Responsive Ad Slot

Latest

Relationship

Apa Manfaat Wisuda TK sampai SMA, Antara 'Momen Paling Berkesan Hingga 'Biaya Mahal' ?

Kamis, 06 Juli 2023

/ by Jogjanesia



- Ada kisah orang tua yang mengeluh biaya wisuda yang mahal, sehingga melahirkan polemik tentang manfaat dan tujuannya. Tapi mengapa sebagian orang tua siswa justru mendukungnya?

Yuli Saputra, memandang dengan mata berbinar-binar saat melihat anak laki-lakinya naik ke atas panggung saat namanya dipanggil kepala sekolah.

Di panggung, Khalif Alvaro, 13, dikalungi medali dan tali topinya dipindahkan dari kiri ke kanan. Upacara itu menandakan bahwa Khalif telah lulus dari jenjang SD dan akan melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMP.

Untuk bisa melihat anaknya berdiri di atas panggung itu, Yuli rela membayar ongkos Rp600.000 yang sudah termasuk atribut lengkap wisuda dan menyewa aula hotel.

“Biaya itu sudah termasuk sewa tempat di hotel, makanan seperti snackbox. Ada pula kenang-kenangan untuk guru, terus kenang-kenangan buat si anak sendiri,” jelas Yuli yang menyekolahkan anaknya di sebuah sekolah dasar swasta di Bandung, Jawa Barat.

Ia mengatakan bahwa seluruh prosesi wisuda itu diatur oleh komite yang terdiri dari para orang tua murid yang melakukan musyawarah mufakat guna menentukan seperti apa acara wisuda yang akan digelar untuk anak-anak mereka.

“Kemarin sebetulnya biayanya lebih besar dari itu [Rp600.000]. Kemudian setelah dimusyawarahkan dengan semua orang tua, akhirnya tercapailah angka itu,” kata Yuli.

Awalnya, ia sendiri dan beberapa orang tua kurang setuju dengan biaya wisuda senilai Rp600.000. Namun setelah mempertimbangkan, ia tergerak oleh keinginan untuk memberikan anaknya kenang-kenangan yang tak terlupakan.

“Memang sebetulnya tujuan dari acara ini untuk merayakan keberhasilan anak-anak selama enam tahun. Mereka bekerja keras belajar, sampai kemudian ada hasilnya dan sekarang mereka lulus.

“Terus [acara ini adalah kesempatan] mereka berkumpul untuk terakhir kalinya dan sebagai [kesempatan] untuk berterima kasih kepada guru-guru,” ungkapnya.

Ia mengatakan bahwa pada acara itu, anak-anak terlihat cukup gembira dan puas dengan upacara yang disusun oleh para orang tua. Ia pun, sebagai orang tua, ikut bangga melihat anaknya bahagia.

Menurut dia, acara wisuda di sekolah - baik di TK, SD, SMP, maupun SMA - sudah lumrah dilakukan. Acara tersebut tak hanya untuk merayakan kelulusan, tetapi sebagai bentuk ungkapan rasa syukur atas pencapaian anak.

”Itu kan sebetulnya biasa ya, sudah dilakukan waktu anak saya yang pertama TK kemudian SD. Jadi dari TK ke SD itu pakai toga.”

Harus meminjam uang dari kerabat untuk bayar wisuda anak

Muhamad Kotim, 46, yang anaknya bersekolah di SD Negeri di Bojonegoro, Jawa Timur, mengaku cukup kaget saat menerima surat dari sekolah anaknya yang meminta agar ia membayar Rp600.000 untuk acara wisuda SD.

Awalnya dia hanya sanggup membayar Rp200.000. Sisanya dia pinjam dari beberapa kerabat.

“Kaget aja gitu. Berpengaruh ke orang-orang kayak kita. Biaya segitu mahal,” tegas Kotim.

Kotim menyebut Rp600.000 itu sudah mencakup, makanan, biaya sewa hotel mewah, dan juga pakaian wisuda untuk anaknya.

“Buat apa uang sebanyak itu dipakai buat acara gitu aja? Mending untuk keperluan lainnya. Seperti untuk mencari SMP,” ujar pria berusia 46 tahun itu.

Oleh karena itu, ia mengatakan dirinya setuju dengan orang-orang yang berkomentar di media sosial mengenai betapa memberatkannya acara wisuda bagi orang tua dari segi ekonomi.

Sebab, ia sendiri selama TK hingga lulus SMA tidak pernah menghadiri yang disebut dengan wisuda atau acara perpisahan semacam itu.

Menurut Kotim, wisuda hanya perlu diadakan saat anak lulus perguruan tinggi saja, sedangkan untuk jenjang-jenjang di bawahnya tidak perlu digelar.

“Sangat tidak perlu acara seperti itu. Mereka lulus, ya lulus saja. Tidak perlu acara-acara macam itu,” katanya.

Momen paling berkesan

Jaka (kanan) membawa bendera merah putih dalam proses wisuda SMK-nya


Jaka Bintara, 24, masih mengingat betul perasaannya saat memegang bendera merah putih saat prosesi wisuda SMK-nya. 
Ia menggenggam kain bendera itu dengan erat sambil meneteskan air mata, mengingat memori-memori berkesan yang ia lalui selama tiga tahun duduk di bangku SMK.

“Sudah tiga tahun bersama-sama. Mungkin pernah kesal, pernah marah. Ada bahagianya juga. Dan itu semua campur aduk, rasanya senang dan bahagia,” ujar Jaka.

Wisuda itu ternyata merupakan wisuda terakhir yang dialami Jaka. Setelah lulus, ia memutuskan untuk langsung terjun ke dunia kerja karena tabungan orang tuanya belum mencukupi untuk membiayai perkuliahannya.

“Nggak semua orang bisa untuk masuk ke jenjang kuliah. Jadi, mending [wisuda] jangan dipaksa untuk dihilangkan,“ ungkapnya.

Jaka sendiri menceritakan pengalamannya melalui wisuda di semua jenjang pendidikan selama hidupnya, mulai dari TK hingga SMK.

“Kalau TK pakai toga, ada orang tua, dan di sekolah acaranya. Namanya juga TK, seru-seruan aja. Mungkin biar senang-senang dan kebanyakan fotonya ya.“

Saat ia duduk di kelas tiga SD, Jaka mengatakan bahwa ia memiliki guru bahasa Indonesia yang berbaik hati dan mewanti-wanti orang tuanya untuk mulai menabung untuk wisuda.

“Guru bilang ke ibu kalau akan ada wisuda di kelas enam. Ibu diminta menabung Rp50.000 untuk satu bulan dan itu terkumpul. Jadi nggak memberatkan orang tua dan aku juga,“ ujar Jaka.

Ia menyebut acara wisuda SMK sebagai wisuda yang paling berkesan baginya. Karena wisuda tersebut merupakan wisuda terakhir yang ia rasakan sebelum memasuki dunia kerja.

Jaka sendiri selalu pindah sekolah setelah menamatkan suatu jenjang pendidikan, baik itu TK, SD, SMP, maupun SMA. Sehingga, ia harus benar-benar berpisah dengan teman-temannya saat menghadiri acara perpisahan itu.

Walaupun ia paham bahwa ongkos wisuda yang mahal cukup memberatkan bagi orang tua, ia tetap merasa bahwa upacara perpisahan masih memiliki makna penting yang tidak perlu dihilangkan total.

“Kalau dihilangkan rasanya jangan. Soalnya wisuda itu lumayan berkesan bagi siswa-siswa. Mungkin bagi guru-gurunya juga lumayan berkesan di setiap angkatan punya guru yang beda-beda atau ketemu teman-teman yang beda.“

Pengamat: Ajang flexing dan konten media sosial

Ubaid Matraji, seorang pengamat pendidikan sekaligus koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), menilai bahwa acara wisuda di tingkat sekolah tidak memiliki manfaat dan hanya bersifat memberatkan orang tua.

“Orang tua saat anaknya di akhir tahun harus cari sekolah anaknya untuk ke jenjang selanjutnya. Itu butuh persiapan uang untuk daftar ulang, untuk bayar bangunan, untuk SPP awal dan seterusnya,“ kata Ubaid kepada BBC Indonesia.

Menurut Ubaid, kini semakin banyak sekolah yang menggelar upacara wisuda hanya sebagai ajang untuk berlomba-lomba menunjukkan citra baik sekolah lewat menggelar acara mewah yang menampilkan prestasi murid.

“ Wisuda ini juga bisa disebut sebagai ajang flexing di sekolah-sekolah itu. Kalau acara pas wisuda atau seragam saat wisuda biasa-biasa saja, itu bisa di-bully sama sekolah-sekolah lain.

“Karena trennya begitu, sekolah ikut-ikutan tanpa melihat kemampuan orang tua, apakah punya sumber daya untuk melakukan itu,“ katanya.

Dia juga menyaksikan bahwa dalam lima tahun terakhir banyak orang tua yang menggunakan kelulusan anak sebagai kesempatan untuk menggelar acara mewah untuk membanggakan sekolah anaknya. Padahal, sambungnya, sekolah yang mahal dan mampu menggelar acara mewah belum tentu menjamin kualitas pendidikan.

“Sekolah itu kan brandingnya ada dua. Satu soal prestasi. Sekolah bagus itu ya prestasinya bagus. Tapi ada juga, dalam tanda kutip, orang menggunakan branding sekolah bagus itu yang mewah,” jelasnya.

Senada dengan Ubaid, pengamat sosial Devie Rahmawati mengatakan bahwa perkembangan teknologi di era media sosial ini telah mengubah pola asuh orang tua.

”Sekarang itu era yang disebut dengan teknologi telah melahirkan wujud ekonomi baru yaitu yang namanya attention economy. Semua orang berusaha menarik perhatian.

”Dalam pengembangan anak, fokus orang tua bukan lagi menjadikan anaknya berkepribadian dan sebagainya, tapi bagaimana dirinya dan anaknya bisa menjadi perhatian,” ujar Devie.

Dalam hal ini, ia menyebut wisuda hanya merupakan satu dari berbagai wujud orang tua ingin menampilkan prestasi anaknya dan mendapatkan kebanggaan tersendiri dari mengunggah foto-foto wisuda itu pada media sosial.

”Banyak sekali orang-orang tua yang bahkan rela gitu ya. Demi kemudian disebut sebagai orang tua modern, demi kemudian anaknya kelihatan keren, beliin anaknya banyak hal yang belum tentu bermanfaat,” katanya.

Di sisi lain, Devie mengatakan media sosial juga menjadi medium yang digunakan para orang tua yang selama ini sudah tidak setuju dengan prosesi wisuda dengan biaya mahal untuk menyuarakan aspirasi mereka kepada pemerintah.

”Zaman sekarang kita punya saluran untuk protes. Zaman dulu mau protes sama siapa? Anda pikir dari dulu enggak ada orang yang enggak suka? Banyak juga yang sebenarnya bingung. "Ini emang harus banget ya kayak begini?,” kata Devie.

Asal-usul wisuda: Tradisi budaya Barat yang menjadi bagian kultur sekolah Indonesia

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, menyebut prosesi wisuda awalnya merupakan tradisi yang menurun dari budaya Barat.

”Tradisi wisuda itu awalnya ada di Eropa. Ketika [tradisi itu] berada di Amerika, akhirnya menyebar ke seluruh dunia. Kalau di Amerika [wisuda] dari mulai TK sampai kuliah,” ujarnya. Ia mengatakan upacara kelulusan itu memiliki kaitan erat dengan nilai-nilai individualisme yang sangat menghargai capaian individu.

” Jadi, praktik wisuda itu adalah nilai-nilai Amerika yang ingin mendidik anak-anak mereka untuk bangga dengan capaian pribadi mereka, bahkan sejak masih anak TK sekalipun,“ ungkap Devie.

Hanya saja, ia mengatakan nilai-nilai tersebut sebetulnya kurang sesuai dengan masyarakat Indonesia yang cenderung lebih mengedepankan nilai-nilai komunal daripada individual.

”Nggak semua orang punya uang dan akhirnya ada yang tersisih. Kalau pun akhirnya sampai ikut, lebih karena nggak enak dan takut malu anaknya. Ini kan sudah meninggalkan tradisi kita,” jelas Devie.

Oleh karena itu, menurut Devie perlu ada penyesuaian tradisi wisuda agar lebih mencerminkan nilai-nilai masyarakat Indonesia seperti gotong royong yang memberi dampak sosial.

”Jadi graduation punya manfaat. Bukan kemudian sekedar penghargaan dan kemudian memanjakan diri dan sebagainya, tapi lebih kepada aspek budaya, kultural dan sosial kita juga terangkat lewat graduation ala Indonesia.”

Keberadaan tradisi wisuda juga dirasakan oleh Jaka, yang mengatakan bahwa terbentuk suatu ‘kultur wisuda’ di hampir semua sekolah tempat dia mengenyam pendidikan.

”Kalau setiap angkatan ada wisuda, nggak mungkin setiap angkatan ini membantah dan bilang nggak usah ada wisuda.

“Jadi sudah ada kulturnya dari dulu. Angkatan berikutnya itu pasti ikut semua,” katanya.

Beda sekolah, beda kebijakan

Novy Suharayati, seorang guru kelas satu yang mewakili Kepala Sekolah SD Negeri Kenari 07, Jakarta, mengatakan bahwa selama 10 tahun terakhir, sekolah itu belum pernah menggelar acara wisuda bagi murid-muridnya.

Sekolah itu menggunakan pranala Google Akses sehingga para orang tua dapat membukanya dan mencari tahu apakah anak mereka lulus atau tidak.

”Kami hanya diperbolehkan memberikan status kelulusan itu secara online. Jadi memang kami tidak mengadakan acara wisuda,” ungkap Novy.

Ia mengatakan bahwa sebelumnya mereka pernah menggelar acara pentas seni dan juga pemberian medali bagi siswa-siswa. Namun, kebijakan terbaru sekitar 10 tahun yang lalu tidak lagi memperbolehkan acara selebrasi untuk kelulusan peserta didik. Hal tersebut, sambungnya, disayangkan oleh beberapa orang tua.

”Sebenarnya orang tua murid itu ingin sekali. Kenapa? Karena kan ini [acara] enam tahun sekali. Jujur mereka ingin, tapi kan kita terbentuk dari surat dinas.

”Edaran itu yang tidak memperbolehkan selebrasi dengan bentuk terlalu wah, terlalu mewah,” kata Novy.

Kondisi ini berbeda dengan sekolah swasta Yasporbi, yang menggelar acara wisuda untuk siswa-siswanya mulai dari jenjang TK hingga SMA setiap tahun di Ardhya Garini, Halim Perdanakusuma, Jakarta. Pada upacara pelepasan tersebut, para siswa-siswa datang mengenakan kebaya atau jas. Kemudian nama mereka dipanggil satu-satu ke panggung untuk menerima map dan medali. Wajah mereka akan muncul di layar LED.

”Sebetulnya kegiatan wisuda yang dimulai sudah sejak 2012 itu adalah bagian dari ajang silaturahmi.

”Mungkin pada saat wisuda, kegiatan itu kurang berkesan. Tapi sekian tahun kemudian pastinya itu akan jadi kenangan yang tidak akan pernah terlupakan untuk mereka,” kata Senior Advisor Manajemen Yayasan Yasporbi, Maman Darusman.

Ia menjelaskan bahwa acara tersebut merupakan selebrasi yang positif bagi para murid. Karena selain merayakan kelulusan, acara tersebut juga menampilkan prestasi murid-murid dan juga kreasi mereka lewat pentas seni.

Untuk menghadiri acara tersebut, peserta wisuda dan orang tua mereka harus membayar biaya wisuda dengan kisaran Rp700.000 yang sudah mencakup segala perlengkapan wisuda dan sewa gedung. Tetapi, Maman menekankan wisuda tersebut tidak bersifat wajib bagi siswa maupun orang tua. Ada pula subsidi yang diberikan oleh yayasan dalam menutup biaya tersebut.

”Siapa saja yang berkeinginan untuk mengikuti wisuda, monggo. Tidak pun, tidak ada masalah. Karena ini bukan kewajiban. Misalkan setelah pengeluarannya ada kekurangan, maka yayasan yang akan memberikan subsidi,” ujar Maman.

Selama ini, Maman mengeklaim bahwa relatif tidak ada orang tua yang mempermasalahkan biaya wisuda tersebut. Lebih lanjut, ia mengatakan jika ada siswa yang memiliki hambatan secara finansial, unit sekolah dapat membantu mereka mencari jalan lain.

”Kepala sekolahnya pasti akan membicarakan untuk anak yang ingin sekali [tapi] kemudian tidak ada biaya. Karena kita juga mengajarkan nilai-nilai akhlak sosial.

”Sebetulnya banyak sekali hal-hal yang bisa diambil dari kegiatan wisuda tersebut. Mungkin negatifnya asal jangan jadi wajib,” pungkas Maman.

Kemendikbud: Wisuda untuk TK sampai SMA tidak wajib

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menegaskan bahwa kegiatan wisuda tidak bersifat wajib dalam kelulusan peserta didik.

Hal tersebut disampaikan melalui Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Nomor 14 Tahun 2023. Isi surat edaran tersebut berisi bahwa kegiatan wisuda sekolah bukan merupakan kegiatan yang wajib dilakukan dan tidak boleh menjadi sebuah kewajiban yang memberatkan orang tua maupun wali murid.

“Kemendikbudristek menegaskan bahwa wisuda sekolah bukan kewajiban dan tidak boleh memberatkan orang tua murid," ujar Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek, Suharti, pada Jumat (23/06) dalam keterangan resmi yang diterima oleh BBC Indonesia.

Kemendikbudristek juga mengingatkan pihak sekolah melakukan diskusi atau musyawarah dengan orang tua murid sebelum menggelar acara, sebagaimana diamanatkan dalam Permendikbud Nomor 75 tahun 2016 tentang Komite Sekolah.

Selain itu, Kemendikbudristek meminta kepala dinas pendidikan baik provinsi maupun kabupaten/kota untuk melakukan pembinaan kepada seluruh satuan pendidikan di wilayahnya masing-masing untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan kualitas layanan kepada peserta didik.

“Yang harus dilihat adalah esensi dari kegiatan wisuda. Apakah wisuda itu bekal untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi atau hanya sebagai budaya,” tambah Suharti

Pengamat pendidikan Ubaid Matraji, menilai keputusan Kemendikbudristek untuk membuat wisuda sebagai hal yang opsional masih kurang tegas dalam menanggapi polemik wisuda.

“Edaran itu harus tegas, melarang wisuda. Karena edaran ini kan memperbolehkan tapi tidak mewajibkan,“ kata Ubaid.

Ia merasa tidak akan ada banyak yang berubah semenjak surat edaran itu diterbitkan. Sebab, menurut Ubaid, tradisi wisuda akan selalu ada di semua jenjang sampai benar-benar dilarang.

“Padahal tujuan dari pendidikan di sekolah kan bukan soal itu [wisuda]. Itu kan cuma hanya pelengkap yang bukan sesuatu yang menjadi tujuan awal,“ ujarnya.

Sementara Jaka Bintara, yang masih menabung untuk memasuki jenjang kuliah suatu saat nanti, merasa keputusan Kemendikbudristek cukup adil.

Karena jika wisuda diwajibkan, maka hal tersebut akan menjadi beban bagi orang tua. Sementara jika dilarang, yang kehilangan justru para murid yang menginginkan acara perpisahan.

“Ada esensinya di dalamnya. Nggak cuma acara kasih medali-medali saja, tapi ada kenangan-kenangan terakhir atau momen-momen yang dulu pernah di sekolah itu terulang atau diceritakan kembali,“ tutup Jaka.


Tidak ada komentar

Posting Komentar

Don't Miss
© all rights reserved 2023
Created by Mas Binde