Themis Indonesia Menerima Konsultasi Warga yang Sedang Mengalami Permasalahan. |
- Setidaknya ada 6 (enam) perusahaan plat merah (BUMN) yang akhirnya dibubarkan melalui Peraturan Pemerintah pada tahun 2023 ini. Tiga diantaranya dibubarkan karena alasan putusan pailit oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yaitu PT. Istaka Karya, PT. Merpati Airlines dan PT. Kertas Lece.
Dari ketiga nama tersebut, PT. Istaka Karya lah yang menyisakan cerita yang paling menarik. Karena ternyata ada ratusan kontraktor dan supplier/vendor yang sudah menunggu selama 10 tahun agar tagihan mereka pada PT. Istaka Karya dibayarkan namun tak kunjung dibayar.
Padahal apabila dilihat dari total kewajiban PT. Istaka Karya adalah berjumlah Rp 1.08 triliun, sedangkan ekuitas pada posisi minus Rp 570 miliar dan total asset perusahaan hanya sejumlah Rp 514 miliar. Hal ini tentu menambah kesedihan bagi para kreditor yang tidak tau kapan nasib tagihan mereka dapat dibayarkan.
Karena meski seluruh asset perusahaan dilikuidasi, kemungkinan jumlahnya tidak akan cukup untuk membayar seluruh kewajiban. Ditambah lagi kabar tentang salah satu direksinya yang kini malah pindah ke BUMN PT. Jakarta Industrial Estate Pulogadung. Kira-kira parameter apa yang digunakan oleh para pemegang saham dalam memilih CEO yang akan menakhodai state esterprise tersebut ?.
Sebelumnya di tahun 2018, Pemerintah telah melakukan pengalihan sebagian saham Negara yang ada pada PT. Istaka Karya dengan dengan mengeluarkan PP No. 44 tahun 2018 tentang Perubahan Struktur Kepemilikan Saham Negara melalui Penerbitan Saham Baru pada Perusahaan PT. Istaka Karya. Di dalam PP tersebut, Saham yang semula sebesar 100 persen hanya bersisa sebesar 7,66 persen. Sebesar 92,34 persen diberikan kepada kreditor PT. Istaka Karya sebagai bentuk pelaksanaan dari keputusan perjanjian damai (homologasi) penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU), di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Langkah yang diambil pemerintah tersebut bertujuan untuk merestrukturisasi kondisi kronis yang terjadi di Istaka Karya. Namun tampaknya langkah tersebut tidak ampuh, karena akhirnya pada Juli 2022 perjanjian damai (homologasi) antara PT. Riau Anambas Samudera dan PT. Istaka Karya dibatalkan.
Artinya sejak dari putusan pengadilan Niaga nomor 23/Pdt-Sus-PKPU/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 22 Januari 2013 tersebut di bacakan, masalah utang untuk kreditor tidak dapat terlaksana juga. Makanya 9 tahun kemudian, perjanjian homologasi tersebut akhirnya dimohonkan untuk pembatalan. Akhirnya pada bulan Maret 2023 dikeluarkan PP No. 13 Tahun 2023 tentang Pembubaran Perusahaan (Persero) PT. Istaka Karya.
Prioritas Penyelesaian Utang Akibat Pailit
Dengan dikeluarkannya PP No. 44 tahun 2018 tentang Perubahan Struktur Kepemilikan Saham Negara melalui Penerbitan Saham Baru pada Perusahaan PT. Istaka Karya, maka utang para kreditor PT. Istaka Karya telah dikonversi menjadi saham yang secara keseluruhan berjumlah 92,34 persen. Dengan berubahnya status para kreditor menjadi pemegang saham berakibat pada kedudukannya sebagai penerima kekayaan hasil likuidasi yang terakhir sesuai dengan Pasal 149 ayat (1) huruf d UU Perseroan Terbatas. Di pasal selanjutnya, yaitu Pasal 150 ayat (4) dikatakan bahwa dalam hal sisa kekayaan hasil likuidasi telah dibagikan kepada pemegang saham dan terdapat tagihan kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengadilan negeri memerintahkan likuidator untuk menarik kembali sisa kekayaan hasil likuidasi yang telah telah dibagikan kepada pemegang saham.
Hal ini menambah urutan panjang permasalahan bagi kreditor PT. Istaka Karya yang telah dikonversi sebagai pemegang saham pada saat tahun 2018 yang lalu. Tentu para kreditor tidak menjadi prioritas utama dalam hal pembagian sisa kekayaan likuidasi yang akan di lakukan pada PT. Istaka Karya oleh likuidator.
Salah satu asas yang dikenal di dalam kepailitan adalah pari passu prorate parte. Didalam Pasal 1132 KUHPerdata dikatakan bahwa: Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagai menurut perbandingan piutang masing-masing, kecuali bila diantara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan. Secara implisit UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan dan PKPU) membagi beberapa jenis kreditor (pihak yang berhak menerima pembayaran tagihan atas putusan pailit) yaitu: kreditor separatis, kreditor konkuren dan kreditur preferen.
Kreditur separatis pada umumnya adalah pemegang jaminan kebendaan seperti jaminan gadai, fidusia, hipotik dan hak tanggungan. Sehingga ia memiliki pembayaran yang didahulukan dari kreditor lainnya dari hasil penjualan jaminan tersebut. Kreditor preferen sendiri adalah kreditor yang tidak memegang jaminan kebendaan, namun oleh undang-undang mendapatkan keistimewaan untuk didahulukan dari kreditor konkuren.
Sedangkan kreditor konkuren adalah kreditur yang tidak mendapatkan keistimewaan untuk didahulukan pembayarannya pada saat pelunasan utang. Hal ini juga sesuai dengan bunyi Pasal 1134 KUHPerdata, yaitu: Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undang-undang dengan tegas menentukan kebalikannya.
Selain ketiga jenis kreditor yang mendapatkan pembagian penjualan harta pailit, Negara mempunyai hak mendahului dari ketiga kreditor tersebut atas barang-barang milik penanggung pajak sesuai Pasal 21 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2007. Tulisan dari Jurnal Pro Hukum yang ditulis oleh M.Zahlan, Adi Sujanto, Anggawira (Paritas Creditorum Dalam Putusan Kepailitan Korporasi, 2022), di dalam usulan perjanjian homologasi dikatakan bahwa hutang pajak PT. Istaka Karya adalah sebesar Rp 48,54 Milyar.
Namun dalam perjalanannya, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XI/2013, majelis hakim konstitusi mengubah kententuan Pasal 95 ayat (4) UU Ketenagakerjaan yang dalam amar putusannya kurang lebih berbunyi: pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas jenis kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah. Sehingga dengan begitu, urutan prioritas penyelesaian utang kepailitan adalah: upah pokok pekerja/buruh yang belum dibayarkan, pajak negara, kreditur separatis/pemegang hak jaminan kebendaan, hak-hak pekerja/buruh lainnya seperti pemberian uang pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak yang seharusnya diterima.
Lalu bagaimana nasib sisa utang yang secara kasat mata masih berjumlah lumayan besar karena asset dan piutang perusahaan tidak mungkin cukup untuk membayar kepada sisa kreditor lainnya ?
Tanggung Jawab Pribadi Direksi, Komisaris dan Pemegang Saham di BUMN
Melalui laman jawapos.com dikatakan bahwa Menteri BUMN, Erick Thohir akan menuntaskan masalah tersebut yang sebenarnya sudah ada sebelum ia menjabat di kementrian tersebut. Ia menyiapkan solusi dengan mengerahkan dukungan dari perusahaan-perusahaan BUMN dan Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA) untuk menyelesaikan masalah terkait Istaka Karya. Salah satu skemanya, asset jaminan utang PPA akan dilelang, kemudian dana hasil lelang tersebut sebagian akan digunakan untuk pembayaran kreditur-kreditur UMKM yang terdaftar di list kreditur.
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas secara eksplisit telah memberi kemungkinan untuk diberlakukannya sebuah doktrin yang dikenal dengan nama Piercing The Corporate Veil. Di dalam buku yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Zainal Asikin, SH, SU dan Dr. L. Wira Pria Suhartana, SH, MH yang berjudul Pengantar Hukum Perusahaan dikatakan bahwa : dalam keadaan tertentu tidak tertutup kemungkinan dihapusnya tanggung jawab terbatas pada ketiga organ perusahaan (direksi, komisaris, pemegang saham).
Dalam hal seperti itu, pengadilan akan mengesampingkan status badan hukum dari suatu PT dan membebankan tanggung jawab terbatas yang biasanya melekat kepadanya. Kekebalan (immunity) yang biasa dimiliki oleh pemegang saham, direksi, dan komisaris dapat dibuka dan diterobos menjadi tanggung jawab tidak terbatas hingga kekayaan pribadi mereka dalam hal terjadi pelanggaran, penyimpangan atau kesalahan dalam melakukan pengurusan perseroan atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa dapat dimungkinkan untuk mengoyak/menyingkap tirai tabir perusahaan (piercing the corporate veil).
Doktrin tersebut tertuang di dalam Pasal 3, Pasal 97 dan Pasal 114 di dalam UU PT. Dimana dikatakan bahwa setiap pengurus perusahaan bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan akibat kelalaian atau kesalahan dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan yang telah diatur di dalam peraturan perusahaan. Pasal 97 UU PT memberikan batasan atau semacam acuan bagi anggota direksi dalam menjalankan perusahaan. Prinsip business judgment rule yang tertuang di dalam undang-undang menggaris bawahi bahwa tindakan anggota direksi yang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi apabila terjadi kerugian adalah : kerugian tersebut bukan karena kelalaian atau kesalahanya; telah melakukan pengurusan dengan itikad baik; tidak mempunyai conflict of interest dan telah mengambil tindak tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. Maka dari itu, undang-undang telah menegaskan bahwa setiap anggota Direksi harus melaksanakan tugasnya dengan penuh tanggung jawab dan itikad baik.
Di dalam Pasal 114 UU PT dikatakan bahwa tanggung jawab secara pribadi juga melekat pada dewan komisaris perusahaan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya dalam hal tidak dilaksanakan dengan itikad baik, kehati-hatian dan bertanggung jawab dalam mengawasi dan memberi nasihat kepada direksi. Bahkan di dalam pasal tersebut juga dikatakan bahwa tanggung jawab dewan komisaris tersebut dapat berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggotanya.
Untuk memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum dalam hal terjadinya kepailitan pada perusahaan, Pasal 104 ayat 2 UU PT mengatakan : dalam kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap angota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit. Ketentuan tanggung jawab tentang kewajiban pelunasan ini juga berlaku bagi anggota Direksi yang salah atau lalai dalam waktu jangka waktu 5 tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.
Setidakanya langkah untuk meminta pertanggungjawaban hukum pada Direksi dan Dewan Komisaris ini dapat ditempuh sebagai upaya untuk melunasi seluruh kewajiban (utang) akibat pailitnya perusahaan. Rencana strategis yang dirancang dan target yang tercapai selama menjabat dapat menjadi bahan kajian apakah sudah dilakukan secara tepat atau tidak. Termasuk apakah kebijakan perusahaan dalam menentukan langkah operasional sudah sesuai dengan good corporate atau hanya kebijakan yang syarat dengan kepentingan. Tentu pertanggungjawaban secara pribadi ini harus dapat dibuktikan terlebih dahulu di depan pengadilan. Ada 3 unsur yang harus dibuktikan yaitu: itikad baik, penuh tanggung jawab dan untuk kepentingan perusahaan. Apabila salah satu dari unsur hukum tersebut memang ternyata terbukti tidak dilaksanakan atau setidaknya ada kelalaian atau kesalahan dalam mengambil keputusan selama menjalankan roda perusahaan, maka para pengurus perusahaan dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi.
Untuk itu, kiranya kedepan para angota Direksi, Dewan Komisaris di BUMN agar lebih berhati hati, beritikad baik dan memiliki rasa tanggung jawab yang penuh dalam menjalankan perusahaan. Nama besar menjadi Direksi atau Komisaris di perusahaan plat merah tidak langsung membuat jumawa dan lupa diri, sehingga merasa tidak memiliki beban apabila perusahaan yang dikelolanya jatuh dalam kebangkrutan dan pailit.
Pilihan PT. Danareksa bersama dengan Pemda DKI sebagai pemegang saham yang kemudian memilih mantan direksi PT. Istaka Karya sebagai anggota Direksi di PT. JIEP bisa jadi telah memahami dan melaksanakan secara sungguh-sungguh PP No. 32 Tahun 2022 yang mengatur tentang pengangkatan Direksi dimana salah satunya adalah dengan mempertimbangkan tentang rekam jejak.
*) Dudy Agung Trisna, S.H., M.H, Konsultan Hukum Themis Indonesia
*Tulisan merupakan pendapat pribadi, tidak mewakili kelompok atau institusi
Tidak ada komentar
Posting Komentar