Udara terasa sesak. Semilir angin laut tidak lagi menyejukkan seperti saat ia mengajak Muni ke tempat favoritnya, sambil menikmati jagung bakar yang warungnya berjejer bersama kafe remang-remang dan penjual kacang rebus keliling di bahu jalan.
Kontan, sensasi menggelitik di tulang belakang Duro mulai menari. Ia bimbang, antara maju ke depan dan meninju rahang pria bermobil Pajero atau menampar Muni terlebih dahulu—atau memutar badannya ke belakang dan menendang benda mati apa saja yang kebetulan ia temui. Amarah meluap-luap. Duro mulai menimbang-nimbang apa yang akan ia lakukan.
Sebenarnya Duro adalah seekor gorila yang tampan bagi mereka yang memikirkannya dengan seksama. Dianugerahi bibir tebal yang merah merona—cukup abnormal untuk spesies gorila, alis rimbun, dan raut muka yang tegas nan macho.
Pendidikannya di Universitas Hatama sudah mencapai semester keempat belas dan ia belum juga menyusun skripsi. Sebuah alasan utama mengapa Duro sampai sekarang menyandang status penganguran di usianya yang keduapuluhtiga, tapi ia lebih senang menyebut dirinya sebagai seseorang yang gemar menuntut ilmu. Dan mengapa Muni mulai bosan dengan alasan “sedang sibuk mengerjakan tugas” dari Duro, yang membuat Muni memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka.
Duro beranjur ke arah Muni. Gorila betina itu sepenuhnya tidak sadar akan kehadirannya, ia sibuk membalas ciuman dengan khidmat. Semakin mendekat, semakin sesak Duro bernapas.
Sekarang Duro harus menentukan pilihan:
(1) menghantam rahang pria bermobil Pajero;
(2) menampar Muni lebih dulu.
Namun tidak kedua pilihan itu yang diambilnya, alih-alih, seperti otaknya berjalan sendiri tanpa perintahnya, nama itu terucap lirih,
“Muni ….” Cukup keras untuk sampai di telinga mantan kekasihnya.
Muni seperti disetrum. Kepalanya menoleh bersanding mata yang melotot. Suara itu, wajah tampan itu, bibir merah itu … oh sungguh ini bukan pertanda baik bagi kelangsungan hubungan Muni dengan kekasih barunya. Refleks, Muni mendorong pria yang sedari tadi merangkul pinggangnya. Lelaki itu kaget. Namun ia tidak tahu bahwa Muni seratus kali lebih kaget. “Duro …,” gumamnya.
“Kamu … kenapa … dia siapa, Ni?”
“Dur, ini tidak seperti yang kamu lihat.”
“Ini jelas-jelas seperti yang saya lihat, Mun! Kamu siapa?” tanya Duro kepada seekor tapir.
“Sebut saja Anton, bukan nama sebenarnya,” jawab si Tapir—yang telah berhasil meninggalkan jejak-jejak liur di sekitaran bibir Muni.
“Oh? Jadi kamu pacaran sama jurnalis sekarang? Ini haram, Mun!”
“Lancang sekali kamu bilang begitu? Apanya yang haram dari seorang jurnalis?” Anton berbalik kepada Muni. “Ini mantan kamu, ya? Pasti dia mahasiswa semester nenek!”
Muni mulai panik. Dua lelaki, beda spesies, beda status, pasti akan ada keributan. Apalagi Duro adalah mahasiswa yang rajin berdemo dan, Anton (nama samaran) adalah seorang jurnalis yang sering melanggar kode-kode etik demi mendapatkan berita yang ia inginkan.
“Dasar tolol! Ini bukan tentang pekerjaan, ini tentang
hubungan beda jenis!” Duro melanjutkan, “kamu kenapa mau, Mun, dicium di tempat
umum kayak begini? Sama lelaki model beginian?”
“Oi! Kamu jangan bawa-bawa kebiasaan binatang di dunia barat ke sini!”
“Memangnya kenapa?!” jawab Anton sambil menyenggol dada Duro.
“Apa?!” balas Duro menyenggol dada Anton.
Kedua lelaki itu mulai saling menyenggol dada. Di sisi lain, Muni melindungi dadanya supaya tidak kena senggol.
“Apa?!” senggol Anton.
“Apa?! Mau berkelahi kamu?” tantang Duro.
“Ayo!” terima Anton.
“Ayo!” jawab Duro kembali menyenggol dada Anton.
“Ayo? Siapa takut?!”
Muni geleng-geleng kepala. Antara pusing dengan kelakuan kedua lelaki di hadapannya atau kecewa dengan perkelahian yang tak kunjung mulai. Muni pun mengambil inisiatif untuk menghentikan pertikaian mereka berdua.
“Sudah, sudah!”
“Muni, kamu jangan tahan saya!”
“Muni, kamu jangan tahan abang!” seru Anton—padahal tidak ada yang menahan beliau.
Butuh waktu beberapa menit bagi Muni untuk meredakan
suasana. Hening menyelip di antara tatapan Duro dan Muni. Ada sebaris kalimat
yang ingin terucap dari bibir mereka. Entah kenapa, kalimat itu tertahan di
tenggorokan, menolak untuk keluar. Seperti sensasi muntah yang menggantung,
jika ia keluar akan terasa pahit dan sama pahitnya ketika ia ditahan. Maka Muni
dan Duro tetap terdiam.
“Sayang, ayo kita pergi dari sini,” perintah Anton sembari
menarik lengan kekasihnya. Muni enggan beranjak. Seperti menunggu sederet kata
keluar dari mulut Duro, atau ia ingin mengucap sesuatu kepadanya.
“Muni, ayo!” titah Anton.
“Jadi, begitu saja, Mun?”
“Iya, Dur. Begini saja.”
“Kamu memutuskan hubungan lewat kabar burung merpati, lalu sekarang kamu jalan sama lelaki bejat ini? Tidak ada kata perpisahan? Tidak ada kesan dan pesan?” tanya Duro penuh harap setengah kecewa.
“Akhir-akhir ini kamu selalu sibuk. Tidak pernah lagi mau temani saya jalan-jalan. Tidak mau lagi mencari kutu di bulu saya. Padahal dulu kamu bilang itu kegiatan favorit kamu. Kamu tidak akan bosan melakukannya sampai maut datang menjemput atau sampai peluru pemburu liar tembus di dadamu. Mana buktinya sekarang, Dur? Mana?”
“Muni, kamu tahu kan saya sedang sib...“
“Sibuk kerja tugas. Iya, saya tahu, Dur,” potong Muni.
Sekarang Muni merelakan tubuhnya ditarik Anton. Matanya masih terpaku ke wajah Duro yang tampan, yang bibirnya tebal merah merona, yang macho. Duro hanya bisa memikirkan jawabannya. Ia tahu, Muni butuh jawaban yang lebih dari sekedar “sedang sibuk mengerjakan tugas”. Gorila berparas cantik itu berhak mendapatkan lebih dari sekedar alasan.
Desiran ombak di teluk Kendari terdengar seperti nyanyian, mengiang, melantunkan lagu sedih tanpa aksara beriring langkah Muni yang menjauh dari mantan kekasihnya. Tanpa Duro sadari, setetes air mata meliuk-liuk di wajahnya yang kerutan—kerutan yang macho.
Tidak ada lagi bulu-bulu seksi tempatnya mencari kutu. Tidak ada lagi kecupan mesra dari bibir Muni. Oh, sungguh rasa kehilangan yang menelusuk kerongkongan Duro. Tombak itu kini menohok dari dada hingga tembus ke bokongnya.
Derum mesin mobil Pajero membawa tubuh Muni melesat dalam remang-remang lampu jalan. Kekasihnya telah pergi. Muni yang dikenalnya adalah sosok perempuan yang baik dan soleha. Tidak sampai di logika Duro jika perempuan itu mau berciuman dengan seekor tapir di tempat umum. Pasti Muni dalam pengaruh obat-obatan.
Dasar lelaki bejat! kutuk Duro dalam benaknya.
Dipilihnya tempat untuk melampiaskan amarah dan kekecewaan. Sebuah kafe yang menyajikan makanan dan minuman keras. Duro duduk di salah satu kursi dan telah selesai meneguk gelas ketiganya. Malam itu tidak terlalu banyak pengunjung.
Ada seekor beruang yang sedang duduk dengan kedua lengan
terlipat di atas meja dengan kepala yang menunduk, ia memakai setelan jas
lengkap namun amburadul, sepertinya baru pulang dari kantor, atau mungkin baru
saja dipecat. Ada sepasang kekasih yang sedang bercumbu, dua ekor kucing.
Di pojok ruangan, ada dua orang sahabat yang sedang
bercakap-cakap, meja mereka kosong, baru saja tiba.
“Pelayan, es tehnya satu!” teriak seekor dinosaurus bernama
Oscar.
“Sepertinya mereka tidak menyediakan minuman itu di sini, Oscar,” jelas sahabatnya Benjamin. Ia adalah seekor anjing yang terpelajar.
“Lantas? Cuma itu yang saat ini sedang ingin kuminum.”
“Di sini kami hanya menyediakan minuman keras,” kata pelayan yang menghampiri mereka.
“Minuman keras?” tanya Oscar. Ia bukanlah binatang yang mengenyam pendidikan. Banyak hal yang belum dimengerti Oscar, namun ia adalah seekor yang cukup kritis meskipun buta huruf.
“Minuman keras itu ungkapan lain untuk minuman yang
memabukkan,” jelas Benjamin sekali lagi.
“Astaga, minuman begitu dilegalkan?”
“Akhir-akhir ini memang pemerintah banyak melegalkan hal-hal yang merugikan,” jawab Benjamin.
Pelayan itu bertanya minuman apa yang ingin mereka pesan.
Cukup lama kedua sahabat itu berkutat dengan nama-nama minuman yang
membingungkan di selembaran menu: Sex on the beach, The Masquarade, 1001 nights,
Love of Jasmine, The Cabana, Chevas Regal, Long Island dan lain-lain.
Oscar berpikir nama-nama minuman itu terlihat seperti
kumpulan judul lagu, sementara Benjamin menilainya seperti kumpulan judul
novel. Terlalu lama menunggu, si pelayan yang notabene adalah seekor rusa
dengan rok mini dan baju yang “agak terbuka” memberikan saran kepada mereka dua
botol bir dingin. Benjamin dan Oscar setuju.
Duro kini telah selesai meneguk gelas keempatnya. Ia menatap
ke sekeliling ruangan. Matanya berpapasan dengan mata Oscar dan Benjamin. Ia
cukup terkejut melihat dua orang kenalannya berada di tempat itu.
Duro memberikan sapaan lewat anggukan kepala. Oscar dan Benjamin
datang menghampiri gorila tampan itu.
“Hei, bukannya jam begini para gorila sudah tidur?” sapa
Oscar, yang kemudian duduk bersebelahan dengan Duro.
“Tidak untuk gorila yang sedang patah hati, Kawan.”
Benjamin kemudian duduk di sisi lain Duro.
Kalian berdua kenapa masih berkeliaran?
Entahlah, perjalanan kami hari ini cukup banyak meninggalkan
pertanyaan-pertanyaan. Sulit untuk tidur jika banyak pertanyaan yang
menggantung di kepalamu,” jawab Benjamin.
Beberapa menit kemudian, pelayan datang kembali dengan
membawa dua botol bir di atas nampan kayu. Setelah menaruh pesanan Benjamin dan
Oscar di atas meja, pelayan itu berlalu. Oscar meneguk bir pertama dalam
hidupnya
Cih! Rasanya seperti kencing
“Bir memang begitu,”
kata Duro
“Alangkah baiknya
jika mereka menambahkan banyak gula ke dalam minuman ini,” keluh Oscar
“Namanya Muni
“Wanita yang
bertanggung jawab mengapa aku duduk di kafe ini dengan minuman keras
Oscar mengangkat tegukan kedua
Cih! Tunggu sebentar, saya mau minta pelayan supaya
menambahkan gula di bir ini,” kata Oscar yang kemudian berlalu.“Memangnya
kekasihmu kenapa, Duro?” tanya Benjamin.
“Selingkuh dengan seekor tapir. Hubungan yang haram.”
“Semua binatang melakukannya sekarang. Hubungan seje—““Stop!
Saya sudah dengar itu dari si tapir sialan.
”Benjamin mengangguk pelan. Ia tahu suasana hati temannya sedang tidak baik. Anjing itu memilih diam dan mendengarkan Duro mulai menceritakan kisah-kisah kasihnya selama berpacaran dengan Muni. Jam di dinding menunjukkan pukul 02.37 dini hari. Duro tengah bercerita bab keempat dalam hubungan asmaranya: Bercinta di Atas Pohon Beringin.
Sepertinya kisah ini sudah mulai terdengar membosankan di telinga Benjamin. Oscar setelah gagal meminta gula untuk bir dinginnya sudah hampir menghabiskan minumannya. Ia mulai terbiasa dengan sensasi “kencing” dari minuman itu yang menurutnya adalah sesuatu yang unik.
“Dan sekarang dia berpacaran dengan seekor tapir berengsek yang punya mobil Pajero. Tamat.” Duro mengakhiri ceritanya setelah tambahan tiga puluh menit berlalu.
“Mencari pacar baru bukan ide yang buruk menurutku. Pelayan yang tadi cukup menarik,” kata Oscar.“Dia jantan,” ucap Benjamin.“Hah?
Benarkah?”Duro dan Benjamin geleng-geleng kepala.
Masih banyak hal yang tidak diketahui Oscar.Di luar, hujan rintik-rintik mulai bertandang. Ketiga sahabat terus bercengkrama. Kehadiran Benjamin dan Oscar berhasil mengurangi duka yang sedang dialami Duro. Sahabat adalah tempat yang baik untuk membuang sampah-sampah kesedihan yang menumpuk.
Perlahan mereka bertiga mulai terbahak.Saling berbagi cerita dan pengalaman kehidupan. Diam-diam Oscar menaruh perhatian kepada seekor pelayan rusa dengan rok mini dan bajunya yang menggoda. Namun, itu adalah cerita di lain waktu.
Tidak ada komentar
Posting Komentar