Tingkat kesuburan Jepang turun ke rekor terendah 1,26 pada tahun 2022, menurun selama tujuh tahun berturut-turut. Tingkat kelahiran yang rendah di Jepang menyebabkan negara ini mengalami fenomena resesi seks.
Menurut data yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan, rata-rata jumlah anak yang lahir per perempuan selama hidupnya adalah 1,26 tahun lalu, turun 0,05 poin dari angka terakhir untuk tahun 2021 dan sebanding dengan rekor terendah yang tercatat pada tahun 2005.
Berdasarkan wilayah, Tokyo memiliki tingkat kesuburan terendah di 1,04, diikuti oleh Miyagi (1,09) dan Hokkaido (1,12), sedangkan Okinawa melaporkan tingkat kesuburan tertinggi di 1,70, diikuti oleh 1,63 di Miyazaki dan 1,6 di Tottori.
Jumlah bayi yang lahir pada tahun 2022 juga mencapai rekor terendah yaitu 770.747 bayi, turun 40.875 dari tahun sebelumnya, menandai pertama kalinya angka tersebut turun di bawah 800.000.
Statistik terbaru terungkap sehari setelah Perdana Menteri Fumio Kishida merilis rancangan rencana untuk meningkatkan dukungan pengasuhan anak dalam upaya membalikkan angka kelahiran yang menurun di negara itu, termasuk rencana untuk mulai menawarkan tunjangan anak kepada semua rumah tangga dengan anak-anak, tanpa memandang pendapatan, dari fiskal 2024.
Malas Menikah
Populasi Jepang telah menyusut sejak 2010, dengan penurunan yang semakin cepat dalam beberapa tahun terakhir. Memecahkan rekornya sendiri setiap tahun selama 10 tahun terakhir, negara ini mengalami rekor kehilangan populasi sebanyak 644.000 pada tahun 2020–2021.
Populasi Jepang diproyeksikan menyusut hingga pertengahan abad ini, turun menjadi sekitar 88 juta pada tahun 2065 — penurunan 30% dalam 45 tahun. Penyusutan populasi yang cepat di Jepang terutama disebabkan oleh tingkat kesuburan yang rendah.
Tingkat kesuburan Jepang telah menurun sejak pertengahan tahun 1970-an, mencapai tingkat kesuburan total (TFR) sekitar 1,3 anak per wanita pada awal tahun 2000-an. TFR Jepang mencapai titik terendah 1,26 pada tahun 2005, tetapi ada pemulihan sederhana ke TFR sekitar 1,4 pada tahun 2010-an.
Ada sedikit jumlah anak di luar pernikahan di Jepang. Melahirkan di luar pernikahan merupakan sekitar 2% dari semua kelahiran sejak tahun 1950-an.
Noriko Tsuya Profesor Kehormatan di Universitas Keio menulis di Asiatimes dengan judul “Mengapa Orang Jepang Tidak Ingin Punya Anak” menjelaskan penurunan tingkat kesuburan Jepang terutama disebabkan oleh lebih sedikit wanita muda yang menikah. Proporsi wanita belum menikah pada usia reproduksi puncak 25‒34 stabil hingga pertengahan 1970-an, proporsi wanita lajang berusia 25–29 melonjak dari 21% pada tahun 1975 menjadi 66% pada tahun 2020.
Proporsi yang sesuai wanita berusia 30–34 melihat lompatan yang lebih dramatis dari 8% menjadi 39%. “Wanita muda Jepang semakin enggan untuk menikah dan memiliki anak sebagian karena peningkatan pesat dari peluang ekonomi mereka,” tulisnya.
“Partisipasi perempuan dalam gelar sarjana empat tahun mulai meningkat pesat pada akhir 1980-an dan mencapai 51% pada tahun 2020,” tambah dia.
Menurut dia, tingkat pekerjaan perempuan muda juga meningkat secara signifikan. Tingkat partisipasi tenaga kerja wanita usia 25–29 hampir dua kali lipat dari 45% pada tahun 1970 menjadi 87% pada tahun 2020.
Menurut laman Jepang Courrier.jp, hingga pertengahan 1990-an, hanya 1 dari 20 wanita Jepang yang belum pernah menikah sebelum usia 50 tahun, menurut data sensus.
Menurunnya angka pernikahan di Jepang juga disebabkan oleh masih adanya peran gender rumah tangga tradisional, yang membebani perempuan untuk mengelola pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Kontribusi laki-laki Jepang untuk pekerjaan rumah tangga masih sangat rendah dan ketidakseimbangan gender dalam pekerjaan rumah tangga masih terlihat jelas.
Bertahannya peran gender yang tidak setara di rumah dalam menghadapi perluasan peluang ekonomi bagi perempuan telah membuat keseimbangan pekerjaan dan kehidupan keluarga menjadi sangat sulit bagi perempuan yang sudah menikah — mengurangi daya tarik pernikahan.
Menfasilitasi Jomblo
Sudah banyak usaha dilakukan pemerintah Jepang untuk mendogkrak populasi. Bulan Januari 2023 lalu misalnya, Pemerintah Jepang sudah mencoba berbagai upaya agar populasi terjaga, salah satunya dengan menyelenggarakan acara perjodohan bagi para jomblo.
Sekitar 400 jomblo akan berkumpul di kota Nagakute, dalam salah satu event perjodohan terbesar yang digelar di Negeri Sakura. Pemerintah prefektur Aichi menjadi penyelenggara kegiatan tersebut.
Menurut survei di area itu pada tahun 2018, sekitar 80% orang sebenarnya ingin menikah pada suatu saat nanti. Akan tetapi sekitar 40% tetap single karena mereka kesulitan dalam menemukan jodohnya. Mengantisipasi fenomena ini, pemerintah setempat pun bertindak.
Event perjodohan massal itu akan diselenggarakan secara gratis. Mereka yang single berumur antara 20 sampai 30-an tahun yang tinggal di Aichi bisa mengikutinya.
Mereka yang hadir awalnya akan disuguhi video pembelajaran, yang menayangkan misalnya bagaimana berbincang yang baik dengan lawan jenis. Kemudian mereka akan dipisahkan ke grup kecil dan diharapkan menemukan jodoh idaman.
Untuk event ini, pemerintah Aichi sudah menyiapkan anggaran sekitar Rp 800 juta. “Dengan penurunan angka kelahiran, kami ingin membantu agar orang-orang memikirkan tentang pernikahan,” kata mereka. Orang-orang pun diminta datang karena acaranya menarik dan juga gratis.*
Tidak ada komentar
Posting Komentar