tertulis kepada merdeka.com, pekan lalu.

Jauh sebelum era digital nomad, WNA bekerja di Bali terjadi sejak tahun 1970-an. I Wayan Puspa Negara, Ketua Aliansi Pelaku Pariwisata Marginal Bali menceritakan, saat itu banyak turis asing dari kaum hippies asal Amerika dan Eropa berdatangan ke Bali. Tak cuma sekadar berlibur, mereka malah bekerja.

"Sekarang karena viral saja, ada kejadian aneh-aneh baru ramai. Dari dulu sudah banyak bule bekerja dan penyalahgunaan visa sudah terjadi tahun 1970," kata Wayan Puspa.

Soal digital nomad, dia mengungkapkan, banyak dari mereka yang awalnya bekerja sesuai pekerjaan utama mereka, misalnya di bidang IT, kini melakukan pekerjaan sampingan. Salah satunya merambah sektor properti.

"Awalnya digital Nomad, wisatawan datang ke Bali bekerja dari Bali. Jadi dari digital nomad itu mereka mengembangkan usahanya," tuturnya.

Modus yang dilakukan adalah menyewakan kembali vila yang mereka sewa dari warga lokal kepada pihak ketiga. Mereka menjadi agen pemasaran online. Yang menjadi korban adalah warga lokal, pemilik properti yang kalah bersaing.

"Banyak warga kita tidak terlalu agresif dalam memanfaatkan teknologi dan tidak memiliki jangkauan pemasaran yang luas. Jadi, mereka kan memiliki pemasaran yang lebih luas dan itulah sebabnya market kita menjadi tertekan," ujarnya.

Bagi Wayan Puspa, tindakan para pekerja digital nomad melakukan eksplorasi bisnis di Bali dan melakukan kerja sampingan, merupakan bentuk penyalahgunaan visa.

"Kita mendukung langkah-langkah yang dilakukan imigrasi untuk menindak tegas bila perlu segera melakukan deportasi terhadap warga negara asing terhadap penyalahgunaan visa," tegasnya.

Merebut Profesi Pribumi

"Kalau ini tidak ditindak tegas, intinya memberikan ruang kepada orang asing yang melakukan kegiatan pemanduan, kan habis nanti (pemandu lokal). Berbahaya ini," ucap Nyoman Nuarta.

Ketua DPD Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bali itu mengkhawatirkan makin banyaknya warga asing yang menjadi pemandu. Dia menyebut WN Rusia dan Prancis paling banyak yang menjadi guide.

Guide WNA itu menawarkan jasanya lewat online. Kliennya biasanya dari negara yang sama. Mereka bertemu di restoran atau tempat yang disepakati. Saat pertemuan itulah disusun agenda tour mengunjungi berbagai tempat yang diinginkan klien.

"Ke mana-mana dia. Pokoknya dia melakukan kegiatan pemanduan, ngajak wisatawannya. Dia menjual tour atau Bali dijual sama dia, diajak ke destinasi obyek wisata," kata Nyoman Nuarta.

Kasus yang mencengangkan adalah guide WNA yang memandu sejumlah turis saat mengunjungi Pura Lempuyang di Karangasem. Sang guide perempuan memakai baju adat bali. Demikian juga para tamunya. Dia bahkan membawa banten atau sesajen sendiri.

"Kalau baju adatnya dia bawa sendiri dan sudah dibuat. Iya rapi (modusnya) mereka. Ini modusnya saya pelajari betul karena dia tau penegakan hukum kita lemah makanya modus operandinya sudah berjalan dari dulu," ujar Wayan Nuarta.

Yang menjadi kekhawatiran Wayan Nuarta adalah, guide WNA itu tidak bisa menceritakan secara lengkap sejarah tempat wisata dan tempat suci yang dikunjungi. "Belum tentu dia mampu menceritakan secara utuh kan tentang budaya Bali dan sejarah Pura kan itu," tukasnya.

Sebelum pandemi, Wayan Nuarta pernah melaporkan 35 WNA yang menjadi guide di Bali. Ketika aparat gencar melakukan penindakan, mereka biasanya menghentikan aktivitasnya.

"Makanya, sekarang saya mendukung pemerintah untuk menindak tegas. Tapi tidak sekarang saja harus kontinyu. Persoalan ini saya tahu betul, sudah hampir 15 tahun yang lalu," ujarnya.

Konsistensi Aturan

Berulangnya ulah para turis asing di Bali hingga merebut pekerjaan warga lokal harus menjadi catatan bagi aparat untuk konsisten menegakkan aturan.

Agus P Wardhana, praktisi pariwisata yang juga pemilik bar dan restoran di kawasan Seminyak dan Jatiluwih, menyebut penindakan yang dilakukan seperti hangat-hangat tahi ayam.

"Sekarang mereka lagi viral-viralnya. Oke mereka deportasi semua. Tapi untuk regulasi secara keberlanjutan itu harus tetap dilakukan jadi pengawasan, penindakan, secara berkelanjutan itu harus tetap dilakukan," ujarnya.

Ketika ada yang viral atau menjadi sorotan publik, semua aparat terkesan sibuk. Saat tak lagi dibicarakan, aparat tidak lagi menjalankan fungsi mereka. Agus mengingatkan pemerintah konsisten dan berkelanjutan memantau kelakuan nakal turis asing.

"Izin dan peraturan yang benar-benar tegas harus dipahami masing-masing instansi dan dipahami masyarakat juga sampai kelas Banjar (lingkungan) dan disosialisasikan kepada turis yang akan datang ke Bali. Jadi semua pada mengerti apa yang harus dilakukan saat berada di Bali," paparnya.

Akibat banyaknya bule asal Rusia yang berulah, muncul kemudian usulan pencabutan fasilitas visa on arrival terhadap beberapa negara. Menparekraf Sandiaga Uno mengungkapkan, hingga kini belum ada keputusan untuk mencabut fasilitas visa saat kedatangan atau visa on arrival (VoA) bagi warga negara Rusia dan Ukraina. Keputusan tersebut merupakan wewenang sepenuhnya dari Ditjen Imigrasi.

Meskipun, untuk memutuskan penghapusan VoA bagi turis asing dari Rusia dan Ukraina membutuhkan pembahasan lintas kementerian. Terkait pencabutan fasilitas VoA ini perlu didiskusikan dan dikaji lebih lanjut untuk tetap mengoptimalkan dampak ekonomi bagi masyarakat sekaligus tetap mempertahankan martabat dan ketertiban di destinasi wisata

"Pemerintah tegas melarang turis asing melakukan bisnis di Indonesia yang secara langsung bersinggungan dengan pekerjaan masyarakat seperti disebut di atas, yang belakangan ini meresahkan masyarakat lokal, dan mengancam kelangsungan usaha mereka akibat munculnya bisnis ilegal WNA," kata Sandi.

Dirjen Imigrasi Kemenkum HAM Silmy Karim menegaskan, kemudahan pemberian visa bagi orang asing tidak bisa disimpulkan sebagai sikap abai Imigrasi terhadap penegakan hukum.

Imigrasi secara rutin melakukan operasi pengawasan di berbagai daerah guna memastikan bahwa WNA beraktivitas di Indonesia sesuai dengan izin tinggal yang dimilikinya.

"Imigrasi juga proaktif dalam bekerja sama dengan masyarakat setempat yang menyampaikan kecurigaannya terhadap aktivitas WNA di wilayah tempat tinggalnya," ujarnya kepada merdeka.com.

Ditjen Imigrasi memberikan kemudahan bagi WNA yang ingin mengunjungi Indonesia dalam waktu singkat menggunakan Electronic Visa on Arrival (e-VOA), Visa Kunjungan Wisata 60 hari dan Visa Prainvestasi tanpa harus memiliki penjamin untuk meningkatkan perekonomian nasional pasca diterpa pandemi.

Terkait usulan agar pemerintah mencabut pemberian visa on arrival kepada beberapa negara, Silmy mengatakan, kebijakan itu harus dilihat secara komprehensif.

"Apa yang terjadi di Bali belum tentu terjadi di wilayah lain di Indonesia. Kita harus mempertimbangkan secara matang seperti apa dampaknya terhadap daerah lain. Oleh karena itu, Ditjen Imigrasi sedang dalam proses untuk melakukan pembahasan lebih lanjut terkait hal ini bersama Pemprov Bali dan stakeholders terkait agar kebijakan yang dihasilkan sesuai dengan permasalahan yang ada," pungkasnya.


Tidak ada komentar

Posting Komentar

Don't Miss
© all rights reserved 2023
Created by Mas Binde