Responsive Ad Slot

Latest

Relationship

Tapa Bisu Mubeng Beteng : Dari Penyakit Mematikan Sampai Politik

Rabu, 07 Juni 2023

/ by Jogjanesia
Tapa Bisu Mubeng Beteng merupakan bagian dari upacara malam satu suro yang tiap tahun dilakukan warga. Berpusat di Kraton Jogja, warga bersama paguyuban dan abdi dalem berkeliling benteng Kraton. Ketika mengelilingi Benteng Kraton, mereka tidak diperbolehkan mengeluarkan suara selain jejak langkah. Upacara ini digelar untuk memeringati pergantian tahun kalender jawa dan islam. Satu suro dalam kalender Jawa dan 1 Muharram dalam islam.

Dari sejumlah catatan sejarah adanya penggabungan ini dilakukan ketika masa Sultan Agung (1613-1645). Saat itu sebagian rakyat Jawa masih mengikuti sistem penanggalan Tahun Saka yang diwarisi dari kebudayaan Hindu. Sementara itu sebagian lagi mengikuti Sultan Agung menggunakan sistem kalender Hijriah. Untuk menghegemoni rakyat Jawa masih kental dengan kebudayaan Hindu menuju islam, kemudian Sultan Agung menggabungkannya dengan menetapkan 1 Muharram sebagai tahun baru Jawa.


Sedangkan untuk tradisi lelaku malam satu suro yang jadi bagian dari peringatan 1 Muharram di tanah Jawa terlacak sejak awal abad ke-20, tepatnya pada 1919. Catatan sejarah ini sendiri diceritakan dalam tulisan berjudul Ngibarake Pusaka Dwaja Kanjeng Kiai Tunggul Wulung di Majalah Mekar Sari, Juni 1967.
Diceritakan bahwa pada 1919 banyak warga yang terserang penyakit influenza.

Kala itu influenza menjadi penyakit yang menakutkan bagi warga. Rakyat lalu meminta Kraton untuk menggelar upacara (Mubeng Beteng) sebagai langkah untuk mengusir wabah flu di Jogjakarta dengan mengarak bendera pusaka Kraton, Kanjeng Kyai Tunggul Wulung. Bendera pusaka ini sendiri dipercaya mampu menyembuhkan semua penyakit karena konon merupakan bagian dari bungkus Ka’Bah di Makkah yang dibawa Iman Sa’fi atas perintah Sultan Hamengkubuwono I. Bendera pusakan Kanjeng Kyai Tunggul Wulung berbentuk segi empat dengan latar hitam keunguan bergaris tepi kuning. Di tengah-tengah bendera terdapat gambar seperti burung elang bertuliskan rajah dengan huruf Arab.

Permintaan yang sama terulang pada 1932, 1946, dan 1951. Kala itu giliran wabah pes yang menyerang Jogjakarta.Rakyat kembali meminta Kraton menggelar kirab mengelilingi benteng dengan membawa bendera pusaka. Selanjutnya paska 1950an, Mubeng Beteng dilakukan delapan tahun sekali hingga akhirnya diperingati tiap tahun di masa Orba (Orde Baru).

Mubeng Beteng dalam Kuasa Orba

Orba merupakan rezim yang teliti menangkap momen untuk melakukan pelupaan sekaligus pencitraan. Salah satu yang ditangkap Orba, merujuk pada penjelasan John Pamberton dalam On The Subject of Java adalah momen upacara (kebudayaan), dalam hal ini tradisi dan ritual yang bagi orang Jawa punya makna spiritual yang tinggi.  Ini dimulai ketika masyarakat Bali menemukan tulang tanpa kepala di bibir Patai Perancak, bekas pembantaian terduga dan orang-orang PKI.

Mengetahui hal itu–mengingat Orba rezim yang sensitif dan traumatis–pejabat Orba ketakutan bakal ada ribut-ribut dan orang-orang yang menguak soal pembantaian terduga PKI. Segera pihak Orba mengadakan upacara Nyapuhan, dengan membakar semua tulang-tulang itu berdalih pembersihan musibah yang datang dari Kala.

Setelah itu pihak Orba mendengungkan perlu dikembangkannya lelaku spiritual di masyarakat. Titah itu pun dilaksanakan oleh para pejabat dengan memasiffkan banyak upacara tradisi yang tentu saja dengan syarat yang dibuat Orba: keteraturan. Mubeng Beteng salah satunya, karena sejak digelar awal abad ke-20, tradisi ini bermakna tentang keselamatan, keteraturan, dan kenyamanan.

Tidak ada komentar

Posting Komentar

Don't Miss
© all rights reserved 2023
Created by Mas Binde