KETIKA krisis sosial melanda Indonesia, civil society menjadi tema perbincangan yang banyak diminati berbagai kalangan, dari akademisi, agamawan dan negarawan. Nurcholis Madjid, AS Hikam, Akbar Tanjung, BJ Habibie adalah diantara sekian tokoh yang pernah membincangkan teori civil society.
Diskursus ini menjadi semarak terutama setelah jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998. Meski laris, tidak banyak yang tahu akar dan konsep civil society yang sebenarnya.
Masyarakat sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris ’civil society’ yang mengambil dari bahasa Latin ’civilas societas’. Konsep civil society ini lahir pada abad ke-17 sezaman dengan lahirnya Liberalisme politik dan agama di Eropa.
Oleh karena itu, civil society ini tidak bisa terlepas dari pergolakan ideologi Barat pada era renaissance (zaman pencerahan Eropa) – yang menggagas kebebasan berideologi.
Adam Ferguson, sosiolog abad pertengahan, menggagas sebuah konsep civil society – yang diharapkan menjadi impian masyarakat Barat. Gagasan ini, waktu itu dihadap-hadapkan dengan ide konsep masyarakat model Marxisme yang dianggap gagal.
Ide Ferguson ini kemudian dipopulerkan dan dikembangkan oleh John Lock dan J J. Reusseu. Ide civil society tumbuh dan berkembang pada era renaissance ketika timbul gerakan melepaskan diri dari dominasi agamawan dan para raja yang berkuasa atas dasar legitimasi agama.
Abad pencerahan adalah kebangkitan Eropa, liberalisme dan sekulerisme menjadi isme yang menentukan masa depan Barat.
Liberalisme dan sekularisme menuntut suatu masyarakat yang toleran, mengakui kemajemukan budaya dan bebas menjalankan kehidupan tanpa kekangan gereja yang otoriter.
Seiring meletusnya Revolusi Prancis pada tahun 1789 tumbuh sistem pemerintahan demokratik dan ekonomi kapitalistik – menggantikan sistem monarki yang didominasi agamawan dan gereja – lahirlah ide masyarakat demokratis, bebas, pluralistik, dan toleran.
Sistem sosial ini dikenal dengan civil society. Tokoh-tokohnya antara lain Adam Seligman, Tocquiville, Thomas Paine, Adam Ferguson, John Locke, dan J J. Rousseau. Dapat disimpulkan, konsep civil society tidak dapat dilepaskan dari kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti demokrasi, liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, sekularisme dan individualisme.
Di Indonesia, istilah civil society oleh Nurcholis Madjid dipadankan dengan istilah masyarakat madani. Meskipun mirip, namun keduanya secara prinsipil memiliki perbedaan.
Civil society berakar dari Barat sedangkan masyarakat madani adalah hasil pemikiran yang mengaca pada piagam madinah, yang dibangun di atas prinsip-prinsip Islam. Civil society dibentuk dengan ideologi demokratis.
Meski menggunakan istilah masyarakat madani, Cak Nur rupanya secara konsepsi meniru civil society yang lahir di Barat. Sehingga, masyarakat madani yang dimaksud Nurcholis sebenarnya adalah civil society itu sendiri.
Menurut Nurcholis Madjid masyarakat madani sebagai masyarakat yang berkeadaban memiliki ciri-ciri, antara lain egalitarianisme, menghargai prestasi, keterbukaan, penegakan hukum dan keadilan, toleransi dan pluralisme, serta musyawarah.
Nilai-niali pluralisme ditegakkan dalam konsep masyarakat sipil, dan tentunya truth claim agama mesti diennyahkan karena dianggap akan menghalangi tegaknya demokratisasi dan toleransi beragama. Dengan demikian Cak Nur merekonstruksi konsep masyarakat madani, yang bersenyawa konsep civil society.
Untuk membangun masyarakat sipil tersebut, Syamsul Arifin dalam bukunya Merambah Jalan Baru dalam Beragama menukil pendapat Chandoke bahwa ada empat kriteria yang harus dipenuhi; Pertama, nilai-nilai masyarakat madani, kedua, institusi masyarakat madani, ketiga, perlindungan terhadap masyarakat, keempat, warga masyarakat madani.
Akan tetapi, Syamsul menaruh perhatian yang lebih pada poin pertama sebagai faktor terpenting untuk membangun civil society.
Nilai-nilai masyarakat madani yang dimaksud adalah etika pluralisme. Dengan etika pluralisme pengakuan terhadap kemajemukan terbentuk dan terpola dalam masyarakat.
Menurut Nurcholis, kesadaran tersebut bukan sekedar pengakuan yang bersifat pasif terhadap kemajemukan, akan tetapi juga pengakuan secara kreatif dengan menyesuaikan diri dengan kehidupan yang demokratis dan pluralis.
Dari sini tampak sekali, konsep masyarakat sipil yang akan dibangun adalah mengandung nilai-nilai pluralisme dan sekulerisme. Jika itu yang dikehendaki, maka agama bukan lagi memiliki otoritas penuh.
Sebaliknya, niliai-nilai religius disesuaikan dengan kesepakan sosial dan kondisi kemajemukan masyarakat. Itulah sebabnya barangkali aktivis JIL seperti Zuhari Misrawi yang menulis buku Al-Qur’an Kitab Toleransi dan Moqsith Gozali dengan bukunya Argumen Pluralisme Agama, mendekonstruksi ayat-ayat al-Qur’an dalam rangka membentuk masyarakat sipil dengan nafas pluralisme.
Agama, bagi Islam Liberal akan tetapi ditafsir ulang dan didistorsi agar sesuai dengan etika pluralisme atau nilai-nilai agama diletakkan dalam ruang privat yang sempit.
Sebab, jika agama diberikan otoritas penuh dengan kecenderungan tafsir literal, maka bagi mereka, agama menjadi bencana – seperti yang pernah dikatakan Charles Kimballs dalam buku Is Religion Killing Us? : “Agama telah menampilkan gambaran perilaku destruktif”.
Pandangan-pandangan Kimballs tersebut sepertinya telah masuk inspirasi para pengusung Islam Liberal. Hal itu misalnya dikatakan Sumanto Al-Qurtuby dalam buku Lubang Hitang Agama bahwa agama juga bisa menjadi inspirator lahirnya konflik sosial di masyarakat. “Agama melalui teks-teks keagamaan secara eksplisit menanamkan nilai-nilai eksklusifisme, fanatisme, keunggulan doktrin, truth claim dan semangan nasionalisme religius (misalnya dengan ajaran jihad). Sumanto dalam hal ini bersikap begitu curiga terhadap agama.
Kecurigaan terhadap agama atau skeptisisme sebagaimana dinyatakan Kimballs dan Sumanto hakikatnya adalah semangat yang dibangun dalam etika pluralisme agama. Salah satu nilai pluralisme adalah tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. Sederhananya, pandangan yang mencurigai kebenaran. Seseorang yang berteriak kebenaran (al-haq) patut dicurigai, sebab manusia adalah makhluk relatif, yang absolut hanyalah Tuhan. Maka, manusia tidak sepatutnya menjadi ‘wakil Tuhan’ untuk meneriakkan kebenaran.
Pandangan-pandangan seperti tersebut di atas, adalah ide-ide yang seirama dengan etika yang hendak dibangun oleh Nurcholis Madjid dalam konsep masyarakat sipil. Dengan relativis dan pluralis, masyarakat akan semakin mudah memahami dan menerima konsep civil society ala Cak Nur.
Kesimpulannya, untuk membangun masyarakat sipil atau civil society, ajaran agama yang tidak ‘mendukung etika toleransi’ mesti dimarginalkan atau ditafsir ulang sebagaimana dilakukan oleh Moqsith dan Misrawi dalam bukunya, agar sesuai dengan semangat ‘toleransi’ dan pluralisme dalam koridor negara yang demokratis.*
Nilai-niali pluralisme ditegakkan dalam konsep masyarakat sipil (civil society), dan truth claim agama mesti dienyahkan karena akan menghalangi tegaknya demokratisasi dan toleransi beragama
Oleh: Kholili Hasib
Alumni Program Kaderisasi Ulama (PKU) dan UNIDA – GONTOR
Tidak ada komentar
Posting Komentar