Sistem pemilu proporsional tertutup kembali menjadi sorotan usai Ahli Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengaku mendapat informasi penting terkait gugatan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sistem Proporsional Terbuka di Mahkamah Konstitusi (MK).
Denny menyebut enam hakim MK akan setuju untuk mengembalikan sistem proporsional tertutup. Sementara, tiga hakim lain akan menyatakan dissenting opinion. Ia pun mengklaim informasi itu ia dapatkan dari pihak yang kredibel.
Buntut dari dugaan itu, publik hingga pejabat reaktif. Delapan dari sembilan fraksi partai politik di DPR juga kembali mengadakan pertemuan pada Selasa (30/5). Mereka menegaskan kesepakatan untuk menolak sistem proporsional tertutup alias coblos partai.
Hanya Fraksi PDIP yang tidak ikut serta karena mereka menginginkan sistem proporsional tertutup yang akan diterapkan dalam Pemilu di Indonesia. Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai sistem coblos partai itu tidak cocok diterapkan dengan kondisi perpolitikan di Indonesia saat ini.
Ujang menilai modernisasi, kaderisasi, dan reformasi belum terjadi dalam tubuh masing-masing partai politik (parpol). Ia pun menilai mayoritas parpol di Indonesia masih menganut budaya korup hingga nepotisme. Kondisi itu kemudian menyuburkan kekuasaan pimpinan parpol yang seolah tak terbatas.
Dengan demikian, apabila sistem tertutup dianut, maka parpol akan memiliki kekuasaan otonom tertinggi dan dikhawatirkan akan melanggengkan dinasti politik. Sebab pimpinan parpol bisa saja memilih caleg dengan mengenyampingkan kualitas dan loyalitas kader.
"Kalau saat ini diberlakukan bahaya sistem proporsional tertutup. Dikhawatirkan ada penguatan, kekuasaan di tangan dinasti politik dan oligarki politik, nanti isinya itu ya," kata Ujang.
Ujang menyebut tahapan Pemilu 2024 yang sudah berjalan tidak seharusnya kembali diutak-atik. Gugatan pemilu dan bakal putusannya dikhawatirkan akan menyebabkan eskalasi masyarakat hingga kemungkinan terburuk tahapan pemilu yang tidak sesuai jadwal alias diundur.
Para caleg yang sudah mendaftar pun kemungkinan juga akan berbondong-bondong mundur lantaran sudah mengetahui probabilitas keterpilihan dirinya di internal partai sendiri.
"Nah kalau terbuka, semua caleg akan bertanding mati-matian agar menang. Dengan terbuka mereka ada spirit fighting untuk memenangkan diri dan partainya. Fighting untuk bertemu rakyat, berkampanye, bersosialisasi, membantu masyarakat agar bisa menang," kata dia.
Di sisi lain, Ujang menyadari sistem proporsional terbuka juga memiliki sejumlah kekurangan seperti persaingan internal kader, politik uang yang memanas, hingga parpol yang mungkin dengan entengnya mengusung caleg hanya bermodal popularitas tinggi di masyarakat.
Namun demikian, Ujang tetap menilai sistem proporsional terbuka setidaknya tidak menutup kanal partisipasi publik yang lebih besar karena masyarakat bakal memilih calon legislatif sendiri. Selain itu, ia khawatir sistem tertutup justru berpotensi sebagai wujud baru kemunduran demokrasi.
Ujang selanjutnya juga mewanti-wanti apabila MK mengabulkan gugatan atau mengembalikan ke sistem proporsional tertutup, maka ada pelanggaran terhadap prinsip dasar open legal policy. Sebab kewenangan untuk menentukan sistem pemilu adalah milik pembuat UU antara lain Presiden, DPR.
"MK pada 2008 itu sudah memutuskan terbuka gitu, masa hanya karena usahakan intervensi politik, karena kepentingan partai tertentu masa lalu dijadikan tertutup, ini lucu," kata Ujang,
"Apalagi tadi tahapan-tahapan Pemilu sudah berjalan, itu akan menghancurkan tahapan-tahapan Pemilu dan merusak sistem yang sudah ada. Karena itu, ya mestinya MK jangan merasa benar sendiri, harus berbuat adil dalam konteks itu sendiri," imbuhnya.
Senada, Analis Politik dan Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Arifki Chaniago menilai sistem proporsional terbuka merupakan sistem pemilu yang paling ideal dengan kondisi perpolitikan Indonesia saat ini.
Dengan dihapusnya partisipasi masyarakat, maka kondisi itu menurutnya akan jelas berdampak pada kemunduran demokrasi. Pun senada dengan Ujang, Arifki menilai apabila sistem proporsional tertutup diterapkan, maka aturan itu hanya akan melanggengkan kesewenangan para elite parpol.
"Pemilih memperoleh haknya untuk menentukan caleg yang mereka inginkan. Jika sistem pemilu tertutup, ibarat membeli kucing dalam karung," kata Arifki kepada awak media.
Arifki menilai masyarakat berhak memilih siapa para wakil rakyat yang akan dipilih. Apabila yang disoroti kemudian adalah politik uang dalam sistem proporsional terbuka, maka sudah sepatutnya kondisi itu diminimalkan dengan memaksimalkan kinerja para penyelenggara dan pengawas Pemilu.
Di sisi lain, ia juga menilai politik uang tidak dapat dikesampingkan dalam sistem proporsional tertutup. Budaya itu akan tetap langgeng dan malah 'berbahaya' lantaran yang bertransaksi di dalamnya adalah para elite parpol.
"Pemilu tertutup itu bakal membawa politik uang di level elite. Karena para caleg bakal berebut nomor urut dari pada fokus memperkuat personal. Sekarang tahapan pemilu terbuka sudah berjalan, kalau tiba-tiba berubah ke tertutup. Maka, tahapan yang sudah berjalan akan berubah," ujar Arifki.
Dihubungi terpisah, Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menilai sistem proporsional terbuka harus tetap dijadikan landasan dalam Pemilu 2024 lantaran tahapan sudah setengah jalan. Dengan demikian, ia menolak apabila sistem tertutup diterapkan pada Pemilu 2024.
Namun demikian, Siti memiliki pandangan lain bahwa ada perlunya Indonesia kembali menggodok sistem pemilu yang baru pada 2029 misalnya. Sistem itu harus menggabungkan sisi baik dan menghilangkan sisi buruk dari kedua sistem proporsional Pemilu itu.
"Menurut saya dicarikan lah mungkin setengah terbuka, setengah tertutup. Tapi tidak untuk 2024 besok, mungkin periode pemilu selanjutnya," kata Siti.
Siti kemudian membeberkan argumentasinya. Sisi positif sistem proporsional tertutup adalah parpol memiliki marwah lantaran memiliki wewenang besar untuk memutuskan siapa caleg yang akan diusung secara internal.
Dengan opsi kewenangan besar yang dimiliki parpol itu, maka menurutnya harus ada batasan jelas dan transparan. Yakni kaderisasi anggota parpol yang digodok sedari awal dengan harapan kader yang akan diusung nantinya adalah mereka yang berkualitas dan mumpuni dengan kemampuan politik mereka.
Sebab kerawanan dalam sistem proporsional tertutup adalah para elite parpol melanggengkan dinasti politik dan memilih sosok-sosok yang dekat dengan oligarki sehingga tidak mewakili suara rakyat bawah.
"Jadi bagaimana supaya partai dan ketua umum dihormati, itu penting. Kemudian, bagaimana sistem yang dilakukan bisa memutus mata rantai praktik politik uang. Lalu bagaimana menimbulkan tanggung jawab penuh terhadap kader-kader," kata dia.
Siti melanjutkan, sisi positif sistem proporsional tertutup juga bisa menekan politik uang yang terjadi di masyarakat. Ia menyoroti bagaimana pilihan rakyat tergadaikan dan terbeli selama ini akibat proporsional terbuka.
Di sisi lain, sejumlah sisi positif sistem proporsional terbuka adalah terjadi proses demokrasi yang sesungguhnya. Selain itu, para kader akan berlomba-lomba dan berjibaku sendiri untuk menciptakan program yang akan dijadikan sebagai nilai tawar.
Namun Siti juga menyoroti fenomena banyaknya para public figure yang menjadi caleg menunjukkan bahwa popularitas bisa saja lebih berharga ketimbang kualitas kader parpol. Fenomena itu menurutnya disebabkan sejumlah hal, salah satunya tingkat rata-rata pendidikan pemilih di Indonesia.
"Jadi sistem proporsional terbuka itu saya rasa paling cocok ketika masyarakat memiliki nalar politik dan punya argumentasi. Jadi mungkin perlu sistem yang baru misalnya disesuaikan begitu, jadi masyarakat nantinya tidak hanya menjadi tatanan objek," jelas Siti.
Oleh sebab itu, Siti menilai perlu ada evaluasi dari pelaksanaan sistem Pemilu di Indonesia. Perlu ada berbagai kajian untuk menemukan titik terang guna menciptakan Pemilu di Indonesia yang adil.
"Sehingga mungkin jawabannya adalah sistem baru, yang tidak tertutup banget dan terbuka banget. Jadi masih dimungkinkan untuk memberikan porsi yang cukup terhadap otonomi kader, dan tidak diserahkan penuh untuk pimpinan partai untuk menentukan calegnya. Jadi bottom-up, top-down," ujar Siti.