Salah satu tempat prostitusi di Bandung. |
The Jogja Notify - Dinas Kesehatan (Dinkes) Jawa Barat (Jabar) Kota Bandung menjadi daerah tertinggi kedua kasus sifilis setelah Papua. Hal ini berdasarkan data skrining pada periode 2018-2022.
Salah satu tempat prostitusi di Bandung. |
Drone Militer |
ADA kabar kurang bagus tentang Indonesia.
Diwartakan bahwa baru-baru ini Indonesia masuk dalam peringkat ketiga kategori
fatherless country di dunia, atau negara
yang “kehilangan” peran ayah. Peran ayah Indonesia dalam pengasuhan anak
rupanya dinilai masih sangat minim. Psikolog Universitas Gadjah Mada (UGM),
Diana Setiyawati, menyampaikan bahwa fenomena fatherless
sosok ayah, red) ini perlu diperhatikan,
mengingat dampak dari minimnya peran ayah cukup besar bagi anak. Saat ini,
bangsa Indonesia memiliki penduduk usia produktif lebih banyak dibandingkan
dengan usia tidak produktif. Jika kita salah mengelola, bukan tidak mungkin
akan menjadi bencana.
Fenomena fatherless kian menunjukkan bahwa peran seorang ayah
dalam pola pengasuhan anak sangatlah besar. Bahkan di pembukaan kitabnya yang
berjudul Adabul Alim Wal Muta’alim, KH Hasyim Asy’ari menukil sebuah hadis yang
diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah
Radhiallahu Anha yang menjelaskan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda yang
artinya; “Hak anak terhadap orang tuanya (ayah) adalah agar si anak diberikan
nama-nama yang bagus, diberikan air susu yang bagus (Yakni Ibu kandung yang
berakhlak baik yang memberikan ASI pada si anak), dan diberi pendidikan adab
yang bagus.” (KH. Hasyim Asy’ari , Adabul Alim Wal Mutaalim Hal. 09, Cetakan
Maktabah Turats Al Islami Ma’had Tebuireng Jombang Jawa Timur).
Melihat hadis di atas nampak jelas bagaimana
seorang ayah memiliki tanggung jawab besar yang mana jika perihal tersebut
tidak dilaksanakan maka dia telah melanggar hak paling dasar dan paling awal
dari seorang anak yakni sebelum menikah si calon ayah harus bisa memilih
seorang calon ibu yang berakhlak baik yang kelak bisa menyusui calon anaknya,
lalu memberi nama yang bagus (dalam pandangan Islam) dan mendidik anak dengan
pelajaran adab yang bagus.
Namun tidak bisa dipungkiri kini zaman telah
berubah dan tantangan menjadi ayah kian berat sedangkan kesiapan menjadi ayah
tetap rendah. Rendahnya kesiapan menjadi ayah selaras dengan kurangnya
kesadaran membangun pernikahan.
Konsekuensi bahwa pernikahan kemungkinan
besar menghasilkan keturunan yang menuntut tanggung jawab lahir dan batin belum sepenuhnya dipahami
apalagi disiapkan. Sebab pasangan muda lebih fokus menyiapkan hari pernikahan,
dan kurang memikirkan perencanaan membangun keluarga serta cara
menjalaninya.
Seorang dosen di Departemen Ilmu Keluarga
dan Konsumen IPB Diah Krisnatuti, mengatakan, saat ini masyarakat masih ragu
memperkenalkan peran ayah kepada anak laki-laki yang akan menikah. Pesan
pernikahan lebih banyak diberikan kepada anak perempuan agar mereka mampu jadi
istri dan ibu yang mengurus anak dan rumah tangga.
Menurutnya, untuk anak laki-laki, pesan
umumnya hanya terkait aspek ekonomi agar mereka bertanggung jawab memberi
nafkah materi, tidak termasuk di dalamnya nafkah kasih sayang untuk anaknya
kelak.
Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) tentang kualitas pengasuhan anak Indonesia 2015 menunjukkan hal itu.
Hanya seperempat calon ayah yang mencari informasi pengasuhan anak sebelum
menikah. Saat jadi ayah, mereka yang mau belajar pengasuhan pun kurang dari 40
persen. Dan itupun umumnya berasal dari kelompok terdidik dan kelas ekonomi
menengah.
Tantangan menjadi ayah saat ini jauh berbeda
dengan beberapa dekade yang lalu. Di masa lalu ayah adalah sosok yang ditakuti,
tetapi kini ayah dituntut jadi sahabat anak.
Menguatnya kesetaraan gender yang membuat
peran ibu di masyarakat makin kuat menuntut ayah lebih banyak ikut terlibat
dalam urusan domestik. Perubahan budaya itu terjadi di tengah meningkatnya
tuntutan ekonomi keluarga, ketidakstabilan kondisi sosial ekonomi, kelelahan
akibat bekerja, dan perjalanan bekerja hingga banjirnya informasi yang membuat
pilihan makin banyak.
Survei KPAI 2015 menyebut hampir separuh
ayah hanya punya waktu berbincang dengan anaknya selama satu jam sehari. Materi
perbincangan pun umumnya sangat terbatas, tidak menyentuh substansi, seperti
menanyakan sudah makan atau belum, pelajaran dan teman di sekolah, pekerjaan
rumah, atau nilai ujian. (Kompas, 14/11/17).
Tarbiyah
Abawiyah sebagai Solusi
Terminologi Tarbiyah Abawiyah ini
penulis kutip dari Habib Abubakar Al Adni bin Ali Al Masyhur yang jika
ditafsirkan secara bebas artinya adalah metode pendidikan yang menjadikan ayah
sebagai sosok utama sang pengajar (Murobbi) yang berperan dominan sebagai teladan bagi anak-anaknya.
Di dalam Al Qur’an Allah Swt berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا
أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا
مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ
مَا يُؤْمَرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah
manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS:
at-Tahrim/66:6).
Allah juga berfirman,
وَأْمُرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاةِ وَاصْطَبِرْ
عَلَيْهَا ۖ لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا ۖ نَحْنُ نَرْزُقُكَ ۗ وَالْعَاقِبَةُ
لِلتَّقْوَىٰ
“Dan perintahkanlah kepada
keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami
tidak meminta rizki kepadamu, Kamilah yang memberi rizki kepadamu. dan akibat
(yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS: Toha /20: 132)
Dan semakna dengan ayat di atas adalah sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ
أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ
سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
“Perintahkanlah anak-anak
kalian shalat ketika berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka ketika berumur
sepuluh tahun (jika mereka enggan untuk shalat) dan pisahkanlah mereka di
tempat-tempat tidur mereka masing-masing.” (HR:
Ahmad)
Jika melihat khitob dari dua ayat Al Qur’an
dan hadis di atas dapat dilihat bahwa Allah dan Rasulullah ﷺ memerintahkan
kepada para orang tua terutama kepada ayah agar menjaga keluarganya dari api
neraka. Bagaimana caranya, tentu dengan melakukan ketaatan kepada Allah.
Sebelum menyuruh keluarganya tentu si ayah
harus menjadi teladan sebagai orang pertama yang melaksanakan ketaatan kepada
Allah di keluarganya agar dicontoh oleh anak-anaknya. Inilah salah satu Tarbiyah Abawiyah yang kini
kian darurat untuk digalakkan.
Lihatlah di dalam Al-Qur’an bagaimana
dikisahkan keteladanan para ayah dalam mendidik anaknya seperti kisah Lukman Al
Hakim, Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail Alaihimu Salam, kisah Nabi Ya’qub Alaihis
Salam saat berwasiat agar mempertahankan akidah Islamiyah kepada para anaknya
saat menjelang wafat dll. Itu semua adalah contoh terbaik dari Tarbiyah Abawiyah yang
diabadikan di dalam Al Qur’an yang kini menjadi kedaruratan nyata untuk segera
diterapkan di negara yang semakin “kehilangan sosok ayah” ini.
Di dalam salah satu bab dalam kitabnya,
Sayyid Muhammad Al Maliki mendorong agar para orang tua memberi perhatian
kepada anak-anaknya tentang tata krama. Beliau mengutip pesan dari Sayyidina
Ali bin Abi Thalib kWh agar senantiasa mengajari dan mendidik anak-anak dengan sebaik-baiknya.
Sebab di dalam Tarikh Bukhari disebutkan
ada hadis marfu’ yang menyatakan bahwa orang tua tidak membekali anaknya
sesuatu yang lebih utama daripada adab yang baik. Dan hadis dari Jabir bin
Samurah Radiyallahu Anhu yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda bahwa
seseorang yang mengajar anaknya itu lebih baik daripada ia bershadaqah sebanyak
satu Shaa’.(Prof. Sayyid Muhammad Al
Maliki, Etika Islam dalam Membina Rumah Tangga (Terj.), Hal. 45)
Sebagai penutup agar kita kian bersemangat
untuk menjalankan metode Tarbiyah Abawiyah dalam menanggulangi fenomena “Fatherless ” ini, penulis
ingin mengutip hadis yang berbunyi,
رحم الله والدا أعان والده على بره
“Semoga Allah
memberi rahmat kepada orang tua yang membantu anaknya untuk berbakti
kepadanya.“ (HR: Abu As Syaikh dengan
sanad Dhoif). Wallahu A’lam Bis Showab.
Murid Kulliyah Dirosah
Islamiyah Pandaan Pasuruan
It means a lot, so call them by their name.
Seringkali manusia terburu-buru ketika menginginkan sesuatu. Tak jarang kesabarannya hilang ketika sesuatu yang dinanti atau yang diharap-harapkan tak kunjung datang.
Al-Qur’an menyebut sifat
manusia yang suka tergesa-gesa ini dalam firman-Nya,
كَانَ ٱلۡإِنسَٰنُ عَجُولٗا
“Dan memang manusia bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al-Isra’: 11)
Dalam ayat lain Allah
Azza wa Jalla berfirman,
خُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ مِنۡ
عَجَلٖۚ
“Manusia diciptakan bersifat tergesa-gesa.” (QS. Al-Anbiya’: 37)
Kita sering mendengar kalimat “semua akan menjadi baik jika tepat pada waktunya.” Jika direnungkan, kalimat ini bukan hanya kalimat motivasi biasa yang ingin mendinginkan hati manusia yang sedang dalam kesulitan saja.
Tapi kalimat ini
benar-benar menggambarkan kenyataan yang sebenarnya. Terkadang kita sangat
menginginkan sesuatu dan sangat berharap apa yang kita inginkan akan segera
terwujud.
Namun pernahkah kita
berpikir bahwa sesuatu yang kita inginkan itu bila datang di waktu yang “tidak
tepat” akan membuat semuanya berantakan?
Yakinlah selalu bahwa doa dan harapan kita akan terwujud pada waktunya. Pada waktu yang paling pas dan paling tepat ! Bersabarlah untuk menanti buah hingga matang, karena rasa manisnya akan muncul pada waktunya.
Bila kita tergesa-gesa
maka kita hanya akan mendapatkan rasa masam darinya. Bersabarlah untuk menanti
janin di dalam rahim ibunda hingga tiba waktunya, karena bayi akan sempurna
pada waktunya.
Bersabarlah untuk semua
yang kita inginkan, karena “sesuatu itu akan menjadi manis dan sempurna bila
tiba pada waktu yang tepat.” Jangan pernah berputus asa dalam berdoa, teruslah
memohon dan meminta kepada Allah Azza wa Jalla, tidaklah ada orang yang akan
kecewa karena banyak berdoa,
وَلَمۡ أَكُنۢ بِدُعَآئِكَ
رَبِّ شَقِيّٗا
“Dan aku belum pernah kecewa
dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.” (QS. Maryam: 4).
Jangan pernah takut dengan hari esok, karena Dia yang menyelesaikan berbagai macam kesulitan kita di hari kemarin pasti akan menolong kita di hari esok.
Yang telah merawat kita,
menjaga kita dan membimbing kita di masa kecil tidak akan menelantarkan kita di
masa depan kita! Dia-lah Allah yang kasih sayang-Nya kepada hamba-Nya tak
tertandingi oleh siapapun.
وَتَوَكَّلۡ عَلَى
ٱللَّهِۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ وَكِيلًا
“Dan bertawakallah kepada
Allah. Cukuplah Allah yang menjadi pelindung.” (QS.
An-Nisa’: 81).
Kegelisahan hati muncul
karena rendahnya rasa tawakal (berserah diri) kita kepada Allah Azza wa Jalla.
Bila kita yakin dengan Rahmat Allah Azza wa Jalla, pasti kita tidak akan putus
asa dalam menghadapi berbagai kesulitan.
Bila kita yakin dengan
Keadilan Allah Azza wa Jalla, pasti kita tidak akan menyalahkan ketentuan-Nya.
Tugas kita adalah berdoa dan berusaha, sembari kita terus menyebut Nama-Nya,
karena hanya Dia-lah yang mampu menyelesaikan semua urusan kita.
وَأُفَوِّضُ أَمۡرِيٓ
إِلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ بَصِيرُۢ بِٱلۡعِبَادِ
“Dan aku menyerahkan urusanku
kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.” (QS.
Ghafir: 44).
Allah Azza wa Jalla juga
berfirman,
فَوَقَىٰهُ ٱللَّهُ
سَيِّـَٔاتِ مَا مَكَرُواْۖ
“Maka Allah memeliharanya dari
kejahatan tipu daya mereka.” (QS. Ghafir: 45).
Hadapilah hari kita
dengan keyakinan bahwa pasti Allah Azza wa Jalla akan memberi yang terbaik di
waktu yang terbaik. Buang semua kegelisahan di hati kita dan hiduplah dengan penuh
optimis bahwa semua akan sempurna pada waktunya..
Semua ada waktunya,
bergerak apa adanya seturut iramanya sendiri. Akan tetapi kita tidak selalu
dapat mengetahui kapan waktu untuk segala sesuatu itu.
Hanya Allah Azza wa Jalla
yang mengetahuinya, sebab Dia yang menetapkan waktu untuk segala sesuatu. Ia
membuat segala sesuatunya sempurna pada waktunya.
Semoga Allah Azza wa Jalla mengaruniakan hidayah-Nya kepada kita, sehingga kita tetap istiqamah senantiasa meyakini bahwa segala sesuatunya sudah ditetapkan waktunya yang terbaik untuk meraih ridha-Nya. Aamiin Ya Rabb. Wallahua’lam bishawab.*/
Bagya
Agung Prabowo, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII)
Pemirsa, kadang kita terlalu sibuk menjadi dewasa dan lupa bahwa orang tua kita menua. Kadang kita lupa akan menua seperti mereka dan seperti apakah kita ingin diperlakukan saat tua nanti?