- Sejak 1985, Covert sudah menetapkan dirinya pada satu hal: Keliling dunia demi mencari keberadaan kuburan selebritis, mulai Marilyn Monroe sampai Amy Winehouse, dan menggosok tulisan pada batu nisannya.
Apa arti sebuah nama? Juliet bisa saja punya pemikiran bahwa sekuntum mawar mungkin berbau harum terlepas dari apa namanya, tetapi di dalam bidang pekerjaan Scott Covert, nama adalah segalanya.
Selama beberapa dekade, seniman asal Amerika Serikat ini telah keliling dunia untuk mengumpulkannya. Frank Sinatra. Marilyn Monroe. Andrew Cunanan. Valerie Solanas. Sammy Davis Jr. Judy Garland. Candy Darling. Shah Iran. Edith Bouvier Beale.
Para pesohor, tokoh-tokoh yang dikultuskan, para pemimpin, atau pembunuh: Covert mengumpulkannya untuk menjadikan nama-nama tersebut memiliki arti, apakah "hal itu" soal bakat, tragedi, atau kekejaman.
Metode akuisisi Covert tidak konvensional dan terasa intim, serta amat menyentuh. Dia menggosok tulisan dari batu nisan mereka. Gosokan tulisan itu menjadi dasar lukisan-lukisan Monuments-nya: karya-karya padat dengan cakupan luas, di mana warna-warna bersaing dengan teks.
Di sejumlah lukisan, nama-nama pesohor itu dicampur aduk, seperti ratusan orang berbagi kanvas yang sama. Di lukisan lain, mereka digambarkan dengan amat jelas, Charlton Heston, Humphrey Bogart dan Groucho Marx, walau jenis hurufnya berbeda, tetapi diletakkan secara berdekatan.
Barangkali butuh waktu bertahun-tahun untuk menyelesaikan sebuah karya, menunggu penempatan nama-nama itu secara tepat.
Penempatan nama-nama itu bisa berdasarkan alasan adanya permusuhan akut (Bette Davis dan Joan Crawford), persekutuan tak terduga (Amy Winehouse dan William Blake) atau perbedaan-perbedaan mengejutkan (dia tengah mengerjakan karya yang menggabungkan pemeran Wizard of Oz dengan para korban pembunuhan Manson, karena "hal itu sangat Los Angeles").
Waktu dan epitaf juga terlihat dan saling terhubung. "Queen of the Pin-Ups." "Actor, Writer and Superstar." "Beloved Mother." "With God, In the Joy of Beauty and Youth." "Everybody Loves Somebody Sometime."
Covert pernah berkata bahwa dia hanya ingin "membuat sesuatu menjadi indah" dengan menciptakan kesan dari kuburan orang-orang terkenal. |
Lukisan-lukisan Covert saat ini dipamerkan di Galeri Studio Voltaire, London.
C'est la Vie adalah pameran tunggal pertamanya di luar Amerika Serikat, tetapi dia sudah melakukan ini selama hampir 40 tahun.
Pada 1985 adalah pertama kali dia menggosok tulisan di batu nisan, saat itu berusia awal 30 tahunan: The Dead Supreme, dibuat untuk menghormati pendiri Supremes, Florence Ballard, yang meninggal pada 1976 ketika baru berusia 32 tahun.
"Saya akan selalu menjadi warga Supremes," jelasnya kepada BBC Culture melalui telepon dari New York.
"Anda tahu, saya membuat lelucon. Saya berteman dengan Theodora Richards, anak perempuan Keith Richards, dan dia bertanya kepadaku, 'siapa yang paling kau suka: Rolling Stones atau The Beatles?' Dan saya menjawab, "Supremes."
Dia tidak terlalu yakin apa yang sebenarnya dia lakukan ketika pertama kali berkunjung ke kuburan Ballard di Detroit Memorial Park Cemetery, tetapi dia mengetahui bahwa dia ingin menggosok tulisan pada nisan.
"Ketika melakukannya, (kanvasnya) tergelincir. Jadi saya ulangi dengan warna yang berbeda. Dan saat itulah lonceng berbunyi."
Setelah itu, dia memperlihatkannya kepada temannya, aktor dan penulis Cookie Mueller, yang kemudian memberikan saran kepada Covert untuk menghentikan usahanya dalam berakting, yaitu ketika dia sudah mencoba fokus pada karir dan pilihan seninya.
Petualangan pemberontakannya
Sejak saat itulah, Covert berkeliling dunia untuk mencari tempat peristirahatan terakhir orang-orang tersohor. Dari Los Angeles sampai Moskow, Mesir sampai Inggris, dia mengejar sosok hebat, baik, yang menyedihkan dan buruk.
Ini merupakan proses sederhana. Dia memilih sebuah nama, atau lebih tepatnya, "kerasukan" oleh salah satunya.
Dia menyiapkan kendaraan atau mengemas kopernya dengan kain kasa, kertas, arang, tongkat minyak, dan cat. Barangkali menyertakan sekian kanvas dengan coretan lukisan yang belum tuntas.
"Saya ingin tahu apa yang akan saya lakukan dengan ini," ujarnya. "Dan kemudian saya melakukan perjalanan."
Perjalanan adalah bentuk penantian yang tertunda. Dia harus pergi ke sana untuk melihat apa yang akan muncul, percakapan seperti apa yang ingin dia ciptakan dengan sosok di bawah nisan yang reputasinya telah melampaui keberadaan jasmaninya.
Namanya sendiri adalah cocok, mengingat kadang-kadang dia harus berbuat licik dalam prosesnya berkarya.
Dia akan bercerita bagaimana dia membuat temannya mengalihkan perhatian satpam di luar makam Elizabeth Taylor atau diusir dari Edgwarebury Cemetery, tempat jasad Amy Winehouse dikuburkan.
"Maksud saya, sekarang saya sudah tua… Tetapi saya memanjat pagar di tengah malam dengan memegang senter," tawanya.
Terlepas dari bertambahnya usia, dia tetap teguh dalam pencariannya. Satu-satunya hal yang akan menghentikannya adalah tidak ada lagi kuburan secara harfiah.
"Banyak orang dikremasi dan disebar," keluhnya. "Hal itu membuat saya kesal."
Ketertarikan Covert dengan kuburan berawal dari masa mudanya.
"Saya tinggal di dekat pemakaman kolonial di New Jersey, dan kami akan pergi ke sana dan membuat gosokan tulisan di sana, Anda tahu, dengan tengkorak dan lainnya.. di kelas empat dan lima," jelasnya.
Baginya hal itu bukan hanya tentang kuburan atau apa yang mereka wakili, tetapi latar belakangnya. Dia menyukai kesendirian. "Saya seorang penyendiri," ujarnya riang.
Saat ini, dia masih bekerja, sebagian besar, sendirian, sebagian besar waktunya dihabiskan di jalanan, memburu kuburan di lokasi yang sangat jauh. Saat ini dia sedang merencanakan perjalanan ke makam seniman Kuba-Amerika, pematung, dan artis pertunjukan Ana Mendieta di Cedar Memorial Park, Iowa.
Dia mungkin juga mampir di makam seniman Gotik Amerika, Grant Wood, yang juga berada di Iowa. Jika dia melewati Detroit, dia akan mampir ke kuburan Aretha Franklin. Di Chicago, dia bisa mengunjungi sejumlah kuburn para pemusik blues, termasuk Chester Burnett.
Setelah Mendieta; dia mungkin akan pergi ke selatan ke Kansas City untuk bertemu pemain saksofon Charlie Parker dan advokat sederhana Carrie Nation.
Covert sering menyandingkan nama-nama dalam karyanya, seperti saingan berat di Hollywood, Bette Davis dan Joan Crawford. |
Siapapun dapat merasakan bahwa seluruh hidup Covert terpusat oleh kuburan, dengan tergantung pada siapa yang dimakamkan di sana. Sekarang, di zaman Google Maps dan catatan online, menemukan kuburan adalah hal yang lebih mudah dilakukan, tetapi dahulu kuburan sukar ditemukan.
Covert bercerita tentang bagaimana dia bertemu seseorang yang kemudian menjadi teman baik saat berada di kompleks kuburan di Culver City, di sebelah tempat peristirahatan terakhir Rita Hayworth.
Sebagai bagian dari apa yang disebut Hollywood Underground, satu komunitas yang berusaha menemukan kuburan para pesohor yang keberadaannya dirahasiakan, dia adalah sumber informasi yang amat berharga.
Kendati ini barangkali terdengar agak mengerikan, ada kualitas dinamis dan keingintahuan pada pekerjaan dan sikap Covert, yaitu pengabdian dan obsesinya yang luar biasa.
Dia digambarkan sebagai Warholian dalam pendekatannya terhadap budaya pop dan kaum selebritis, tetapi ada sesuatu yang amat tulus pada karya lukisan-lukisannya.
Beberapa dari mereka kemungkinan brengsek dan yang lainnya memiliki sisi gelap (dia mengatakan bahwa kuburan Perry Smith dan Richard Hickock, yang dihukum terkait kasus pembunuhan keluarga Clutter, serta fokus kepada sosok Truman Capote dalam In Cold Blood, membuatnya merasa "muak"), tetapi banyak yang dihormati - bahkan dicintai.
Covert mengatakan dia mengembangkan cara kerjanya karena dia ingin menghasilkan sebuah lukisan abstrak. Sebuah nama hanyalah bentuk lain dari tanda, dan "setiap sapuan kuas" menggambarkan kehidupan seseorang.
Juga sapuan khas itu merupakan bukti bahwa sang perupa pernah berada di suatu tempat. Jadi, lukisan itu sendiri adalah peta.
Saat dibuat, lukisan-lukisan itu membuktikan bahwa sang seniman melakukan perjalanan sejauh itu, seperti mengemudi selama 14 jam atau naik pesawat, untuk sampai ke tempat pemakaman itu, dan itu dipersembahkan kepada orang tertentu yang dikenangnya.
Hal ini seperti kebalikan dari grafiti, seperti yang pernah ditunjukkan oleh teman lain kepadanya. Dia tidak meninggalkan jejaknya. Sebaliknya dia dengan rajin mendapatkannya, mengumpulkan serangkaian angka dan huruf yang merangkum seluruh sejarah.
Kekuatan makam
Dalam bukunya These Silent Mansions: A Lifetime in Graveyards, penyair Jean Sprackland menulis tentang kurangnya minat pada batu nisan orang-orang termasyur. Sebaliknya, dia tertarik pada "yang biasa-biasa saja dan terlupakan, yang namanya tidak dapat dijelaskan lagi".
Dia mengatakan kalau dirinya menyukainya, karena hal itu mengingatkannya pada "rentang hidup manusia, tentang bagaimana seseorang mungkin hidup lebih panjang dari yang lain tetapi semuanya terbatas, dan bagaimana saya dan semua orang di sekitar saya adalah bagian dari pola pengulangan yang tak terhindarkan yang secara eksplisit ditunjukkan di sini."
Ada sesuatu perasaan yang rendah ketika berada di kuburan, diingatkan tentang kerapuhan hidup dan kematian yang tak terhindarkan.
Semuanya harus berakhir, termasuk kita. Karya seniman Inggris Nathan Coley pada 2010, In Memory, menampilkan serangkaian batu nisan yang, karena berbagai alasan misterius, telah dipindahkan dari tempatnya semula.
Nama-nama dipahat pada masing-masing batu nisan: sebuah kotak kosong di tempatnya, hanya menyisakan pesan istirahat dan kenangan penuh kasih. Dalam keadaan tanpa nama, mereka menjadi sesuatu yang bisa menjadi milik ayah tersayang atau istri tercinta.
Lepas dari fungsi peringatan khusus, mereka juga bermetamorfosis, menurut catatan yang menyertai karya itu, kembali menjadi obyek: bentuk yang dipahat dan diukir dari batu atau granit, bukan pengingat seseorang yang spesifik, seumur hidup dibatasi di antara dua tanggal.
Valerie Solanas, perempuan yang menembak Andy Warhol, adalah salah satu dari subyek gelap yang ditampilkan. |
_____
Bahkan, seperti halnya Sprackland, jika seseorang lebih suka mengembara di alam kematian biasa, berspekulasi tentang kehidupan mereka (siapakah Manueel M De Morentin yang meninggal pada 1895? Kesedihan mendalam apa yang ada di balik makam Leander S. yang hidup hanya selama satu tahun?) atau mencoba menyelesaikan huruf-huruf hantu yang menghilang, sebuah nama menyadarkan kita pada fakta bahwa pernah ada orang yang memilikinya.
Tetapi dengan karya Covert, nama-nama ini telah mengalami simbol kimia, tidak lagi hanya sebuah nama tetapi sesuatu yang memunculkan jaringan yang berhubungan, reputasi, gambar, perasaan yang kuat, dan ingatan kolektif yang dipintal dengan halus.
Apakah itu milik seorang komedian yang membuat orang menangis dan tawa, seorang musisi yang memelopori nada-nada baru, seorang pembunuh yang persidangannya dipublikasikan secara luas, atau seorang aktris yang bakatnya dalam memainkan peran "orang pirang yang bodoh" begitu hebat sehingga orang masih percaya kesalahan dia untuk satu hari ini? Apakah itu hanya diketahui di kalangan yang paling setia, yang sekarang memudar dengan cepat dari kesadaran publik?
Seorang selebriti dapat menjadi sesuatu yang berubah, berkilauan, melanggar janjinya untuk "menaikkan nama" seseorang, tanpa ampun dalam pengorbanan yang dituntutnya sebagai ganti hak istimewa untuk tidak dilupakan.
Tetapi untuk dikenal dan dikenang juga bisa menjadi hadiah yang luar biasa, suatu bentuk keabadian dari balik kubur, yang diadakan dalam cinta dan kekaguman orang lain.
Jika batu nisan adalah janji kepada orang mati bahwa mereka pernah ada, maka itu juga merupakan pertanda bagi yang hidup, tempat berduka, mengumpulkan benda-benda kembali, percakapan sepihak, ziarah tunggal, serta kunjungan yang berulang.
Menurut pengakuan Covert sendiri, dia hanya ingin "membuat sesuatu menjadi indah".
Namun dengan melakukan itu, dia mengajukan pertanyaan rumit tentang bagaimana kita mengingat orang mati - pertanyaan ini perlahan muncul ke permukaan, seperti nama yang muncul di selembar kain tipis yang ditempelkan pada relief kuningan. ***
Tidak ada komentar
Posting Komentar