Lokasi tambang nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara |
Kasus Dokumen Terbang dalam perkara dugaan korupsi pertambangan nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara yang Merugikan Negara Rp 5,7 Triliun kian menjadi sorotan banyak pihak.
Pasalnya, kasus itu memunculkan efek domino terhadap industri pertambangan mineral dan batubara yang berpotensi menimbulkan kerugian negara. Dilain pihak, penerbitan Rencana Anggaran Biaya (RKAB) oleh Kementerian ESDM dalam kasus itu juga jadi menuai polemik.
Diketahui Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara telah menetapkan sejumlah tersangka dalam kasus itu baik dari pihak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Lawu Agung Mining (LAM), dan PT Kabaena Kromit Pratama (KKP). Penetapan tersangka ini berkaitan dengan Kerja Sama Operasi (KSO) di wilayah Antam dengan PT Lawu dan perusahaan daerah seluas 22 hektare di Konawe Utara.
Menurut peneliti dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Yosef C.A. Swamidharma, kasus ini terjadi akibat belum adanya aturan turunan yang tuntas secara administratif, misalnya mekanisme lelang dan wilayah pertambangan sudah memiliki inventori, serta mekanisme penugasan (untuk area-area yang belum memiliki data-data eksplorasi).
“Yang utama adalah niat baik, mekanisme diutamakan orang yang kompeten, dibuat transparan dengan cara direview oleh pihak lain, supaya lebih terbuka," ujarnya.
Menurutnya, kalau ada kekurangan-kekurangan yang masih ada maka bisa dicatat. Namun, kalau ada salah satu pihak yang memang dari awal sudah memiliki modus atau niat tidak baik dalam sistem, sebagus apapun system yang dibuat pasti gampang hancur.
"Jadi yang paling penting adalah niat baik,” kata Yosef, dalam ketarangan tertulisnya kepada media, Senin (11/9).
Sementara itu, pelaku usaha pertambangan Taruna Aji memandang, kasus dokumen terbang ini sudah ada dari 6-7 tahun lalu. Namun ini terjadi pada kerjasama business to business antara perusahaan pertambangan. Permasalahannya kasus ini melibatkan perusahaan milik negara (BUMN).
Taruna memandang permasalahan ini menjadi Pekerjaan Rumah bersama yang harus diperbaiki, karena sebenarnya sederhana. Selama semua pihak menahan diri dan meredam arogansi.
"Jadi kalau masih ada rasa modus-modus apapun sistem, tidak akan berjalan, pasti itu. Karena carut marutnya ini sesungguhnya masalah non teknis,” imbuhnya.
Pelaku usaha pertambangan lainnya, Jeffisa Putra Amrullah mengatakan, dibutuhkan pengawasan dari negara dan perlu adanya grand design mining. Kultur masyarakat juga perlu diperhatikan, karena kemiskinan itu juga besar.
“Negara harus hadir di masyarakat bawah. Terkait kasus dokumen terbang, PT KKP harus bertanggung jawab atas dokumen tersebut. Yang paling bertanggung jawab bukan ESDM tapi PT KKP,” tegasnya.
Praktisi Hukum Pertambangan, Arie Nobelta Kaban menjelaskan, perkara dokumen terbang ini harus dilihat dari masalah RAKB yang tidak prosedural, yang digunakan UU Tipikor atau UU Minerba?
Dilihat dari kasus ini, tersangka dalam Kasus Dugaan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PT Aneka Tambang Tbk ini diduga melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 jo 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat (1), 56b KUHPidana.
“Jika dilihat dari kasus tersebut, tidak ada pasal gratifikasi,” tegas Arie.
Kasus ini bermula saat Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, pada 14 Desember 2021 bertempat di Kantor Dirjen Minerba Kementerian ESDM telah memimpin rapat terbatas membahas dan memutuskan penyederhanaan aspek evaluasi RKAB perusahaan pertambangan yang telah diatur dengan Keputusan Menteri ESDM nomor 1806 K/30/MEM/2018 tanggal 30 April 2018, sebagai Upaya untuk memperingkas bisnis proses ini tanpa menghilangkan substansinya. Hal itu yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum oleh Kejaksaan.
"Satu siklus bisnis proses mulai dari Evaluator yang paling kroco, kemudian koordinator, Kasubdit, Direktur atau Dirjen yang memproses RKAB tersebut menjadi tersangka. Dirjen ini disangkakan membuat semacam kebijakan yang berbeda, menurut dugaan Kejaksaan," papar Arie.
"Namun eranya sudah berubah, dahulu desentralisasi kemudian sentralisasi proses RKAB. Dengan pendekatan bisnis Kepmen nomor 1806 K/30/MEM/2018, itu akan memakan waktu yang lama. Kerugian keuangan Negara, menurut pandangan saya, saya tidak terlalu yakin bahwa perhitungan angka kerugian Negara 5,7 T itu benar. Itu harus ada audit investigasi BPKP atau BPK terlebih dahulu," imbuh Arie.
Lebih lanjut Arie menerangkan, posisi kasus, modusnya dugaan perbuatan GM PT Antam dan Pelaksana Lapangan PT LAM. PT LAM menjualkan ore nikel menggunakan dokumen PT KKP. Tidak hanya dokumen PT KKP yang dipergunakan tetapi masih ada dokumen PT lain. Peran PT KKP ini meminjamkan dokumen tambang agar dapat menjual hasil illegal mining dari PT LAM.
“Hubungan kausalitas antara melawan hukum dan kerugian negara ini belum ada. Kita tidak tahu alat bukti yang dimiliki kejaksaan. Belum terlihat benang merahnya,” pungkasnya.
sementara itu, Ketua ASPETI Arief Setyadi menyoroti Potensi Penurunan Pendapatan Negara Akibat efek domino jika RKAB Diterbitkan oleh MINERBA pada periode 2021-2023 dinyatakan salah prosedur.
"Dibutuhkan strategi menjaga iklim investasi oleh pemerintah, memelihara stabilitas ekonomi dan politik, mengembangkan sistem logistic, penyederhanaan regulasi” kata Arief.
Sementara itu Singgih Widagdo dari Indonesia Mining and Energy Forum/IMEF mengatakan kondisi Minerba saat ini tidak mudah, kebijakan yang mempercepat ini bisa menjadi hal yang menjebak.
“RKAB ini kalau sudah ditandatangani berarti itu dikatakan legal. Bagaimana prosesnya itu nanti, selama ini resmi ya tetap dipakai. Kalau RKAB tidak benar, maka control dari lingkungan dan resources menjadi tidak ada,” ujarnya.
Sedangkan Djoko Widajatno dari Indonesia Mining Association memandang bahwa tidak sepenuhnya kisruh RKAB menjadi tanggungjawab Ditjen Minerba. Justru Djoko, melihat pengusaha tambang juga berperan dalam menyumbang kesalahan dalam penyusunan RKAB.
"Kesalahan yang utama tidak di Minerba, tetapi kesalahan itu ada di pengusaha. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 2000 menyebutkan setiap tambang harus membuat rencana kerja wilayah tambang, kemudian diturunkan dalam rencana jangka pendek," ucapnya.
Dalam pandangan Djoko, kenapa pengurusan RKAB lama, karena sekarang semua ditarik ke pusat. Sebelumnya kewenangan itu boleh dikeluarkan daerah.
"Prosesnya lama dan dulu daerah boleh melakukan dan itu ingin di tertibkan sejak 2020," kata Djoko.
Diketahui, ASPETI membahas hal ini dalam 2 diskusi berseri. FGD pertama bertajuk “Kutukan Sumber Daya Alam” Menerka (mengeksplor) mekanisme dokumen pertambangan (Analisa Kasus Dokumen Terbang Merugikan Negara Rp 5,7 Triliun) pada Kamis 10 Agustus 2023.
FGD Ke-2 bertajuk “Quo Vadis Badan Usaha Pertambangan” Potensi Penurunan Pendapatan Negara Akibat efek domino jika RKAB Diterbitkan oleh MINERBA pada periode 2021-2023 dinyatakan salah prosedur, pada September 2023, di Gedung Joang 45, Menteng, Jakarta Pusat. ***
Tidak ada komentar
Posting Komentar