Malam semakin larut dihiasi mendung yang bergelayut hitam, suara binatang malam bersahutan membisikan harmoni kehidupan. Malam yang terasa lebih panas bagaikan merayap sangat lambat.
Mata ini belum juga bisa terpejam, pikiranku melayang tak jelas rimbanya. Ada yang mengganggu bawah alam sadarku, entah apa? Kupejamkan mata untuk yang kesekian kalinya, kubaca Ayat-ayat Illahi yang sudah kuhafal.
Tutt….tutt….tutt….. suara ponselku nyaring membuyarkan bawah alam sadarku yang baru baru saja beralih ke alam mimpi.
“Assalamu’alaikum… Mba Ratih? “ suara dari seberang sana yang tersengal-sengal.
“Wa’alaikumsalam… iya Saya Ratih,“ jawabku sambil mengucek-ngucek mata yang sempat terlelap sekejap.
“Mba Ratih yang sabar ya Mas Arif kena musibah,“ lanjut orang disebrang sana, entah siapa, aku tidak mengenalnya.
“Apa?“ tanyaku tak percaya, kuusap wajahku, apa ini mimpi? Kucubit pipiku, terasa sakit, oh ini kenyataan, Aku tidak sedang bermimpi.
“Apa mas ? tolong diulang!“ pintaku, sudah dalam kesadaran penuh.
“Mas Arif mengalami kecelakaan mba, tadi ba’da isya motornya dilanggar lori, sekarang sudah dibawa ke rumah sakit,“ jelas penelpon masih dengan suara tersengal-sengal.
“Innalillahi wa innailaihi roji’un,“ lirih kubergumam. Baru ba’da magrib tadi aku ngobrol dengan suamiku. Dia mengabarkan akan segera pulang. Dia menanyakan aku mau dibawakan oleh-oleh apa, Syifa anak kami begitu riang menjawab telpon ayahnya.
“Hallo..hallo… mba… mba Ratih,“ suara diseberang sana membuyarkan lamunanku.
“Iya mas, ini Saya,“ sahutku agak mengeraskan suara.
“Mba harus lebih sabar, Mas Arif lukanya sangat parah, dan….” Suara orang itu tertahan.
“Dan apa mas ? bagaimana kondisi Mas Arif sekarang?“ kejarku. Aku begitu cemas dengan kondisi suamiku. (Baca juga : 6 Tips Mudah Mencegah Kolesterol Tinggi )
“Ya Rabb, selamatkanlah suami hamba, ayah anak hamba ini,“ doaku dalam hati.
Lama tak terdengar jawaban, rupanya sambungannya sudah terputus. Aku menunggu berita selanjutnya dalam kecemasan yang luar biasa. Kulirik jam dinding sudah menunjukan pukul 12 malam.
Mas Arif. Lelaki penyabar yang pernah kukenal, selama tujuh tahun kami mengarungi pernikahan tak pernah Mas Arif marah padaku. Dia pun lelaki yang bertanggung jawab dan sangat menyayangi putri semata wayang kami.
Tatkala perusahaan tempatnya bekerja gulung tikar, Mas Arif segera pontang-panting mencari kerja. Namun sayang usahanya belum membuahkan hasil. Dia pun mencoba membuka usaha sendiri, namun mengalami kerugian. Kondisi itulah yang memaksanya mencari peruntungan di negeri jiran.
Mas Arif bekerja di perkebunan kelapa sawit, setiap enam bulan sekali Mas Arif pulang menjenguk kami. Tempat tinggal kami di pulau Batam memudahkan Mas Arif untuk pulang dengan ongkos yang terjangkau.
Tutt…tuttt….tuttt suara ponselku kembali berdering, cepat-cepat aku angkat.
“Hallo, Assalamu’alaikum..,” terdengar suara orang yang tadi menelponku.
“Ya Wa’alaikumsalam… gimana kondisi Mas Arif?“ aku langsung menyerbunya dengan pertanyaan, sungguh aku tak sabar mendengar kabar Mas Arif.
“Mba Ratih yang sabar ya, karena lukanya sangat parah, Mas arif tidak bisa diselamatkan, Mba.“
Bagaikan godam mengahantam telingaku, aku merasa pusing dan langsung lunglai.
“Mas Arif meninggal di tempat kejadian, sekarang jasadnya masih di rumah sakit, “ lanjutnya, memberi penjelasan.
“Pihak agen minta kepastian keluarga, apa jasad Mas Arif mau dimakamkan disini atau dibawa pulang?“
Aku tak mampu menjawab pertanyaan itu, sedih, bingung, dan berjuta rasa lain menyergapku.
“Kalau ingin prosesnya cepat harus ada keluarga yang datang kesini, Mba,“ lanjutnya. Aku diam saja.
“Kalau ga ada keluarga bisa berbulan-bulan mba,“ lanjutnya lagi memberi ketegasan.
“Mba, saya mengerti perasaan Mba, tapi agen minta jawaban secepatnya,“ desaknya lagi.
“Iya Mas saya akan datang, saya akan jemput Mas Arif besok,“ jawabku lirih. Selanjutnya terdengar sambungan telpon terputus.
Sepanjang malam yang terasa begitu lama, tak sedetik pun Aku mampu memejamkan mata. Menangis, itulah yang aku lakukan sepanjang malam. Kehilangan kekasih hati rasanya begitu berat, separuh jiwaku rasanya ikut terbang.
Aku sadar tak boleh terlalu lama terbenam dalam duka, aku harus segera bangkit. Jasad Mas Arif menungguku, kewajibanku terbesar sekarang memberikan hak pada jasadnya. Tapi aku bingung bagaimana caranya bisa sampai kesana? Untuk ongkos saja aku tidak punya, uang dalam dompet hanya tinggal beberapa ribu. Pasport pun aku tidak punya. Kebingungan menyergapku.
Tutt…tutt…tutt…. Ponselku berdering, cepat-cepat aku angkat. Terlihat sebuah nama yang tak asing lagi muncul di layar ponselku.
“Assalamu’alaikum… Mba Ratih yang sabar ya,“ suara bu Nurjanah, sahabatku sekaligus atasanku terdengar lembut menyejukan.
“Wa’alaikumsalam, jazakillah perhatiannya Bu, mohon maaf hari ini saya izin tidak bisa ngajar, “ jawabku dengan suara serak.
“Iya Mba ratih enggak apa-apa, gimana rencana Mba Ratih selanjutnya?” tanya Bu Nurjanah.
“Saya ingin mengurus pemakaman suami, Bu, kalau bisa ingin di makamkan di sini,“ jawabku.
“Tapi saya sangat bingung sebab tidak ada uang dan tidak punya passport,“ lanjutku lagi dengan nada pasrah.
“Jangan khawatir, Mba, saya dan suami akan bantu, semoga ada jalan keluar, secepatnya saya kabari lagi ya,“ ibarat diguyur hujan di tengah padang pasir mendengar penuturan Bu Nurjanah.
Tengah hari baru ada kabar dari Bu Nurjanah. Dana untuk perjalanan kami sudah beliau dapatkan, entah darimana. Bu Nurjanah memintaku untuk tidak memikirkannya. Karena aku tidak punya Pasport maka harus buat SPLP (Surat Perjalanan Laksana Paspor).
Sekitar jam 16.00 semuanya baru kelar. Kami pun berangkat dengan menggunakan kapal Ferry. Syifa tidak diajak, aku titipkan di rumah seorang kawan yang kupercaya.
Setelah dua jam terombang-ambing di atas lautan, kami pun sampai di pelabuhan Stulang Laut Johor Malaysia. Kami dijemput seorang pria kenalan dari suami Bu Nurjanah. Karena hari sudah malam, kami tidak bisa langsung ke rumah sakit tempat suami disemayamkan.
Kami menginap di rumah kenalan Bu Nurjanah. Alhamdulillah diterima dengan sangat baik dan ramah oleh Pak Rahmat bersama istrinya. Kami pun dijamu makan malam.
Esok paginya kami langsung meluncur ke rumah sakit. Aku ingin secepatnya melihat jasad Mas Arif. Perjalanan memakan waktu hampir dua jam, jaraknya cukup jauh. Kami melintasi berhektar-hektar kebun sawit.
Sesampainya di Rumah Sakit aku kecewa. Aku tidak diperkenankan melihat jasad Mas Arif oleh pihak rumah sakit. Kami harus mengurus surat-surat pernyataan bahwa aku adalah ahli waris keluarganya. Kami pun kembali meluncur ke kantor KJRI Johor. Cukup lama mengurus surat-surat itu. beruntunglah Pak Rahmat dikenal baik di KJRI sehingga mempermudah pembuatan surat-surat yang aku butuhkan.
Setelah surat-surat dari KJRI selesai, kami pun langsung kembali ke rumah sakit. Hatiku berdebar keras ketika diajak oleh petugas rumah sakit menuju ruang jenazah tempat Mas Arif disemayamkan.
Perlahan petugas menarik belangkar, tampaklah wajah seorang lelaki dewasa dengan bekas darah yang sudah mengering membasahi rambutnya. Wajahnya begitu sejuk dan tak asing bagiku, dia adalah Mas Arif, suamiku, belahan jiwaku, tempat aku menggantung segala asa dan harapan.
Kupegang tangan dan keningnya terasa dingin membeku, perih rasa hatiku mendapati jasad Mas Arif sudah membeku. Aku bertekad ingin segera memakamkan Mas Arif, tak tega rasanya membiarkan jasadnya terlalu lama di dalam mesin pendingin.
Kami pun mengadakan musyawarah bersama majikan Mas Arif. Intinya Mas Arif tidak bisa dibawa pulang karena biayanya sangat mahal, jujur aku tak sanggup menanggungnya. Majikan Mas Arif menawarkan supaya Mas Arif dimakamkan di tempat pemakaman umum dekat kebunnya. Aku pun setuju, yang penting Mas Arif segera dimakamkan.
Karena hari sudah malam, maka pemakaman baru bisa dilaksanakan esok hari. Aku sempat mengemasi barang-barang Mas Arif di tempat tinggalnya. Sebuah rumah gedek dari kayu di tengah hutan sawit. Mas Arif rela bertahun-tahun tinggal di tempat seperti ini demi keluarganya. Hatiku nelangsa.
Kudapati sebuah tas kecil yang dibawa Mas Arif ketika kecelakaan terjadi, biasanya di dalamnya ada Hp dan uang yang sudah ditukar. Tapi semuanya raib, entah siapa yang begitu tega mengambilnya dari jenasahnya. Di dalam lemarinya kutemukan buku kecil, ada catatan Mas Arif tentang banyak hal. Di lembar tengah tersembul foto kami bertiga. Semakin nelangsa.
Sedikit demi sedikit tanah merah menutupi jasad Mas Arif yang terbungkus kain kafan, ada goresan luka di hati yang semakin menganga. Namun tak ada lagi air mata yang bisa menetes.
“Aku ikhlas Mas melepasmu, semoga Allah menempatkanmu di tempat yang terbaik di sisi-Nya, Engkau meregang nyawa setelah sholat berjama’ah, bekas air wudlu masih nampak diwajahmu hingga jasadmu membeku. Engkau menghadap-Nya takala mencari nafkah halal untuk keluargamu, tak satu sen pun hutang kau tinggalkan, tak sedikit pun cela kau torehkan, Mas Arif semoga kita dipersatukan kembali di dalam jannah-Nya suatu hari nanti….. Amin”
Tidak ada komentar
Posting Komentar