- Kukira sahabat tak semanis yang diceritakan orang lain. Bagiku, sahabatku justru orang yang mengkhianatiku, yang menusukku dari belakang. Aku memiliki sahabat bernama Suzana, kami sangat dekat semenjak duduk di bangku SMP. Kami selalu ke mana-mana berdua, menghabiskan banyak waktu berdua, bahkan bersekolah di tempat yang sama hingga di bangku SMA.
Karena tak ingin terpisah, kami memilih berkuliah di tempat yang sama, walaupun mengambil jurusan berbeda. Masuk di bangku kuliah, tak kusangka aku segera memiliki kekasih yang sangat kucintai. Namanya Sastro Pengkal Jaran, anak juragan tembakau.
Sastro, sosok yang benar-benar seperti kuimpikan sebelumnya. Ia selalu menjaga dan menemaniku ke mana-mana. Sigap mengerti diriku dan menghadapi sikapku yang terkadang manja. Segera, aku, Suzana dan Sastro sering menghabiskan waktu bersama. Saling bercanda dan bertukar pikiran.
Karena sangat sayang pada sahabatku, aku hampir selalu mengajak Suzana ke manapun kami berkencan. Kupikir, rasanya tak adil meninggalkan dirinya dan membiarkannya kesepian. Ternyata aku salah. Tindakanku justru menjadi bumerang bagiku sendiri, karena di sinilah awal mula kekecewaanku itu.
Lima bulan hubunganku berjalan dengan sangat manis dan romantis, namun menginjak bulan ke enam, mendadak Sastro dingin terhadapku. Kami jarang keluar dan bercanda seperti dulu lagi. Bahkan, aku lebih sering menghabiskan waktuku sendiri. Aku sempat menceritakan hal ini pada Suzana, tetapi ia terus menghiburku dan membesarkan hatiku.
"Sudah lah Rin, mungkin ia sedang sibuk. Kan kuliah sedang penuh-penuhnya dengan tugas-tugas. Kamu sendiri juga merasakan, jadi seharusnya kamu bisa mengerti kan?" ungkap Suzana di telepon. Aku juga merasa semakin jarang bertemu Suzana. Katanya sih ia juga sibuk dengan tugas-tugas kuliahnya.
Untungnya hampir setiap malam ia tetap meneleponku, menjadi teman berceritaku sehingga aku merasa ia tetap ada untukku (setidaknya itulah pikirku saat itu.) Hari ini adalah setahun kami berpacaran. Tetapi, makin hari kenapa aku merasa semakin jauh dan seperti tak punya pacar ya?
Aku bagaikan kekasih yang tak dianggap, dan dijadikan nomor kesekian. Iya, aku tahu, kuliah memang suatu hal yang serius dan tak bisa dipandang sebelah mata. Tetapi sesibuk itukah hingga ia tak ingat hari jadian kami?
Kegelisahanku segera terjawab ketika aku merasa bosan dan memilih untuk sekedar berjalan-jalan ke mall dan memanjakan mata.
Aku terkejut bukan main. Sekelebat aku seperti melihat dua orang yang kukenal sedang berjalan bergandengan tangan dengan mesra. Iya, itu Suzana dan Sastro. Segera kuikuti mereka dari belakang dengan mengendap-endap perlahan.
Kubiarkan mereka dan kuamati apa saja yang mereka lakukan. Mereka seperti sepasang kekasih yang tengah jatuh cinta, yang memuja satu sama lain. Semua hal itu terlihat dari mata keduanya, dan bagaimana mereka saling membalas sentuhan dengan manja.
Perlahan aku meneteskan air mata. Aku bimbang, apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus marah kepada orang yang dekat dan kucintai itu? Emosiku berhasil kuredam. Kutenangkan diriku dan berjalan ke arah mereka berdua sambil tetap tersenyum.
"Kukira kalian ke mana, ternyata ada di sini. Sudah pesan makanan? Aku lapar..." kataku.
Seperti yang kuduga, mereka sama terkejutnya denganku. Suzana bergeser memberiku ruang dan kemudian tertunduk. Ia tak berani memandang dan menjawab pertanyaanku. Demikian juga dengan Sastro yang hanya membisu.
Aku membuka suara lagi, "aku mungkin orang yang tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi, kalian perlu ingat bahwa aku adalah orang yang sangat mencintai kalian... Aku tak perlu penjelasan apapun saat ini, rasanya semua begitu rumit. Aku hanya minta pada kalian berdua, ini adalah pilihan kalian, dan jangan sampai hubungan kalian rusak karena apa telah kalian korbankan sangat besar. Camkan itu."
Aku berjalan pergi meninggalkan mereka. Meninggalkan orang yang kucintai. Meninggalkan mereka yang telah menusukku dari belakang. Suzana berusaha menghubungiku, baik lewat telepon, datang ke rumah, mengirim surat, hingga meninggalkan pesan di akun socmedku. Aku terdiam tak menjawabnya.
Bagiku sudah cukup pengorbanan yang telah kulakukan untuknya. Aku yang saat ini terluka, masih belum bisa bersikap seperti dulu kepadanya. Rasanya aku tak sanggup lagi melihat senyum dan manjanya pada mantan kekasihku itu. Aku memaafkannya, tetapi aku tak ingin lagi bersahabat lagi dengannya. ***
Tidak ada komentar
Posting Komentar