Pada tahun Jawa
1947 Alip gunung dengan sinengkalan sapta
tirta nembus bumi, panca agni nyuceni jagad telah berlalu. Sebelum meninggalkan tahun 1947 disampaikan sedikit ulasan
sebagai evaluasi. Semoga ada manfaat yang dapat kita ambil dari berbagai
peristiwa dan fenomena alam yang telah terjadi selama tahun 1947 Alip atau 5 Nopember
2013 sampai dengan 25 Oktober 2014 yang lalu.
Sebelum mengulas Sura
Pinunjul yang akan datang kita perlu flashback karena di antara kedua
fase yang sedang berlangsung dan yang akan datang saling berkaitan erat secara
runtut. Sinengkalan sapta tirta nembus bumi, panca agni
nyuceni jagad mempunyai makna ganda yang meliputi dimensi makrokosmos
dan mikrokosmos. Yakni makna yang menunjukkan fenomena yang terjadi pada alam
semesta dan pada individu manusia.
Panca
agni dalam dimensi mikrokosmos atau diri
manusia mempunyai makna bahwa selama rentang waktu tersebut terjadi kobaran
“api” atau hawa nafsu angkara dari dalam diri manusia. Bergolaknya kobaran
“api” itu telah membakar emosi dan hawa nafsu manusia.
Kobaran itu lebih
dirasakan dalam kancah politik makro. Di mana dinamika
politik diwarnai dengan gejolak manusia untuk berkuasa dan saling memukul
lawan, maupun “kawan”. Dalam scope yang lebih luas,
“api” hawa nafsu telah “menembus bumi”, menyeruak sendi-sendi kehidupan sosial
dan politik masyarakat.
Hilangnya rasa malu dan takut dosa atau karma
menjadi gambaran (sebagian) manusia masa kini.
Bahkan sangat ironis lambaian tangan dan senyum manis seolah menjadi ikon para
pejabat koruptor yang sedang ditangkap KPK. Seolah mereka ingin membuat
kesan dan pencitraan bahwa dirinya tetap pede karena menganggap penangkapan KPK
sebagai hal yang lucu karena telah salah menangkap orang.
Sangat ironis, sepertinya
orang sudah tidak ada lagi yang merasa telah
melakukan kesalahan besar atas bangsa dan negara ini. Dalih yang
lazim dilakukan oleh para tersangka kejahatan penyalahgunaan wewenang adalah
kata-kata bernada menyalahkan orang lain, misalnya akibat difitnah, dijebak
atau terjebak. Tapi rakyat yang tak berdaya secara politik, tetap semakin pandai
menilai keadaan sesungguhnya.
Bulan Sura tahun 1947 Alip
atau 2014 masehi yang lampau, masuk dalam siklus Sura
Moncer, akan tetapi hari pertamanya jatuh pada weton
tiba pati. Itu yang menjadi terasa berat sekali dalam meraih kehidupan “moncer”
(sukses atau mukti). Bahkan bagi yang lengah, bukannya kamukten dan moncer yang didapat
sebaliknya mendapatkan pati. Pati nasibnya, atau pati kesehatannya.
Itu menandakan,
sesungguhnya selama tahun 1947 Alip, Nusantara dan setiap pribadi sedang
berproses meraih kehidupan yang “moncer” atau sukses. Akan tetapi untuk
mencapai tataran “moncer” orang harus melewati rintangan berat dan
mematikan.
Mati artinya bisa mati fisiknya atau mati non-fisiknya. Mati
fisiknya adalah kematian raga. Mati non fisik di antaranya kematian nasib,
kematian pola pikir, kematian jiwanya. Sebagaimana telah
saya posting beberapa tahun yang lalu dengan judul Sura
Moncer 2014: Mukti Opo Mati. Kiprah manusia dalam
kancah sosial, ekonomi, dan politik, didominasi oleh unsur api dari dalam diri
atau hawa nafsu dan angkara murka.
Dan api dari alam semesta, berupa sinar
matahari yang terasa sangat panas, gunung berapi, semburan api dari dalam
tanah, kebakaran hutan, hawa panas, terjadi silih berganti dengan banjir besar
dan hujan salah musim. Selama fase sinengkalan tahun sapta
tirta nembus bumi, panca agni nyuceni jagad pada kenyataannya
telah makan banyak korban.
Sing sapa
lena bakal kena, siapa yang kendor untuk bersikap eling dan waspada akan
menerima akibatnya. Banyak politisi dan pejabat tumbang oleh kasus dan
karena tidak mampu meredam sikap temperamennya sendiri. Bahkan dalam
menjalankan kehidupan politik bernegara, Indonesia boleh dikatakan kurang
sukses melaksanakan suksesi dengan menuai berbagai sikap pro-kontra yang cukup
tajam.
Fase saat ini adalah fase
jagad sedang bersih-bersih diri. Banyak tokoh-tokoh “hitam” yang
dominan muncul meramaikan panggung politik Nasional. Kualitas legislatif dan
eksekutif yang baru terpilih sangat beresiko lebih buruk dari sebelumnya. Hal
itu wajar karena memang fase sinengkalan tahun sapta
tirta nembus bumi, panca agni nyuceni jagad ini merupakan fase
untuk bersih-bersih dari yang kotor-kotor.
Barulah kemudian akan tampil sang SP
sejati. Apapun yang terjadi nanti, sebentar lagi siklus tahun Jawa akan
berganti. Yakni warsa 1948 Ehe yang pada waktu itu dimulai pada Sabtu
Pahing 25 Oktober 2014. Diawali dengan bulan Sura
Pinunjul yang jatuh pada hari Sabtu Pahing (18) atau tiba
gedhong (kesinungan sugih dan kuat
nyunggi drajat) merupakan momentum perubahan lebih baik lagi untuk kita semua.
Pada tahun Jawa
1947 Alip gunung dengan sinengkalan sapta
tirta nembus bumi, panca agni nyuceni jagad telah berlalu. Sebelum meninggalkan tahun 1947 disampaikan sedikit ulasan
sebagai evaluasi. Semoga ada manfaat yang dapat kita ambil dari berbagai
peristiwa dan fenomena alam yang telah terjadi selama tahun 1947 Alip atau 5 Nopember
2013 sampai dengan 25 Oktober 2014 yang lalu.
Sebelum mengulas Sura
Pinunjul yang akan datang kita perlu flashback karena di antara kedua
fase yang sedang berlangsung dan yang akan datang saling berkaitan erat secara
runtut. Sinengkalan sapta tirta nembus bumi, panca agni
nyuceni jagad mempunyai makna ganda yang meliputi dimensi makrokosmos
dan mikrokosmos. Yakni makna yang menunjukkan fenomena yang terjadi pada alam
semesta dan pada individu manusia.
Panca
agni dalam dimensi mikrokosmos atau diri
manusia mempunyai makna bahwa selama rentang waktu tersebut terjadi kobaran
“api” atau hawa nafsu angkara dari dalam diri manusia. Bergolaknya kobaran
“api” itu telah membakar emosi dan hawa nafsu manusia.
Kobaran itu lebih
dirasakan dalam kancah politik makro. Di mana dinamika
politik diwarnai dengan gejolak manusia untuk berkuasa dan saling memukul
lawan, maupun “kawan”. Dalam scope yang lebih luas,
“api” hawa nafsu telah “menembus bumi”, menyeruak sendi-sendi kehidupan sosial
dan politik masyarakat.
Hilangnya rasa malu dan takut dosa atau karma
menjadi gambaran (sebagian) manusia masa kini.
Bahkan sangat ironis lambaian tangan dan senyum manis seolah menjadi ikon para
pejabat koruptor yang sedang ditangkap KPK. Seolah mereka ingin membuat
kesan dan pencitraan bahwa dirinya tetap pede karena menganggap penangkapan KPK
sebagai hal yang lucu karena telah salah menangkap orang.
Sangat ironis, sepertinya
orang sudah tidak ada lagi yang merasa telah
melakukan kesalahan besar atas bangsa dan negara ini. Dalih yang
lazim dilakukan oleh para tersangka kejahatan penyalahgunaan wewenang adalah
kata-kata bernada menyalahkan orang lain, misalnya akibat difitnah, dijebak
atau terjebak. Tapi rakyat yang tak berdaya secara politik, tetap semakin pandai
menilai keadaan sesungguhnya.
Bulan Sura tahun 1947 Alip
atau 2014 masehi yang lampau, masuk dalam siklus Sura
Moncer, akan tetapi hari pertamanya jatuh pada weton
tiba pati. Itu yang menjadi terasa berat sekali dalam meraih kehidupan “moncer”
(sukses atau mukti). Bahkan bagi yang lengah, bukannya kamukten dan moncer yang didapat
sebaliknya mendapatkan pati. Pati nasibnya, atau pati kesehatannya.
Itu menandakan,
sesungguhnya selama tahun 1947 Alip, Nusantara dan setiap pribadi sedang
berproses meraih kehidupan yang “moncer” atau sukses. Akan tetapi untuk
mencapai tataran “moncer” orang harus melewati rintangan berat dan
mematikan.
Mati artinya bisa mati fisiknya atau mati non-fisiknya. Mati
fisiknya adalah kematian raga. Mati non fisik di antaranya kematian nasib,
kematian pola pikir, kematian jiwanya. Sebagaimana telah
saya posting beberapa tahun yang lalu dengan judul Sura
Moncer 2014: Mukti Opo Mati. Kiprah manusia dalam
kancah sosial, ekonomi, dan politik, didominasi oleh unsur api dari dalam diri
atau hawa nafsu dan angkara murka.
Dan api dari alam semesta, berupa sinar
matahari yang terasa sangat panas, gunung berapi, semburan api dari dalam
tanah, kebakaran hutan, hawa panas, terjadi silih berganti dengan banjir besar
dan hujan salah musim. Selama fase sinengkalan tahun sapta
tirta nembus bumi, panca agni nyuceni jagad pada kenyataannya
telah makan banyak korban.
Sing sapa
lena bakal kena, siapa yang kendor untuk bersikap eling dan waspada akan
menerima akibatnya. Banyak politisi dan pejabat tumbang oleh kasus dan
karena tidak mampu meredam sikap temperamennya sendiri. Bahkan dalam
menjalankan kehidupan politik bernegara, Indonesia boleh dikatakan kurang
sukses melaksanakan suksesi dengan menuai berbagai sikap pro-kontra yang cukup
tajam.
Fase saat ini adalah fase
jagad sedang bersih-bersih diri. Banyak tokoh-tokoh “hitam” yang
dominan muncul meramaikan panggung politik Nasional. Kualitas legislatif dan
eksekutif yang baru terpilih sangat beresiko lebih buruk dari sebelumnya. Hal
itu wajar karena memang fase sinengkalan tahun sapta
tirta nembus bumi, panca agni nyuceni jagad ini merupakan fase
untuk bersih-bersih dari yang kotor-kotor.
Barulah kemudian akan tampil sang SP
sejati. Apapun yang terjadi nanti, sebentar lagi siklus tahun Jawa akan
berganti. Yakni warsa 1948 Ehe yang pada waktu itu dimulai pada Sabtu
Pahing 25 Oktober 2014. Diawali dengan bulan Sura
Pinunjul yang jatuh pada hari Sabtu Pahing (18) atau tiba
gedhong (kesinungan sugih dan kuat
nyunggi drajat) merupakan momentum perubahan lebih baik lagi untuk kita semua.