Aku benci bapak. Kalau saja Bapak bukan seorang tukang becak, Ibuku pasti selamat. Ibu pasti masih hidup hingga sekarang. Masih membuatkan aku sarapan, masih “merogohkan” uang saku dari kantong bajunya yang penuh tambalan, masih melambaikan tangannya ketika aku berlari menuju ujung gang rumah untuk pergi ke sekolah, masih…masih... ah, aku tak kuasa lagi menahan air mata ini.
Air mata yang penuh sesak, air mata yang mengandung seribu kekecewaan, air mata yang entah kenapa harus aku yang merasakan. Dan lagi- lagi semua ini gara-gara bapak.
Ibu sudah lama menderita TBC, penyakit yang akrab dengan kehidupan orang- orang seperti kami. Orang- orang yang tinggal di gang sempit, rumah yang hanya beralaskan semen yang beberapa bagiannya penuh lubang dan tak hanya sesekali mengeluarkan debu, belum lagi atapnya yang tidak pernah “tidak” bocor bila hujan. Kalau sudah begitu haruskah aku berucap alhamdulillah untuk semua keadaanku?.
“PLAAKK !!! bang Salim menamparku ketika aku masih saja menyalahkan Bapak atas kematian Ibu. Merasa tak enak dengan situasi ini Bapak segera mengambil becaknya dan berlalu entah kemana. Aku pun semakin kesal dibuatnya. Beginikah seorang Bapak yang bang Salim bela??? HAH???
Aku berusaha menyudutkan bang Salim dengan kejadian barusan. Bang Salim hanya terdiam dan berkata lirih, “mungkin setelah ini kamu akan menyesal”. Aku tak mengerti maksud bang Salim bahkan mungkin juga, AKU TAK MAU MENGERTI.
Hari-hariku kulewati dengan penuh penyesalan. Bapak semakin jarang pulang kerumah, bang Salim sibuk dengan pekerjaannya sebagai guru Ngaji. Aku sendiri sibuk mencari uang tambahan untuk sekolahku.
Karena tidak mungkin mengandalkan penghasilan Bapak, jangankan untuk bayar SPP, untuk menebus obat ibu yang kurang 15ribu saja Bapak tak sanggup. Padahal seharian Bapak “mbecak” dari pagi hingga larut malam tapi pulang tak pernah membawa uang.
Sebelumnya, aku tak pernah sebenci ini dengan Bapak. Tapi aku juga tak sedekat seperti halnya bang Salim. Entah kenapa aku merasa Bapak lebih sayang dengan abangku daripada aku. Itu alasannya kenapa aku juga demikian sebaliknya, lebih sayang ibu ketimbang Bapak.
Masih teringat saat kecil dulu bang Salim merebut mainan ku dan malah justru aku yang mendapat pukulan dari Bapak. Ah, jika mengingat masa itu membuatku semakin tak berharap kehadiran Bapak dirumah.
“Jangan seperti itu Nis, kasihan Bapak kamu. Sudah kehilangan istrinya masih juga harus dibenci oleh anaknya, bagaimana perasaan beliau ?” ujar sahabatku ketika aku menceritakan perihal kisah hidupku.
Di persimpangan jalan tempat pangkalan becak, aku melihat sebuah becak yang tak asing bagiku… ah, bukankah itu becak Bapak? Tapi tak ku dapati Bapak disana. Dimana Bapak? Ah, Kenapa aku harus peduli? Bukankah Bapak juga tidak pernah pedulikan aku dirumah? Sudahkah aku makan? Sudahkah bayar sekolah? Bukankah selama ini bang Salim yang memenuhi semua kebutuhanku sejak Ibu tidak ada?
Ku langkahkan kakiku kembali menyusuri jalan-jalan berdebu, Jalan-jalan yang ketika siang hari menyesakkan dada, dan ketika malam hari berubah menjadi liar bagi siapa saja yang melaluinya, jalanan yang penuh kerikil-kerikil kehidupan. Jalanan yang tak pernah berujung.
Tidak ada komentar
Posting Komentar